
Mojokerto
7 Mei 2009
Pada suatu Kamis malam…
21:33
Aku kembali merangkai kata dikamar ini. Dengan semburat sisa cahaya lampu teras. Aku sedang berada di pinggir keremangan malam dan balutan dinginnya rasa. Jemari tetap menari indah diatas huruf- huruf sedangkan rasa dan pikir bercakap lirih untuk hasilkan bentangan kata. Agar layar ini tak lagi kosong. Supaya lembar ini bisa terbaca oleh siapa saja di kemudian masa …
Kini rasaku mulai tenang. Karena malam telah datang bersama remang. Karena aku berhasil minggir sebentar dari permainan rasa yang sudah sejak lama asyik kumainkan. Karena hati mengalah pada ego manusiawiku. Karena aku menyublimkan rasa kecewaku. Karena aku tak gagal membujuk kekhawatiran untuk sekedar bertandang ke hati manusia lain. Karena aku sudah menerima kenyataan dengan kelapangan hati. Karena kini aku menyerahkan nyawa pada Sang Kuasa. Karena aku kini jauh lebih yakin pada-Nya…
Malam sedikit demi sedikit merambat kearah larut. Para raga akan segera membujur dan bertemu dengan ketidak- sadaran. Mengistirahatkan organ yang sudah seharian menjadi budak kepentingan dan hamba kebutuhan. Suara- suara juga sudah mulai menyayup. Beberapa cahaya lampu ditewaskan untuk kepentingan penghematan energi dan menekan keras pengeluaran rumah tangga. Maka dari empat Philips disini, yang menyala hanya setengahnya. Itupun demi menjaga mata agar tetap nyaman menatap layar ini. Lalu kipas angin tua itu masih terus menggeleng keras. Namun tak begitu berjaya dalam mengubah gerah menjadi tidak gerah. Aku masih tetap berpeluh…
Aku sedang berada pada sebuah kehampiran yang tak begitu menyejukkan hati. Hampir melepaskan tangan pada usia dua puluh lima. Lalu akan saling bergenggaman hasta dengan dua puluh enam. Dan ini jadi masa termuram dalam sejarah hidup seorang aku. Masa paling mendung. Masa paling berat karena aku harus dengan sekuat hati mencegah jatuhnya tetesan hujan. Aku tak rela hatiku basah olehnya. Aku pasti akan terus mendoa agar bahkan gerimispun takkan menetes. Agar meski mendung, hatiku masih terus kering…
Tiba- tiba ingatanku melesat pada dulu…
Dulu yang pernah sengaja dijejali oleh beberapa perayaan. Dulu yang juga sempat ditandai dengan ritual traktiran makan- makan. Dulu yang diakari oleh budaya guyur air, tumpah tepung, lempar telur sampai jabat tangan simbol turut berbahagia atas pertambahan usia. Dulu yang dimekari oleh hati sumringah, meski sedikit kuatir kalau kalau perlakuan mereka- mereka akan terlalu berlebihan. Tapi, tetap itulah bentuk sebuah perayaan pergantian usia. Sudah jadi sebuah budaya bagi jiwa para remaja. Tapi kini aku tak bisa lagi dipanggil remaja. Karena usia sudah begitu menua. Maka bisa dipastikan tak akan ada lagi ritual seperi dulu…
Tapi aku tetap mau bertanya…
Masih akan adakah kejutan- kejutan seperti saat aku baru injakkan nyawa pada usia dua puluh?
Masih akan adakah ucapan selamat ulang tahun dan doa- doa dari para karib dan manusia di sekeliling yang hanya butuh meng- amin- an?
Masih akan adakah kado manis yang sengaja terbungkus untukku?
Masih akan adakah todongan makan- makan dari para sahabat yang merasa dan mengaku dekat?
Masih akan adakah tawa riang dan jeritan histeris oleh siksaan- siksaan manis seperti dulu?
Masih akan adakah yang mengingat pergantian usia ini?
Masih akan adakah semua- semua itu?
Dulu aku begitu mendamba waktu cepat menggelinding agar segera bertemu sapa dengan setiap dua puluh enam Mei. Menanti siapapun yang berminat untuk jadi orang pertama dalam mengucap selamat ulang tahun. Tepat di jam dua belas malam, meski aku benar terlahir pada sebuah Kamis dua puluh enam Mei delapan tiga pada jam setengah enam pagi. Jadi sebenarnya tak begitu tepat mengucap selamat di jam dua belas. Tapi menjadi yang pertama bagai sebuah tropi kebanggaan pertanda sebuah kesetiaan dan perhatian. Lalu hal itu menjadi sebuah kenormalan…
Huhhhh…aku benar merindui semua perlakuan itu. Aku sungguh ingin mendapatkan sesuatu yang dinamai “kado”. Aku begitu ingin mengucap “Amin” atas semua doa yang terluncur dari mulut para sahabat. Aku begitu ingin merasai sejuknya air guyuran. Mau kembali merasa malu dengan tepung dan telur yang tumbuh bagai jamur pada tubuh basah. Aku mau kembali merasai semua bentuk perhatian itu. Aku mau kembali merasa konyol seperti kala itu. Meski aku tahu kadang mereka melakukannya bersama secuil pamrih. Demi sebuah traktiran makan- makan. Tapi, semua begitu indah. Semua begitu ingin kurasai. Persis sama seperti dulu. Aku tak mau yang berlebih. Harus sama persis…
TAK MUNGKIN BISA!!!!
Kenapa?
Karena semua sahabat sudah melayar pada pulau impiannya sendiri…
Karena aku tak lagi remaja…
Karena masa telah begitu jahat merebut paksa semua budaya itu…
Karena memang tak mungkin…
Aku tak mau menangis tapi nyatanya airmata ini sudah begitu ramah menjamah udara. Mengalir halus. Menjadi bukti hati yang sedang bersedih…
Aku lagi- lagi merindui masa lalu. Dan lagi- lagi aku tersesak oleh fakta bahwa masa lalu ada hanya untuk dikenang. Bukan untuk dirasai kembali…
Lalu…
Apa arti dua puluh enam Mei dua ribu sembilan ini?
22:15
No comments:
Post a Comment