Mojokerto
9 Mei 2009
Sabtu dengan warna begitu kelabu
18:07
Perempuan itu sudah begitu hampir berumur dua puluh enam. Bagiku dia lebih pantas dipanggil sebagai seorang wanita. Dan aku lupa namanya. Yang masih sangat jelas kuingat adalah kerelaannya untuk selamanya tak berpanggilan “Mama”. Dia begitu yakin kalau ada yang salah, entah pada dirinya atau pada pendamping hidupnya. Tapi dia benar tak punya selembar tipis dayapun untuk memperjuangkan impiannya. Beberapa saat yang lalu dia melepaskan mimpinya itu dengan begitu rela meski diringi jerit kepedihan hatinya…
Dulu dia tak pernah perduli tentang apapun. Dia juga tak pernah punya mimpi untuk mengikatkan nyawa dan nafasnya pada hanya satu lelaki saja. Dia pernah berfikir untuk melewatkan hidup tanpa lelaki. Karena dia yakin penyatuan nyawa itu takkan bisa buatnya bahagia. Sejak dulu wanita itu hanya yakin pada dirinya sendiri. Membahagiakan ibunya adalah satu- satunya mimpinya. Tak ada mimpi lain. Sayangnya, kebahagiaan ibunya adalah pernikahannya. Maka dia berada pada sebuah dilema…
Oh ya…aku ingat nama wanita itu. Namanya panjang. Panggil saja dia Saca…
Saca begitu mencinta ibunya. Dan dia begitu membenci bapaknya. Bahkan dia selalu percaya bahwa bapaknya itulah yang paling bertanggung jawab atas pola pikirnya yang menyimpang. Pola pikirnya yang begitu menolak pernikahan. Dia tak mau menikah karena bapaknya. Dia tak mau dibuat menderita oleh lelaki manapun seperti ibunya yang sudah sejak awal pernikahan merasakan penyiksaan bathin. Ibunya yang sebenarnya masih punya bapaknya tapi serasa sendiri menghidupinya dan adiknya yang hanya satu- satunya. Ibunya yang selalu menanggalkan apapun demi kedua anaknya. Dan, tentu saja, dia begitu memuja ibunya. Dan dia begitu membenci siapapun yang menyakiti ibunya itu. Dan sudah sejak lama dia membenci bapaknya, lengkap dengan semua keluarga bapaknya. Karena mereka sudah begitu tak gentar menabuh genderang perang dengan ibunya…
Dulu…
Saca kecil pernah bercita- cita punya bapak yang membanggakan. Persis seperti bapak teman- temannya. Bapak yang selalu punya waktu untuk memperhatikannya, bapak yang selalu punya tali bathin untuk diikatkan padanya juga adiknya, bapak yang selalu melindungi keluarganya, bapak yang selalu mampu menenangkan hatinya yang mungkin sedang mengerut, bapak yang seharusnya jadi bapak.
Tapi…
Sekalipun dia tak pernah merasai apa yang pantasnya dia rasai hingga dia tak pernah merasa punya bapak. Dia merasa jauh tidak beruntung dari seorang anak yatim. Karena dia punya bapak yang tak pernah bisa jadi bapak. Hingga pada akhir masa kanak- kanaknya Saca bilang pada ibunya, “Aku tidak apa- apa kalau tidak punya bapak, bu. Aku malah senang.”
Jika bisa memilih, Saca akan memilih untuk menjadi yatim saja…
Lalu…
Waktu terus mengalir tapi rasa benci pada bapaknya tak pernah bisa terhanyut. Dia memegang erat rasa benci itu. Dan selamanya dia akan membenci bapaknya. Rasa bencinya pada bapaknya setara dengan cintanya pada ibunya. Dan dia akan melakukan apapun untuk ibunya sembari juga tak akan melakukan apapun untuk bapaknya…
Dia sudah menyebut dirinya anak yatim!!!
Sejak SMP Saca tak pernah sudi memanggil bapaknya dengan sebutan “Bapak”. Karena, sekali lagi, dia merasa dirinya anak yatim yang tak mungkin punya bapak. Jadi tak ada seorang lelakipun yang berhak dipanggilnya “Bapak”. Dia kemudian jadi begitu jarang berkata apapun pada lelaki yang sebenarnya adalah bapaknya itu. Wanita itu membangun benteng sendiri dan tak mengijinkan bapaknya masuk. Tak akan pernah!!!
Lalu kini Saca sudah bukan lagi bocah. Dia sudah mengikatkan nyawa dengan seorang lelaki. Karena cintanya pada ibunya. Dan kini dia, tentu saja, ingin segera berpanggilan “Mama”. Tapi ada yang salah dengan entah apa dan siapa. Dia belum juga hamil. Setelah begitu kian lama. Dan dia begitu terobsesi pada kehamilan. Dia ingin segera mempunyai buah hati…
Tapi, lagi- lagi, dia harus merelakan impiannya pergi. Karena bapaknya! Dan kini dia rela untuk selama hidupnya tak akan pernah dipanggil “Mama”…
Saca begitu melaknat bapaknya. Dalam doanya dia tak pernah sekalipun menyebut bapaknya itu. Dia tak pernah mendoa kebaikan untuk bapaknya. Pun masih punya nurani untuk tak mendoa keburukan untuk bapaknya itu…
Saca jelas punya janji pada dirinya…
Bahwa sampai kapanpun dia takkan pernah memperdulikan bapaknya. Bahkan saat bapaknya itu sudah menua, dia takkan pernah bersedia merawatnya dengan baik. Dia hanya akan merawatnya seadanya. Sama ketika bapaknya dulu merawatnya dengan seadanya. Karena dia terlanjur begitu sakit hati…
Kini Saca masih dengan berat hati menyesali ketidakberdayaannya…
Tapi dia tak pernah menyesali kebenciannya pada bapaknya...
18:49
1 comment:
oohhh....so sad...
bingung mo kasih komen apa...
keadaan qta bertolak belakang..
tapi aku kadang juga merasa bodoh karena menyiakan kebaikan papaku..
hahaha...
hidup memang aneh...
Post a Comment