Sunday, March 29, 2009

Malas melukis kata...


(Masih juga) di Kediri
(Masih juga ) tertanggal 22 Maret 2009
Kala hari (masih juga) bernama Minggu
Mungkin hanya rasa yang mampu beri beda…


Bumi memang selalu memberi adil bagi semua yang ada di dalamnya. Senyum akan selalu datang membawa serta tangis. Bahkan musim hujanpun merapat bersama keringnya kemarau. Oleh karena itu ada yang disebut binari oposisi. Dan sekarang aku benar mengalaminya…

Aku memulai pagi ini saat waktu masih lekat pada lima kurang lima belas menit. Lalu aku melanjut rajutan mimpi yang masih tertinggal di pelupuk mata untuk kemudian menghela hidup dikala waktu berusia delapan lebih beberapa menit. Dan aku terbangun dengan rasa begitu lezat. Aku terbangun saat bagiku kehidupan sedang melunak. Aku memulai kesadaran di kala urat nadi berbalut kulit bahagia. Mataku menikmat hari yang kurasa begitu lezat. Intinya, semua terasa (tak hanya terlihat) begitu melegakan.

Lalu aku menjulur nyawa untuk temui situasi. Menyulur merangkai kenangan baru. Membentuk kisah klasik untuk masa depan (jika kuboleh meminjam istilah Sheila On 7). Tepati janji lagi. Bertegur sapa dengan beberapa nyawa. Memapar senyum. Menjahit kembali rangkaian kain persahabatan yang lama terseret waktu. Berharap semua akan sama membahagiakannya dengan masa kemarin. Namun nyata tak selamanya berpagutan dengan harapan. Dan kali ini mereka sedang saling menjaga jarak. Entah untuk tujuan apa. Bisa jadi untuk menyadarkan aku betapa hidup tak selalu bisa diperkirakan. Bisa jadi juga untuk membuatku jera berpengharapan. Begitu banyak mungkin di bumi ini.

Ragaku merasa sedikit lelah jalani semua bentuk kesenangan instant ini. Kupaksa bekerja menopang jiwa dengan durasi jauh lebih lama. Tanpa ucapan Terimakasih, meski cuma sekali saja.

Aku terserang rasa malas yang akut. Aku malas melanjutkan lukisan kata ini.

Sampai berjumpa….



18:45

Di Kediri dengan senyum beraroma manis...

Kediri
Tertanggal 20 Maret 2009
Kala hari akan begitu segera berganti nama…
Hampir Sabtu dini hari…


Aku kembali melemparkan raga dan nyawa di Kediri. Bukan untuk selamanya menjadikannya sebagai setting hidupku kembali. Aku hanya ingin sejenak menuai kenangan yang baru kutinggalkan disini. Sengaja ingin kutemui kembali semua yang dulu kulepaskan oleh paksaan keadaan. Memang adalah sebuah pilihan. Lalu aku memilih untuk meninggalkan Kediri beberapa waktu yang lalu. Kini, aku kembali rasai Kediri dengan lidah rasa yang berbeda. Nyatanya Kediri kali ini terasa begitu mengharukan.

Jalan- jalan panjang yang dulu selalu kutelusur. Warung- warung yang sempat jadi tempat tujuan untuk gembungkan lambung. Tempat- tempat belanja yang kala itu sempat jadi tempat favorit. Lalu wajah- wajah yang dulu begitu lekat dengan indraku. Bahkan udara gerah yang dulu juga tak luput dari umpatanku kini tersenyum manis menyambutku kembali disini. Kedatangan yang hanya beberapa hari saja. Karena aku telah memilih kota lain untuk kutinggali. Bukan lagi Kediri. Bukan karena kekecewaan terhadap kota ini. Hanya karena hidup adalah barisan pilihan. Lalu aku merasa harus memilih, juga.

Lima menit lagi hari sudah bernama Sabtu. Surga bagi semua manusia pekerja. Surga bagi siapapun yang terbiasa hidup dalam hiruk pikuk kesibukan. Surga bagi siapapun yang masih punya hasrat buat sekedar melepas suntuk. Hari inilah surga ini dimulai. Mungkin akan berakhir esok malam.

Dua batang A-Volution telah tanjaki bibirku. Udara masih saja mengganas. Rasa kantuk masih enggan mengetuk kelopak mata. Map biru usang ini kupaksa usir rasa gerah. Butir- butir peluh nyata terjatuh. Begitu gerah kota ini. Pun demikian lelakiku sudah erat bersinggungan dengan mimpi. Capek mungkin. Biarlah. Suara lirih para lelaki muda masih saja berputar- putar disekitar telingaku. Mereka mengobrol entah apa. Terdengar hanya sayup. Tak begitu jelas karena mereka sadar akan etika berbicara pada malam hari.

Winamp-pun masih asyik melolongkan suara para penjual nada. Seperti biasanya, aku berteman nada maya yang terekam di sebuah ceruk ibukota entah kapan itu. Aku merasa hidup sedang begitu melunak. Hatiku bergembira oleh semua hal yang kutemui.

Dengkuran itu semakin keras. Pertanda lelaki itu begitu terlelap. Kantukku berjingkat pelan dekati kelopak untuk kemudian mengetuk, mengharap dibukakan pintu lalu mendominasi hidup lewat katupan mata. Normalnya memang seperti itu karena sekarang sudah dini hari.

Kendaraan yang sedari tadi berkelebat di jalan raya depan kos inipun sudah mulai tersihir oleh waktu. dini hari begitu kuat berikatan dengan lelap dan sepi kecuali oleh dengkuran.

Sedikit demi sedikit rasaku sudah terpuaskan. Lihat apa aku masih bisa merasa begitu puas seperti hari ini di esok hari. Well, aku hanya mendoa agar bisa selalu bahagia pada situasi apapun. Karena manusia takkan pernah puas maka sia- sia saja jika aku memohon agar bisa merasa puas. Yang ada hanya kesia-siaan jika begitu. Maka aku merajuk oleh adanya rasa bahagia. Dan kudapati itu. Syukurlah.

Pukul 12:08 dini hari.
Hari ini sudah berganti nama jadi Sabtu, seperti yang tadi kubilang.
Kantuk sudah berhasil mengetuk kelopak dengan begitu keras dan tergesa.
Dengkuran lelaki itu menggelitikku untuk bergabung dengannya malam ini.
Bersama dalam lelap.
Baiklah…
Lelap, aku akan segera datang…



Di Kediri dengan senyum beraroma manis…
12:10 dini hari

Aku begitu merindu nama itu...

Kediri
24 Maret 2009
Pada sebuah Selasa dengan gerah yang meredup
Saat aku menyadari kembali betapa semua harus silih berganti


Aku masih di Kediri. Dalam kondisi hampir mengakhiri kehadiranku disini. Setelah beberapa hari menumpangkan nafas untuk nikmati gempita kota tahu ini. Pada akhirnya aku harus berakhir juga. Kembali pada kotak hidupku sendiri. Tak ada yang mengiringi kepergiaanku kali ini. Hanya lelakiku itu saja yang memberikan aku sebuah pengantaran dengan alasan tak sanggup kutinggalkan sendiri. “Lebih baik kamu yang melihatku berlalu daripada aku yang harus melepasmu tertelan jarak lalu menghilang bersama jauh,” begitu katanya. Maka baiklah kuijinkan dia mengiringku meski aku sebenarnya lebih ingin sendiri nikmati sore diatas sebuah bis. Aku tak punya pikiran untuk melolaknya. Hanya bisa mengiyakan setelah sebelumnya meyakinkan dia tentang apa yang telah diputuskannya…

Aku masih disini. Menunggunya melebur jadi nyata yang lalu akan membawaku berlalu dari sini. Sendiri membuatku lebih bebas menerka mimpi. Aku juga merasa bebas memain- mainkan masa laluku yang tertinggal disini. Sebuah petualangan hati. Aku dan seorang lelaki lain yang hanya kumengerti lewat nama. Seorang Omar Randu yang dulu begitu mengusik nyawaku. Dia sempat terekam sebagai bagian akhir kehadiranku di kota ini. Saat aku memutuskan untuk tidak lagi menyentuhkan nafas disini. Kala itu Oktober 2008. Dia ada sebagai hiasan hidup penghias nafas letihku. Dia datang bersama sekantong titik harapan untuk rasai naik turunnya kehidupan. Dan dia berhasil. Aku tersenyum begitu bahagia oleh nama dan suaranya. Begitu membangkitkan serabut bahagia di urat jiwaku. Aku juga pernah begitu menantinya dan mengutuk waktu yang terasa begitu lambat. Waktu dia memintaku menunggu. Itu semua terjadi dulu.

Lalu waktu terus melaju. Dan kini kutemukan dia hilang. Lenyap dari ceruk harapan yang dulu pernah kubangunkan untuknya…

Lalu aku tetap jalani hidup pada sisi dunia ini. Sendiri melayar. Hanya bergandengan tangan dengan beberapa bentuk pengandaian. Lalu aku sampai juga pada sekarang. Berusaha tetap bertahan dan menikmati sisa- sisa kekuatan untuk nikmati petualangan perasaan. Saat aku memikir lebih dalam dan menerawang kembali ke masa yang dulu, aku tersentak dengan kenyataan betapa sudah sangat panjang jarak petak sekarang dengan masa aku menimang rasa dengan nama lelaki itu. Sungguh banyak yang telah berada diantara kenanganku atas nama itu dan masaku saat ini. Yang semakin menyesakkan diri adalah kesadaran atas ketidakberdayaanku untuk merasai nama itu kembali. Karena dia tak lagi mengabdikan namanya untukku. Meski aku yang awalnya mengakhiri permainan rasa dengannya, namun kini akulah yang merasa dikalahkan. Karena sekarang aku, tiba- tiba, merinduinya. Lalu aku bertanya; Apa dia masih menyisipkan namaku di entah bagian dirinya sebelah mana? Jika iya, maka akulah pemenang permainan ini. Tapi manusia takkan pernah tahu isi hati manusia lainnya. Maka aku tetap merasa kalah. Aku sungguh ingin hanya bertegur kata dengannya. Sebentar saja. Hanya sekedar ingin melegakan rasa. Tapi tak bisa. Nama itu memang tak pernah setia padaku…

Hari sudah berganti panggilan…

Aku sudah kembali pada dunia nyataku. Kembali berakrab dengan kebebasan. Bertali jiwa dengan kesepian yang selalu berusaha kuingkari. Pejamkan mata sambil nikmati gerakan lunglai sang waktu. Aku kembali melempar diri di kota kelahiranku ini. Sambil sesekali menghibur rasa lewat kata- kata. Dan mulai melupakan makna sebuah harapan. Aku terlalu lelah dan juga takut kembali terlantar oleh harapan. Aku mengubur cara untuk berharap. Aku hanya mendoa agar bisa selalu merasa bahagia dengan situasi apapun karena manusia takkan pernah merasa puas.

Aku sudah berulang cara mencoba lupakan nama itu. Namun tak bisa sepenuhnya mampu. Jiwaku tetap berharap agar suatu masa nanti aku nikmati nama itu kembali. Cuma itu yang kumaui karena aku tak lagi sedang berada pada masa bebas memilih rasa. Aku sudah memilih untuk melayarkan jiwa raga pada sebuah lelaki nyata. Aku tahu nama itu tak akan mungkin bisa jadi Siapa. Nama itu akan selamanya menjadi Apa yang adalah sebuah benda. Bukannya sebagai Siapa. Karena waktulah yang memilihkan peran untuknya. Aku tahu itu. Maka aku hanya mendoa bisa sesekali rasai degupan kencang detak jantung jika aku memang sedang ingin merasainya kembali. Mungkin aku memang egois. Damn, I do miss it much!!!

Aku begitu merindu nama itu…
Aku ingin kembali bersenggama dengannya…
Kembali merasa menantikan sesuatu dengan begitu…
Mengharap waktu segera hantarkan diri pada suaranya…
Bisakah aku meminta itu terjadi?

Aku tidak sedang mengkhianati siapapun…
Karena aku hanya menyimpannya sebagai sebuah rasa…
Nama itu begitu menggodaku tanpa ampun…
Apa nama itu masih mengingat bahwa aku memang benar ada?

Nama itu adalah Omar Randu…


Saat ini hari sudah bernama Kamis
Bertanggal 26 Maret 2009
Dan bersetting Mojokerto
19:06

Saat hujan baru mereda...


Kediri
Bernama Jum’at
Bertanggal 20 November 2008
Kala hujan belum juga reda…


Malam masih belum terlalu tua hingga aku merasa tidak ada salahnya jika aku meregangkan sedikit nyawa untuk merekam hari lewat kata. Meski hujan belum juga mereda, gerah masih juga gigih berjuang untuk terus memaksa tapaki hari ini. Entah apa yang ada di pikiran sang gerah. Sedikitpun tidak merasa akan kalah bersaing dengan hujan yang hadir berteman dingin.

Sekarang aku tahu makna perjuangan. Aku belajar banyak dari rasa gerah yang dengan begitu teguhnya melawan dingin yang jelas- jelas sudah dipromotori oleh hujan. Nyatanya, gerahlah yang menang (meski dimataku dia hanyalah sebentuk calon pecundang yang akan segera menjadi pecundang sejati). Nyatanya aku salah perhitungan. Dan kesalahan ini bukan yang pertama (dan kemungkinan besar bukan yang terakhir).

Sebenarnya malam ini aku ingin menuangkan seseorang dalam kata- kata. Seseorang dari dunia maya yang sampai saat ini masih juga bersinggungan dengan urat bahagiaku. Terimakasih untuknya. Namun entah kenapa tiba- tiba barisan kata yang tadinya berjubel di ingatan dan terus saling dorong untuk dituang dalam kata, kini lenyap. Aku belum tahu harus menuliskan apa untuk dia.

Ini batang rokok kedua yang hinggapi bibirku malam ini. Aku sedang dalam taraf ingin bersenang- senang tanpa dianggap tidak bermoral. Aku sedang sendiri. Merokok sambil amati deretan huruf- huruf di layar. Putung ini terpaksa kutaruh kembali. Seseorang yang sedang ingin kutuang dalam kata itu menghubungi.

Setelah 18 menit, telepon ditutup dengan alasan hp sudah sangat panas sedangkan headset menyingkir entah kemana. Sisa putung itu kunyalakan kembali. Karena aku berharap tidak sendiri. Ada gulungan asap yang akan meramaikan suasana. Sudah lama sekali aku tidak mengagumi gulungan- gulungan asap serta suara gemeritik khas rokok terbakar dan terhisap. Aku suka memainkan asap itu.

Aku benci diriku saat merokok. Aku merasa seperti perempuan murah pinggir jalan yang sedang menjajakan diri untuk dicicipi siapapun yang sedang butuh. Namun terkadang jiwa inginku lebih dominan. Lalu kuputuskan tetap melakukannya sebagai sampingan kala menulis (seperti sekarang ini, aku merokok sambil merangkai kata). Aku hanya berusaha menggabungkan hal tabu murahan dengan sedikit intelektualitas. Lalu yang terpenting adalah menghindari kaca agar bayangan diriku yang sedang murah tidak tertangkap retina mataku sendiri.

Batang kedua sudah habis terhisap inginku. Kini batang tenggorokanku mulai bereaksi. Berontak dengan cara melukai dirinya sendiri hingga mau tidak mau aku juga yang merasa ada yang tidak beres dengannya. Memang benar, manusia punya organ yang lengkap tapi tidak semuanya bisa dikontrol. Bahkan sebenarnya milik kita itulah yang mengontrol kita.

Tiba- tiba aku merasa orang Indonesia semakin dangkal saja pola pikirnya. MISS CELEBRITY! Menjual kecantikan dengan diskon besar- besaran. Suatu bentuk pembuktian bahwa menjadi cantik adalah hal paling utama. Sedang volume otak tidak perlu diperbesar. Sepertinya kerja keras Virginia Woolf sia- sia saja. Aku jadi teringat kata- kata Ayu Utami dalam Parasit Lajang-nya; wanita adalah makhluk paling buruk rupa karenanya perlu memoles wajah dengan topeng bedak untuk tutupi kekurangan. Tidak heran jika sekarang hampir semua wanita (terutama di kota besar) mempunyai kecantikan homogen.

Aldi, aku sedang benar- benar menunggumu kembali menghubungiku. Tapi aku tidak mau lagi jadi yang memulai. Saat ini aku akan berjuang keras untuk menahan diri agar tidak lagi menjadi seorang pioneer. Karena bagiku kamulah yang harusnya jadi pioneer bagiku. Sampai detik inipun tidak ada pertanda hadirnya suaramu.

Otakku sedang tidak mampu lahirkan kata- kata lagi. Lebih baik aku sudahi saja episode malam ini. Aku hendak mengistirahatkan semua organ tubuhku ini sambil terus nantikan seorang mayaku menghubungiku kembali seperti apa yang tadi sempat dia janjikan. Karena bagiku janji adalah hutang.

Punggungku juga mulai mengajak tempat tidur bersenggama…
Kali ini aku harus menyerah pada tingginya libido mereka…
Mungkin karena hari ini bakal berganti nama…
Mataku juga semakin mengatup tutupi retina…

Sebentar. Aku sedang mengingat sesuatu. Aku cuma merasa perlu menuliskan bahwa aku sedang menapaki tangga kejenuhan. Banyak kekecewaanku terhadap seorang mayaku yang kemudian memaksaku menaiki tangga itu. Terlalu sering aku menunggu untuk kemudian dijatuhkan dari harapanku yang sudah terlanjur meninggi oleh janjinya.

Mungkin yang benar adalah aku membiarkan diriku terus naiki tangga untuk kemudian berada di titik jenuh sehingga aku dengan sukarela berubah menjadi sebuah kenangan yang entah akan dikenang atau segera dileburkan dalam hiruk- pikuk kehidupan bising kota Metropolis. Apa yang sekarang aku rasakan sama persis dengan apa yang dia katakan. Dia sempat berkata bahwa aku membuatnya jenuh.

Aku banyak dikecewakan oleh kata- katanya yang ternyata tidak bisa dipegang. Mungkin sekarang aku merasa sangat perlu melakukan peninjauan ulang terhadap semua rencana. Tidak ada jaminan dia akan memenuhi apa yang terlanjur dia katakan. Aku hanya tidak berminat dikecewakan dengan cara yang lebih menyakitkan lagi.

Harapanku adalah agar aku dan dia mencapai titik jenuh disaat yang sama sehingga kami dengan sukarela saling melepaskan kebiasaan ini. Agar tidak ada yang terlalu tersakiti. Agar tidak ada yang merasa menang karena meninggalkan dan menangis miris karena ditinggalkan saat masih merasa belum bisa merdeka dari kebiasaan selama ini. Mungkin harapan itu yang paling adil bagi aku pun baginya.


11.32
Hujanpun (akhirnya) mereda…

Sebuah sore yang menentramkan...


Mojokerto
Bertanggal 4 Maret 2009
Saat hari bernama Rabu…
Bumi serasa lambat berputar…


Sebenarnya aku merasa sangat tidak enak hati harus kembali kesini dengan rasa marah yang sama. Rasa marah yang berhasil kuredam dengan sekam sepi hingga marah itu merasa tidak lagi perlu luapkan diri secara berlebihan. Aku marah dengan fakta. Marah dengan sebuah kondisi yang kuciptakan sendiri. Mungkin lebih benar jika marah itu diberi nama kecewa berlebih. Dan aku tak kunjung jumpai obat sembuhi diri. Hingga aku tak lagi punya pilihan selain menyekap diri dalam sendiri sambil kembali mencari- cari keindahan sepi itu. Mungkin keindahan sepi ternyata sedang bersembunyi di balik himpitan dinding oleh almari. Atau mungkin saja keindahan itu sedang tertindih sprei yang rapi rangkuli tempat tidur. Bahkan mungkin saja sebenarnya keindahan itu ternyata sedang berusaha melepaskan diri dari beberapa pasang baju di gantungan. Maka aku akan membantunya kembali rasai nyamannya kebebasan. Lalu kita bisa bersahabat. Lalu kita bisa sama- sama merasa bahagia dalam sepi. Tanpa kata. Karena meski berdua, kami tak berbahasa sama. Maka kami akan berusaha rumuskan bahasa agar bisa saling berkata lalu memahami.

Pernah juga aku berusaha alihkan kecewa dengan cara bertandang sopan ke masa lalu. Kecewa itu sedikit menyingkir. Mungkin karena ada banyak bahagia yang menyembul hingga akhirnya kecewa merasa tak lagi perlu hinggapi nyawaku. Dan aku benar- benar merasa sedang menembus detak waktu yang salah sekaligus mencandukan. Kelanjutannya bisalah ditebak. Benar! Aku tak mau lagi lepaskan tanganku yang terlanjur erat sentuh masa lalu. Lalu ternyata aku terbangun. Aku tersadar bahwa aku sedang bermimpi nyata. Nyata menyentuh erat masa lalu dalam sebuah mimpi tanpa terlelap sejenakpun.

Aku benar takut. Merasa sangat terselimuti oleh ketakutan yang garang menyerang jiwaku yang memang sedang menolak ditemanki siapapun. Aku mau merasai semuanya sendiri. Jika ada sebuah nyawa ingin menemani, aku akan secara formalitas mengiyakan meski nyata- nyata aku akan sembunyi darinya. Agar aku bertemu dengan sendiri lagi. Bahkan kini aku takut bermimpi. Karena mimpi hanya akan beri aku bentuk kesengsaraan yang lain. Mungkin akan tampak sebagai senyum manis meski sebenarnya itu hanyalah topeng nyata sebuah rintihan nyeri nyawaku. Aku tak mau lagi merasa nyeri hingga harus merintih seperti sekarang ini. Aku sungguh merasa begitu lelah. Lelah rasai bosan yang tak pernah merasa bosan merajam jiwaku yang dianggap sebagai pezinah. Padahal aku seorang bukan. Aku benar bukan pezinah!

Larut secara ikhlas lalu tergerus masa hingga jadi cairan sejarah. Mungkin itulah cita- cita terbesarku. Karena nyawa letih sepertiku takkan bisa lagi menempuh waktu yang kian menua. Menyerah pada waktu lalu bermetamorfosa menjadi sejarah.

Aku menghela nafas sedalam- dalamnya. Sedikit lega…

Ya ampun…waktu begitu renta hingga berjalan tanpa kecepatan. Detik- detik langkahnya berganti tanpa rasa. Begitu lambat hingga aku tak lagi merasa tertantang untuk berpacu mencipta kenangan setak terhitung mungkin. Sia- sia jika saja aku memaksa melukis kenangan itu. Karena akan menjadi sangat terlalu banyak. Langkah renta waktu ini kubiarkan begitu saja.

Apalagi yang bisa dirintihkan? Tak ada lagi. Semua sudah pernah kurintihkan. Hatiku masih belum sanggup menantang maut dapati rintihan lain. Maka bisa dikatakan semuanya sudah lengkap terintihkan.

Telepon genggam hitam ini tiba- tiba dideringkan seseorang yang jauh dari penglihatanku. Belum sempat terangkat. Mati…

Nyaman sekali ternyata jika kelopak mata mengatup. Karena hari akan terasa bagai malam yang mampu sembuyikan apapun, termasuk kesepian diri. Tak lama mengatup. Tak boleh terlalu lama mengatup, memang.

Sebentar….

Kopi legam ini kuhisap sejenak lalu kulumat beberapa bagian. Nikmat. Lalu kuulang lagi. Sampai sebagian besar haus ini terlumat…

Beberapa langkah renta waktu aku menanti sesuatu yang katanya akan hadir. Aku masih menunggunya.

Beberapa rentang waktu aku mendapat sebentuk hiburan dari nyawa lain. Terimakasih untuknya…

Kini hatiku terasa tersihir secara sukarela oleh nyawa itu. Aku merasa sedikit tenang dan berhenti mengumpat. Dia bukan siapa- siapa tapi bisa juga memberi sedikit udara harum bagi nyawaku yang sedang meranggas kering. Nyawaku mingkin sedang bermusim kemarau hingga tanah jiwaku banyak yang retak, hutan nafasku banyak meranggas pun sungai birahiku sedang mengering dan mengerontang. Mimpi- mimpiku sedang terbakar habis oleh keringnya udara jiwa. Lalu asap- asapnya membumbung tinggi hingga kemudian menutup rapat langit manusiawiku dari dunia luar yang begitu berwarni. Angin lemas sesekali datang luapkan marahnya oleh suhu yang luar biasa panas. Retakan tanah itu semakin meluas hingga bersatu dengan sungai tanpa meninggalkan setitik perbedaan. Disinilah sungai dan tanah seumpama dua insan yang sedang melumerkan birahi. Begitu menyatu dalam semua rasanya.

Cairan kopi legam itu telah total terhisap habis oleh haus. Menyisakan beberapa bagian sisa serupa tanah basah. Kini cangkir besar berbahan keramik ini bisa kembali memutih. Tak lagi terdominasi warna oleh si kopi yang kepekatanannya mengalahkan semua bentuk kecerahan. Mungkin sekaranglah masa kebebasan bagi cangkir yang setia ini. Motif tulip orange cangkir itu terwarna semakin orange. Terlihat berseri. Aku turut bahagia buat cangkir merdeka itu.

Bagaimana denganku? Apa aku merdeka juga seperti sang cangkir? Hampir! Karena hari akan segera gelap. Dan gelaplah masa merdekaku. Dimana aku bisa merasa tersembuyi tanpa harus bersusah payah menyembunyikan diri. Aman terasanya…

Berdiri sejenak ditepi jendela. Menyadari segarnya cuaca hari ini. Embun sore seakan mencair tersulut mentari yang meski meredup namun tetap memendam kobar. Angin kanak- kanak bermain- main riang bersama pucuk dedaunan. Tertawa renyah meski masih juga luput dari pendengaranku. Dedaunan terlihat geli tergelitik angin. Tubuhnya berayun gemulai bagai pementas sandiwara diatas panggung. Setiap gerakannya adalah pusat perhatian bagi semua penikmat alam. Hijau itu tersenyum begitu manis mendengar tepukan tangan manusia yang merelakan sekejap waktunya untuk amati indahnya sore. Seperti aku yang selalu punya masa untuk mematai setiap pergantian waktu.

Para tetangga terdengar begitu sibuk rampungkan tugas yang tertunda. Mungkin sebagian dari mereka memandikan si buah hati. Ada juga yang bersiap tunaikan sholat sore. Beberapa tetangga masih santai melempar kata sambil bersihkan halaman rumah. Anak- anak SD merasa sudah waktunya berangkat les atau mengaji di langgar dekat rumah. Sore rasanya begitu lunak. Nikmat bila dirasai dengan segenap rasa yang tersisa…

Letihku tiba- tiba mengabur entah menuju mana. Dan akupun enggan menggapainya kembali. Biarkan saja. Toh aku tak pernah memaksanya pergi. Rasaku sedang nyaman. Karena sore yang lembut. Sore yang melunak. Sore yang menentramkan…

Aku mau sholat sore dulu…
Semoga aku bisa kembali membawa kata untuk dituang kedalam gerabah isi hati ini…
Doakan aku tak lupa mendoa…

Beberapa kala berselang hingga kini aku punya masa untuk lukiskan sisa hari dengan kanvas kata. Sore sudah berganti nama. Kini menjadi berpanggilan petang dan dalam waktu sebentar akan bernama malam. Dan kali ini petang datang beserta hujan. Air berjingkat cepat membasuh semua selimut bumi. Langitpun seakan kedinginan hingga membujuk awan untuk jadi selimutnya. Sekarang yang terlihat adalah kekelaman payung bumi itu. Betapa kelam payung alam itu hingga tak lagi mampu lindungi bumi dari hujan musim ini. Semua kini basah.

Malam akan segera menyulam sisa hari ini. Datang sebagai penutup yang juga bertugas mengatupkan kelopak- kelopak mata manusia. Malam bertandang sambil tiupkan pucuk- pucuk harapan tentang esok hari. Tentang bangunnya mentari pagi. Tentang hangatnya sebuah pagi. Tentang mekarnya embun harapan. Tentang mahirnya alam mencipta keindahan jiwa. Tentang cerahnya warna dunia. Tentang…

Hatiku kini berseri. Mungkin kebasahan alam ini menyalurkan energi baru hingga aku kembali punya berani untuk tersenyum bahagia. Hati ini terasa begitu sejuk. Efek suara air yang berisik itupun tak berdaya mengubah susunan pola hatiku yang sedang cerah sekarang. Bahkan temaramnya hari masih saja kirimkan segenggam kobar tuk terus terangkan jiwa. Aku bahagia….



5:59
Terimakasih Sore…

Sore...


Mojokerto
12 Februari 2009
Berpijak pada sebuah Jum’at


Mentari sedang beranjak redup. Bersiap diri untuk mati suri dan mewakilkan diri pada bulan atau mungkin bintang yang siap bertandang di indra manusia. Malam siap dominasi hari. Memang begitulah lingkaran alam. Terus menggelinding meski dengan arena tanding yang sama dan penonton yang juga tak pernah berubah. Udara sore ini begitu jinak hingga aku lebih memilih membuka panca indra demi nikmati detik hari. Angin sore juga merasa harus pamer kemesraan dengan para flora. Saling bertautan, lahirkan gerakan lemah pada semua yang dicumbuinya. Simbol kenikmatan, mungkin. Langit sore ini tak begitu cerah. Pun tak terlalu terlihat lelah meski sudah entah sejak kapan payungi bumi. Yang jelas langit itupun enak dilihat. Mendung yang sedikit gelap datang bertandang karena mungkin merasa diundang oleh musim yang kala ini bernama penghujan. Jika aku boleh mereka dan mencoba sedikit sok tahu, mungkin mendung itu merasa punya kewajiban datang sore ini. Maka secara keseluruhan, alam sore ini terasa begitu manis, nikmat dan gurih buat dinikmati. Percayalah padaku…

Pandanganku sedikit kebingungan. Banyak yang bisa dilihat. Makanya gagal jatuhkan pilihan akan setia pada yang mana. Pada langitkah? Jajaran genteng tetangga yang terlihat begitu rapi (karena aku di balkon rumah)? Rak buku yang sedang aku hadapikah? Cermin lemari yang sedang pantulkan bayangankukah? Atau kardus TV yang terlokasi di sebelah lemarikah? Baiklah, aku putuskan untuk setia pada layar ini saja. Agar aku bisa terus rekam sore ini dalam kata. Supaya suatu waktu nanti aku bisa membaca kembali kemanisan, kenikmatan dan kegurihan sore ini.

Cahaya mentari mulai terusir waktu. Gelap porsi mini sedang datangi hari. Lalu aku berdiri sejenak demi mencari tombol lampu bantu. Agar gelap tidak merasa terlalu dominan. Agar mata tetap merasa nyaman. Agar PLN juga bisa mengirim tagihan listrik bulanan. Agar aku juga sama dengan para tetangga yang juga butuh penerangan…

Mataku terasa sedikit perih. Badanku terasa terlalu banyak bercanda dengan angin yang tak pernah punya rasa letih. Hidungku mulai merintih. Salahku juga karena terlalu lama duduk di balkon ini. Aku mengantuk tapi tak mungkin bisa temui lelap karena hari sedang meranum hingga aku harus menunggu sampai hari mematangkan diri dulu. Kata orang Jawa, tak baik tidur saat menjelang Maghrib karena itulah saat setang keluar untuk berpetualang. Bisa bikin mimpi buruk, kata mereka. Dan aku percaya meraka. Bukan karena aku jenis manusia pengikut budaya kolot nenek moyang, tapi karena aku pernah suatu kali di masa lalu terbangun dengan keringat takut saat memaksa terlelap di hampir Maghrib.

Adzan akhirnya menyapa pendengaran. Lega rasanya. Bukan karena setelah ini aku bisa langsung berlayar di negeri mimpi melainkan karena hari telah bernama malam. Dan aku suka malam. Dan aku mencintai malam. Bahkan aku mengagumi malam. Sama dengan rasa suka, cinta dan kagumku oleh hujan. Sudah sifat bawaan jika aku adalah manusia pecinta malam dan hujan.

Bagiku malam adalah satu- satunya sahabat paling karib. Selalu memberiku sempat untuk rasai nyaman dengan kadar tinggi. Bisa sembuyikan apapun yang tidak berkenan kita bagi dengan yang lain.

Sebentar. Aku minta waktu tunaikan wajib dulu. Sebentar aku pasti akan kembali disini. Masuk dalam dunia kata. Mengurung diri sambil nikmati malam. Rehat barang beberapa menit.

Maaf. Maaf atas kealpaanku. Maaf atas ketidakmampuannku dalam penuhi kata bernama janji. Maaf karena rehat yang aku janjikan hanya beberapa menit ternyata terjalani hingga kemudian mencapai beberapa hari. Raga dan jiwaku kala itu terasa agak enggan mengulas sore itu. Bukan karena sore itu kurang indah hingga aku tak lagi mampu ungkapkannya dalam bentuk kata, tapi karena aku terlanjur merasa lelah dan merasa tak mungkin mampu mencetak rasa dalam kata. Itu saja alasannya.

Hingga hari secara otomatis bergulir nama. Aku kini bertemu dengan Senin kembali. Senin yang bertanggal 16 Februari 2009. Dan seperti biasa, aku kembali menghamba disini karena merana oleh kebosanan. Merana oleh kesenggangan yang bagiku sangat kurang menantang. Aku tidak suka.

Beberapa hari yang lalu suatu keironisan terjadi. Berada dekat denganku. Sebuah hari yang dinobatkan oleh sebagian besar manusia bumi sebagai hari kasih sayang. Sesuai dengan namanya, semua manusia merasa harus berlomba dengan sesamanya untuk merayakan dan berkasih sesayang mungkin, juga, kepada sesamanya. Coklat, merah muda, bunga, boneka I LOVE U, kue bentuk hati dan semua perlambang hari kasih sayang terasa begitu dimanja oleh manusia. Dielu- elukan. Dicari- cari untuk kemudian berakhir di tangan dan hati orang yang disayang. Bisa jadi pacar, saudara, sahabat atau hanya sekedar teman, orang tua atau siapapun yang dikasihi juga disayangi (mungkin hanya di hari itu saja). Orang bilang hari ini bumi berganti warna, jadi merah muda. Kata mereka. Tapi mungkin aku buta warna hingga tak punya daya melihat perbedaan warna bumi seperti yang mereka- mereka kata. Tapi apa mungkin ada manusia yang buta warnanya tak bisa bedakan warna merah muda? Ada! Dan itulah saya. Bagiku, hari itu berwaran hitam karena ayah baru saja meninggal dunia. Sehari setelah itu, mamanya divonis terjangkit Deman Berdarah campur tipes. Mungkin benernya adalah bahwa hari itu berwarna merah muda campur hitam yang kemudian menghasilkan warna hitam. Karena hitam begitu dominan. Saat manusia ramai bergelak tawa berkasih dan bersayang, sahabatku itu sedang bergelak tangis, berkasih dan bersayang dengan ayahnya yang kini telah almarhum. Sedihku untuknya. Dia pasti, sedikit, tidak suka hari kasih sayang dia tahun- tahun berikutnya hingga akhirnya dia jadi almarhumah juga. Mungkin.

Rasaku serasa tak sedang berada disini. Entah ada dimana dia. Yang jelas aku tak merasa punya rasa. Karenanya aku tak bisa terus cerita. Maka aku akan mencarinya. Hanya untuk satu alasan; agar aku kembali punya rasa untuk lanjutkan cerita. Selamat malam semua…




19:21

Monday, March 23, 2009

Vaska Alteria...

Kediri
Minggu, 28 Desember 2008
Hampir jam lima sore
Sebagai Vaska…



Siapakah sebenarnya aku ini? Vaska atau Belva? Beberapa panggilan yang membawa arti berbeda. Aku memang sedang menikmati, bahkan bisa dikatakan sangat menikmati berperan sebagai Vaska. Sesosok wanita berumur masih 24 tahun dengan karir bagus, tampilan fisik yang mengecewakan jarang sekali lelaki dan yang terpenting adalah dia masih punya beberapa nyawa kebebasan untuk menikmati apa saja yang ada di harapannya pun apa saja yang ingin dia rasai karena dia punya segala yang diingini manusia.


Sampai kapan aku akan melakukan peranku sebagai Vaska Alteria? Mungkin aku akan segera membunuh tokoh Va. Bukan karena tokoh ini tidak lagi digemari pemirsa melainkan karena aku harus segera kembali ke dunia nyata dan menjalani peranku sebagai seorang yang terlahir dengan nama Belva Purnama yang jelas- jelas sudah berstatus sebagai seorang istri dari Delvin Teman. Namun kenyataan yang sedang aku punya sekarang masih terasa begitu berat. Aku merasa perlu sejenak melakukan relaksasi dengan cara bersembuyi dibalik Vaska_Alteria@yahoo.com. Aku benar- benar merasa bebas nikmati nyawa. Seakan aku benar masuk dalam nyawa Va.


Aku tak pernah tahu pasti pada siapa aku bisa berbagi lara. Semua yang kini sedang mengelilingiku masih saja nyaman pada dunia tawa mereka. Tak mungkin jika tiba- tiba aku datang dengan perasaan sembab oleh beberapa gelintir kekecewaan, sekilat kesedihan dan kekhawatiran maupun seliter air mata kesepiaan. Mereka tak mungkin bisa memahamiku karena tak sedang berada pada dunia yang sama denganku. Lalu aku memutuskan berubah menjadi khayal bernama Va.


Sebagian nuraniku berteriak lirih agar aku segera beralih tokoh, kembali menjadi Belva. Karena dia pikir aku sangat tidak adil terhadap suamiku. Namun aku sungguh masih belum sanggup untuk 100% hidup sebagai . Aku masih belum cukup kuat menahan kesepian, kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran maupun kegagalan ini. Aku perlu beberapa saat lagi untuk kembalikan nyawa pemberaniku.


Puncak perjalanan hidup Va adalah saat lelaki mayanya benar menujunya. Va, yang sebenarnya tidak pernah ada, harus segera mengakui dirinya sebagai Belva yang datang hanya untuk menolong. Belva akan kemudian lahir dengan sendirinya. Entah apa yang akan terjadi…


Aku sejenak terhenti oleh sebuah telepon dari kolega hidup; mengabarkan pernikahan teman masa lalu kami. Jika dulu aku merasa dan bereaksi biasa saja saat mendengar berita pernikahan, tapi sekarang aku merasa sangat luar biasa berbahagia. Bukan karena aku merasa ikut berbahagia bagi pasangan itu namun karena aku merasa semakin banyak orang yang hidup di dunia yang sama denganku. Aku berpengharapan agar mereka kemudian akan bisa merasakan apa yang aku rasakan. Terdengar sedikit jahat memang, tapi itulah yang memang kurasakan. Sebenarnya yang aku ingini hanyalah merasa tidak sendiri karena banyak juga yang sedang merasakan apa yang sedang aku rasakan. Hingga saat aku butuh mereka mendengarku, mereka bisa menangis bersamaku sambil bersama- sama merasakan yang aku rasa.


Belakangan ini aku menyesali pernikahanku. Aku benar merasa sangat terkekang oleh status ini. Dipanggil istri lalu harus 100% bersama dengan seorang lelaki saja. Kemudian masuk pada masalah- masalah merger keluarga. Aku sama sekali tidak nyaman dengan status yang mengikatku dan merenggut paksa kebebasanku ini. Aku yakin masih ada banyak sekali petualangan yang mau aku rasai. Tapi sekarang aku harus terpaksa berhenti hingga jiwaku tak terima kebijakan ini. Aku masih ingin bersenang- senang dengan semua yang ada di luar sana. Aku masih berminat merasai berbagai macam rasa petualangan. Aku masih sangat mengharapkan kembali merasa jatuh cinta mati pada lelaki lalu aku atau dia harus patah hati karena ada sesuatu yang terjadi. Aku tidak mau merendam nyawa dirumah, keluar sesekali dengan lelaki yang sama lalu bertemu dengan keluarga besar sang suami yang sangat membuatku tak nyaman. Aku memang tak mudah masuki dunia baru dan masalahnya adalah mereka semua tak mau mengerti jadi aku merasa lebih terpaksa dan hanya beralasan formalitas dan tak ada daya menghindar. Tak ada hati sama sekali.


Dulu aku pernah berfikir dan hampir berkeputusan untuk tidak menambatkan hati pada satu lelaki. Itu karena aku tak yakin bisa setia padanya. Hatiku selalu ingin merasai hal baru yang masih belum sempat aku rasai karena kuyakin setiap lelaki akan berikan rasa berbeda dalam hatiku. Aku selalu saja ingin merasa up and down setiap saat. Jika rasa itu hilang aku akan kembali merasa kehausan dan mencari- cari cara kembali rasai jatuh cinta atau sekedar cicipi up and down-nya kehidupan. Lalu kini aku menyesal menikah diusia 24 tahun. Seharusnya aku masih harus menundanya. Masih banyak yang ingin aku dapati pun rasai.


Masalahnya bukan karena aku tidak cinta lelaki yang aku nikahi, namun aku tidak mau menyakiti siapapun karena jiwa liarku ini. Aku pasti akan menyakiti seseorang atau bahkan banyak orang jika aku masih saja menyuburkan keinginanku untuk berpetualang itu. Namun dilain pihak aku tak punya pilihan lagi karena memang petualangan itulah yang masih ingin aku rasai. Aku masih belum siap dengan semua formalitas kekeluargaan yang sekarang sedang aku hadapi. Sekali lagi bukan karena aku merasa tinggi atau apapun tapi hatiku memang masih sedang belum berarah kesitu. Dan aku bukan jenis yang suka dipaksakan.


Faktanya adalah aku sudah menikah sekarang. Telah setahun lebih sedikit aku memaksakan diri menyelami formalitas hidup berumah tangga. Menahan semua keinginan liar seorang lajang. Jiwa domestikku begitu resesif hingga dengan sangat mudah direpresi oleh keliaran yang sudah demikian kuat dan mendominasi. Hingga lahirlah seorang Vaska Alteria. Tokoh yang aku ciptakan untukku merasa sedikit bebas dan liar. Hanya sedikit saja karena aku berbatasan dengan dunia nyataku dan namaku yang sebenarnya Belva Purnama.


Lalu aku mulai mencari pembenaran. Apa ini yang selalu dirasakan oleh semua wanita yang sudah menikah, apalagi masih belum punya momongan yang sebenarnya adalah cuma alat pembuktian kejantanan suami, pengalihan perhatian dari kebosanan hidup dengan satu pasangan tetap, maupun media kebanggaan bagi keluarga besar? Apa benar ini yang dirasa jika wanita yang telah berumah tangga tak segera punya momongan. Jika benar maka keliaran, kebosanan dan kekecewaanku terhadap apa yang ada sekarang bisa dipastikan melemah saat aku tahu bahwa aku hamil. Tapi sebenarnya aku tak terlalu yakin. Karena aku sangat mengenal diriku sendiri. Aku benci rutinitas dan kesamaan. Aku mau selalu merasa ada yang beda dan tak mau dipaksakan. Bisa jadi aku akan menyesali dua hal; menikah diusia 24 tahun(yang bagiku masih terlalu dini) dan punya momongan.


Apa sebenarnya yang salah? Apa buku- buku dan novel- novel itu? Yang terus merombak konstruksi kenormalan otakku. Bisa jadi. Tapi banyak juga wanita , yang suka melahap buku dan novel feminisme dan penganut aliran bebas, yang masih tetap bisa normal dan menjalani semuanya dengan suka cita. Tapi siapa yang benar tahu isi hati mereka? Bisa jadi mereka sebenarnya juga merasa sama persis dengan apa yang aku rasa. Bisa jadi mereka juga menciptakan tokoh imajiner seperti halnya aku melahirkan Vaska dari rahim khayalku.


Aku mau melimitasi persinggunganku dengan dunia luar yang nyata. Aku mau terus nikmati diri sebagai Va. Sampai aku tak lagi kecewa terhadap apa yang ada saat ini. Terdengar egois tapi itulah aku. Yang pasti aku juga merasa sangat merana dengan ketidakmampuanku nikmati dunia nyata. Aku lelah harus terus lari dari nyata. Kaki- kaki khayalku terasa begitu lunglai. Tapi aku masih belum berani membuka mata.


Aku merasa begitu gerah….
Udara kota ini tak begitu bersahaja…
Aku mau membasuh raga…
Agar bisa sedikit merasa nyaman dan indah…


Hampir jam enam petang…
Tanpa perasaan lega sedikitpun meski tlah habiskan ratusan kata guna nyamankan jiwa…
Baiklah…
Terimakasih pada Vaska…
Maafkan aku, Belva…

Rasa kehilangan itu akhirnya hampiri diri...

Kediri
Pada sebuah pagi bernama Rabu
Bernomor punggung 26 November 2008
4.45


Mataku sebenarnya masih ingin terus mengatup karena hari memang baru saja terbuka. Perutku sedang meronta ingin mengunyah sesuatu hingga kuputuskan memulai hidup pagi ini. Secangkir Nescafe creme telah menunjukkan dedikasinya padaku. Terimakasih untuknya.


Kini telingaku sedang menjadi penikmat jamahan nada oleh suara, sedangkan retinaku sedang menatap Periskop Metro TV yang sengaja kunobatkan sebagai teman baruku pagi ini. Namun layar itu sengaja kubungkam suaranya karena aku hanya tertarik menikmati pagi sendiri. Biarlah retina lain ditempat ini mengatup rapat. Karena hari memang masih bayi.


Tiba- tiba nyawaku terasa lenyap sekejap. Sekembalinya, kutanya dia. Lalu dia berkata “Aku baru saja melesat mencari rasa yang selama ini kamu maui”. Belakangan ini aku memang sedang mencari nilai estetika dan melankolis dari sebuah kehampiran. Sudah agak lama aku berusaha mendapatinya. Belum juga kutemui hingga akhirnya aku menyimpulkan bahwa kali ini aku gagal membawa rasa yang harusnya ada temani kehampiran. Sempat kuputuskan untuk menerima semuanya apa adanya, tanpa terlalu memperdulikan harusnya seperti apa. Namun tiba- tiba saja rasa itu datang untuk tempati posisinya. Memang benar, jika kita menerima semua dengan hati terbuka maka hati akan memberi kita rasa yang lebih indah. Setidaknya itulah yang sekarang ini sedang aku rasai.


Aku tidak pernah menyangka sebuah rasa kehilangan kemudian menyapaku sepagi ini, saat beberapa bagian nyawa masih absen dan hari belum begitu dewasa. Hatiku tiba- tiba tayangkan senyuman Galih “the Jamaican boy”, celotehan Viko, Andre dan Johan, keseriusan wajah Bagos. Merekalah yang menggugah rasaku yang mungkin sedang tertidur oleh lelah. Wajah-wajah ceria yang akan segera aku ucapi selamat berpisah. Apa mereka akan merinduiku? Apa mereka akan mencariku? Apa mereka sempat merasa nyaman karena adaku? Apa mereka bahkan akan merasa lebih nyaman tanpaku? Berbagai tanya itu hanya mengharap satu jawab; “iya”.


Keputusanku untuk memugar sekat hidupku ditempat ini ternyata membawa rasa kehilangan. Kehilangan wajah indah itu. Kehilangan kesempatan untuk kembali kembangkan senyum itu. Kehilangan kebersamaan dengan semua yang sempat ada.


Akhirnya aku merasa kehilangan juga. Rasa inilah yang sebenarnya sedang aku cari karena memang benar ingin aku rasai.


OST. Cayman Island byThe Kings of Convenience.
Begitu teduh saat terseduh telinga pagiku.


Hari memang masih begitu tenang karena belum banyak retina terbuka, masih sedikit suara mengambang di udara pun langkah kaki masih belum sempat mengusik telinga. Semua masih terasa muda dan baik- baik saja.


Meski aku nyata- nyata nyaman merasa tidak berteman, namun sebuah kewajiban manusiawi memaksaku untuk membuka sepasang retina lain agar raganya siap bertegur sapa dengan Sang Khalik. Harapanku hanya agar pasangan retina itu segera mengatup lagi setelah semua tertunaikan. Hanya penuhi kewajiban manusiawi.


Otakku sedang ingin sedikit melambat. Aliran kata ini terasa sedikit tersumbat. Aku mau rehat beberapa helaan nafas sembari menunggu hatiku bercerita apa yang dirasainya.


Syukurlah, aku kembali tidak berteman karena hanya retinaku saja yang bekerja pagi ini. Aku masih dalam kondisi menunggu hati menjamah otak, lalu hasilkan untaian kata yang kemudian akan direkam oleh jemari diatas layar.


Baiklah, aku putuskan berhenti menunggu hati. Sudah cukup semua yang ingin kusebut. Hari yang tadi masih bayi kini sudah tumbuh menjadi batita. Lebih baik mengakhiri ini secara baik- baik. Aku mohon diri. Aku akan segera mengatupkan lagi sepasang retinaku.


5.26

Yang aku rasa atas sebuah nama...


(Masih) Kediri
Saat hari bernama Kamis…
Kalender sedang menamai diri 4 Desember 2008…



Ragaku kini terasa jauh lebih nyaman. Tirta itu (seperti biasa) tidak gagal merelokasi nyawa biasaku. Sunsilk soft & smooth itupun serta merta berjuang tunjukkan setianya padaku. Belum puas aku bersihkan diri dari rasa biasa maka kubujuk Lux itu untuk senggamai diriku agar sejenak aku merasa berganti nyawa oleh aroma khasnya. Kemudian Nivea Oil Regulating itupun berusaha menghiburku hanya untuk dapati beberapa penggal kata terima kasih karena telah membantu. Ucapan itulah yang juga ingin didapati Pepsodent Herbal hingga akhirnya dia juga berjanji akan melakukan apapun hanya untuk sebuah “terima kasih”. Baiklah, terima kasih untuk semua.

Aku kemudian terhenti untuk beberapa penggalan masa. Berusaha membujuk rasa agar aku bisa segera menjawab panggilan janji yang sejak hari masih bayi sudah dengan sangat lantang meneriakiku. Bahkan tepat di gendang hatiku yang tingkat kepekaannya tentu masih sangat tinggi. Retinaku mengatup sejenak sambil mengetuk hati hanya untuk dapati beberapa bungkus ingatan tentang sebuah nama, Omar Randu. Hasilnya masih nihil. Maka kuputuskan untuk sejenak menyerah pada kekuatan rasa.

Batang pertama hari ini kucumbui. Lentiknya gerakan udara tampak asyik menari bersama deretan asap ini. Aku tahu pasti ini tidak baik tapi aku sedang berada pada fase tidak ingin berhenti sekarang.

Yang kurasa atas semua nama, Omar Randu.
Belum terlalu lama aku bersinggungan dengan nama itu. Meski begitu aku bisa dengan sangat lancar menggambar siluet lelaki itu. Aku telah merelakan diri mengosongkan beberapa lembar ingatanku hanya untuk merekam semua yang sempat kutahu tentang dia meski kadang (seperti yang selalu aku bilang padanya) aku tidak bisa membedakan dia yang sedang serius pun bercanda. Biarlah semua masuk dalam rongga ingatan hingga aku kemudian punya kesempatan untuk memilah sari kebenarannya.

Entah sejak kapan aku merasa begitu aman dengan adanya seorang maya. Bagiku dia adalah sebentuk raga bernyawa yang memang pantas bernama lelaki karenanya nyatanya dia hidup dengan nyawa, hati, prasangka dan ingatan lelaki. Nyawa bernama Omar itu sama persis dengan gambaranku tentang bagaimana seharusnya seorang lelaki itu. Aku merasakan adanya kekuatan dan keteguhan hati dalam setiap apa yang sengaja dia sajikan untuk kudengar. Well, meski tidak jarang aku terpaksa bertabrakan dengan harapanku untuk merasai manisnya.

Yang aku tahu lelaki itu masih sedang menikmati fasenya. Dia sedang menari indah dengan irama metropolis sambil menenggelamkan diri dalam candu nikmat duniawi. Dia, entah atas dasar apa, masih saja membungkus diri dalam kertas kado halus nan mahal bernama nikmatnya masa muda. Kecantikan dan kemolekan hawa masih merupakan candu terkuat baginya. Lelaki itu, definetely, adalah seorang Don Juan yang secara sukarela menghambakan diri pada Dewi Kecantikan. Mungkin dengan cara itu dia bisa sedikit melenakan diri dari erangan hati kecilnya yang sebenarnya sedang tidak baik- baik saja. Bagiku hidupnya hanya sebuah kilatan blitz kamera yang terang mengejutkan untuk kemudian hilang terbang terusung bising. Normal kelihatannya tapi kurasa dia harus segera beranjak menapaki fase lanjutan kehidupannya. Mungkin ini akan terdengar begitu menggurui tapi aku sedang berusaha tepati sebuah janji.

Sampai suatu malam aku merasa dibangunkan oleh sisi lain seorang dia. Lalu aku terpaksa harus mereka ulang bentuk sketsaku ini. Dia, ternyata, masih punya entah berapa genggam tanggung jawab dan beberapa tetes embun mimpi akan cerahnya masa depan juga sejumlah tekad untuk sebuah masa bernama keberhasilan. Alhasil hari di hatiku mulai berganti nama, ditandai dengan terbitnya mentari kebanggaan atas semua yang sebenarnya dikandung oleh nyawa lelaki itu. Aku merasa gagal menebak dia. Sedikit melenceng dari perkiraan luguku.

Batang kedua sengaja aku senggamai siang ini. Sekedar untuk merasa tidak kesepian karena aku gagal menyatukan suaraku dengannya. Entah apa yang sedang terjadi padanya kala aku sedang merelakan diri mengukir sketsa maya ini. Aku cuma mau sekedar menghadirkannya disini melalui kata dan ingatan hatiku.

Lelaki itu datang disaat aku sedang berusaha mencari cara menemukan jalan untuk lebih nikmati hidup. Rutinitas yang telah berhasil menculikku dari kesenangan masa muda kini sedikit meregangkan pasungannya padaku hingga aku merasa sedikit bebas bergerak, berontak lalu luapkan semua yang ada di otak. Sekarang aku jadi semakin mencintai malam, menjajaki liarnya asap rokok, menghirup udara café hanya untuk sekedar menggenggam rasa tenang sambil menarik mundur waktu lewat sisa ingatan untuk kemudian kususun kembali sebagai penyatuan kata. Dulu aku sengaja menghindari semua rasa malam itu. Karena memang masih tersenyum rasai pasungan rutinitas dan pengertian moralitas yang dangkal. Kini aku terseret arus lelaki yang sangat mengakrabi dunia malam, hura- hura dan tawa itu. Meski demikian, aku tidak berniat melangkah lebih jauh menerobos kekelaman malam. Aku hanya ingin sedikit merasai yang sudah lama lelaki itu rasai.

Jika aku boleh terus berkata- kata maka aku akan terus menjerit lirih agar dia mau kugenggam erat untuk bersama- sama tapaki jalan yang sama denganku. Bukan karena aku egois dan ingin diikuti tapi aku mau lelakiku itu segera dapati mimpinya. Mimpi akan seonggok keberhasilan. Sebuah mimpi yang akan bawa bangga dan senyum di hati semua yang ada dihatinya.

Hari sudah semakin meranum. Matahari sudah bergeser beberapa derajat kebarat untuk kemudian tertidur pulas dan bercinta dengan panas.

Lalu aku merasa harus berhenti pada titik cinta ini. Aku sungguh mengagumi lelaki itu. Mengagumi keberaniannya untuk terus terlelap dalam lekuk- lekuk indahnya hidup. Aku mulai mendoa agar dia segera terbangun untuk kemudian nyatakan semua mimpi yang sempat singgahi tidur lelapnya.

Be good, Omar…
Be happy, beibh…
Chase your dreams, my man…
Semoga kamu tidak akan hapus aku dari ingatan manusiawimu…
Selamanya simpan aku entah di bagian mana hatimu…
16.24

Hard Rock FM Surabaya....



Pada sebuah Senin
Tertanggal 19 Januari 2009
Saat udara masih beri nyaman…


Ini hari Senin keduaku disini. Itu artinya aku sudah bernafas kembali disini selama satu minggu. Dan syukurlah, aku masih belum juga berjumpa dengan kejemuan. Semuanya masih saja terasa baik karena aku juga tidak pernah berhenti merepresi penolakan hatiku. Alhasil, aku masih bahagia disini.

Udara masih saja bergerak- gerak penuh canda. Berusaha menghias pagi terang ini. Sepertinya dia berhasil.

Aku memilih lantai dua ini. Hanya dengan satu alasan, yaitu menjumpai frekuensi radio Hard Rock FM Surabaya. Hatiku pagi ini sedang memilih untuk berteman dengar dengan Ivan Arbani dan Meity Piris. Mereka terdengar begitu menghibur. Dan inilah yang aku perlukan. Hiburan!

Sayangnya radio ini terdengar begitu membosankan pasca aku tinggal mandi. Mereka membahas kartu kredit BNI yang bagiku tidak berguna. Namun tetap aku menyetiakan telingaku untuk mereka berdua. Yang aku mau adalah merasa ceria oleh suara mereka berdua. Duo gila yang lihai mencari cara menikmati hidup hingga energi itu tersalur lewat suara. Hebat memang mereka itu. Sudah sekian lama tapi tetap bisa bahagia. Aku sudah mendengarkan mereka sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Mereka dengan kualitas yang masih sangat sama meski umur mereka enggan tetap.

Aku masih menunggu mereka menceriakan hariku kembali seperti tadi pagi dan tahun- tahun sebelum ini. Aku mau merasa bebas melalui mereka. Aku mau menitip nyawa untuk beberapa jam saja. Untuk sekedar ikut sedikit cicipi kenyamanan dan kemudahan menjadi mereka. Dimana hidup terasa begitu hectic tapi penuh dengan energi positif. Harusnya aku berterimakasih pada mereka berdua yang dengan tanpa sengaja mengiyakan semua permintaanku.

Sebuah akhir yang mengharukan...


Kediri
Saat aku merasa sangat kehilangan…
Bernama Jum’at tertanggal 28 November 2008…
Hari akan segera berganti nama…
23.58


Akhirnya aku berakhir. Aku hilang dan akan segera mundur dari ingatan semua yang sempat ada sebagai bagianku. Hatiku rasanya ingin sekali berontak. Mengutuk perubahan yang akan segera datang. Kali ini aku lemah lagi. Merasa sedang dikuasai perasaan sakit karena akan segera hidup sebagai sebuah entah dan tidak lagi bertemu dengan rutinitas yang baru saja aku ucapi selamat berpisah. Air mata ini rasanya begitu kuat membujuk retinaku agar dia bisa bebas cicipi udara fana. Dia berhasil. Aku sedang menangis tanpa suara.

Hari ini adalah sebuah akhir yang mengharukan. Tiba- tiba saja aku harus berjabat tangan dengan beberapa orang sambil mengucap “Terimakasih banyak dan maaf atas semuanya. Selamat jalan. Good luck!”. Hatiku terasa begitu sakit mendengarnya. Jabatan tangan yang mungkin akan jadi yang terakhir. Aku bisa merasakan hangat dan eratnya persenggamaan itu. Yang terpenting aku bisa merasakan adanya perpisahan diantara kami.

Maaf, aku harus rehat sejenak demi sebuah janji dan panggilan hati untuk puaskan diri dengan kehadiran seorang maya yang datang bersama bahagia. Berbincang sambil dengan sekuat tenaga menahan hati terdengar lemah dan tidak tegar. Tetap saja, suara dan helaan nafaslah yang jauh lebih jujur dan bisa dipercaya. Dia pasti menilaiku lemah dan aku tidak rela siapapun tahu manusia seperti apa aku ini.

40 menit berlalu dengan tinggalkan cahaya terang dihatiku. Beban dan rasa kehilanganku mendadak hilang terseka suara itu. Sekali lagi aku merasai kekuatan hati yang bisa seenaknya mengubah diri dari sedih menjadi cerah. Dia begitu kuat menarikku keluar dari kelamnya hati. Terimakasih untuk seorang Omar Randu.
Aku masih berteman asap dan gemeritik api menghabisi batang ini. Batang kedua hari ini. Alasannya hanya karena aku tidak mau merasa sendiri meski sebenarnya aku sedang butuh menyendiri dan melukiskan panorama hatiku yang sekarang ini bisa dikatakan sedang berwarna kelabu.

Only Human- nya One Litre Of Tears, Winter Sonata dan Sarang Han Da Myun sengaja kuundang malam ini. Mereka menghiburku dengan cara menyajikan aroma pedih sebagai menu utamanya hingga membuatku merasa sedikit berteman. Kuminta mereka menghiburku berulang- ulang sampai aku merasa kuat menggulung waktu sendiri.

Otakku tiba- tiba terbangun dari kenyamanannya. Asap yang terhirup mungkin telah membangunkannya dari segenggam kenyamanan. Berontak dengan cara mengubah posisi komposisi raganya sendiri yang tentu saja berpengaruh pada kondisi anatomiku. Tenang saja, aku bisa bertahan setidaknya sampai kemudian aku memutuskan untuk mencumbui batang ketiga.

Sekarang hatiku sedikit nyaman, mataku tidak lagi bertirta dan ingatanku tentang apa yang tadi sengaja terjadi sudah sedikit meluntur oleh bilasan waktu dan gumpalan asap itu.

Hari sudah berganti nama pun berganti nomor punggung. Semoga hari ini semua bisa baik- baik saja.


Mulai sekarang aku harus jalani kebiasaan baru…
Tidak mudah bagiku tapi aku sudah tidak bisa lagi melangkah mundur…
Saat detak jarum jam saja yang hinggapi indra manusiaku…
01.48

Menghisap malam di Cafe Minie...

Kediri
Pada sebuah hari bernama Rabu
17 Desember 2008
21.17
Bedanya kali ini aku sedang menghisap malam di Café Minie


Pada sebuah malam yang masih saja sama seperti biasa, dimana aku tidak merasa harus melakukan sesuatu karena suatu kewajiban atau memang aku adalah hamba dari sebuah rutinitas. Semua berjalan berdasarkan apa yang aku maui. Faktanya aku adalah seorang manusia yang berstatus biasa sehingga, untuk kesekian kalinya, aku merasa tidak bisa terima keadaan. Kembali merindui keterpaksaan yang sekarang sudah melayar jauh dari pelabuhan hidupku.

Semakin aku mencintai malam...
Malam serasa menjadi sebuah masa dimana aku bisa lebih menikmati nyawa kehidupan. Sebuah masa aku bisa bebas berlalu lalang dalam remang dan merasa begitu aman karena terlindung oleh kelam.

Sejenak terhenti oleh sebuah kematian rasa alirkan kata untuk kureka kembali dalam layar. Apalagi…

Cappucino hot itupun sudah tidak lagi hot. Kuantitasnya juga sudah sangat berkurang. Hampir punah, bahkan. Tetap saja aku merasa sudah pernah menuliskan apapun yang aku rasa hingga kali ini aku merasa sangat puas dengan tulisan. Tak ada lagi yang tersisa untuk bisa dilarutkan dalam lautan kata.

Beberapa lelaki masih tampak begitu menikmati malam, sama persis sepertiku. Bedanya adalah perasaan hati mereka. Aku berani bertaruh mereka sedang tidak punya terlalu banyak beban hingga punya waktu lebih untuk bersenang- senang di tempat remang ini.

OST. Lonely by Akon
Terasa sangat representatif untuk rasaku belakangan ini.

Nyawaku sedang nikmati lampu- lampu itu. Indah berkerdip seakan- akan tahu kapan harus menyala untuk kemudian digantikan oleh koleganya. Begitu bergantian hingga pukul sebelas malam. Saat beristirahat untuk kembali dimanfaatkan esok hari.

Bangku- bangku kayu nampak elegan karena cahaya masih meremang. Gagah bertengger lindungi sebuah meja kayu dengan bagian tengah kaca. Begitu serasi dan menanti siapapun untuk kemudiuan mengabdi, sekali lagi, sampai jam sebelas malam.

Aku hendak beranjak tapi malam masih begitu muda. Kuurungkan niatku. Lebih bagus tetap berada pada keremangan untuk tetap rasai aman dan tak terganggu. Melihat sisi lain waktu. Tetap saja semua terasa sungguh biasa saja, tak berikan sebuah kesan apapun.

Empat orang remaja juga menyibukkan diri dengan obrolan entah apa. Antar sesamanya. Mungkin tentang perempuan. Mungkin juga tentang rencana masa depan. Bahkan, mungkin, sedang saling mencari topik untuk diperbincangkan. Jadi mereka ngobrol tentang topik apa yang pantas diobrolkan. Bahasa biasanya adalah bermusyawarah untuk dapatkan mufakat berupa topik obrolan malam ini. Wajah salah satunya tidak terlalu cerah. Bisa jadi karena sedikit tertutup oleh aroma remang ini. Atau baru putus cinta.

Dua remaja gabungkan diri. Duduki bangku kayu yang tadi kubilang sedang gagah menanti untuk menghambakan diri. Jemarinya mengapit rokok. Sama- sama berwajah ceria seperti kala hari masih bersebutan pagi.

Lalu bagaimana dengan aku?
Berada disini dengan magic screen ini. Terus berusaha tuangkan apa yang bersedia dituang disini. Secangkir Cappucino yang tadinya bernama hot sudah terlelap dalam tidur abadinya. Terserap raga manusiawiku. Meski sebenarnya yang aku maui adalah Cappucino cold, tetap saja aku menghargai kesalahan ini. Tidak terlalu buruk juga sebenarnya. Karena intinya adalah bagaimana kita menikmati apa. Kesalahanpun bisa jadi kenikmatan saat kita tahu bagaimana cara melupakan bahwa ini adalah sebuah kesalahan. Just enjoy it and it’ll be so damn enjoyable!

Aku kembali masuki dunia imaji ini setelah selama beberapa hitungan detik melipat tangan di depan dada sambil membiarkan hati dan otak bernegoisasi. Lalu apa hasilnya? Entahlah. Mereka masih belum melapor.

MTV Room Raider…
Terpaksa aku nikmati. Ini satu- satunya hiburan yang tersaji ditempat mini yang karena keminiannya ini sengaja dinamai Café Minie. Dibubui huruf e mungkin hanya untuk keperluan estetika saja.

Ini saatnya aku berhenti. Tak lagi memaksakan hati dan otak berkoordinasi hasilkan beberapa deretan kata bermakna entah. Sekian saja untuk malam remang kali ini. Besok aku janji akan datang kembali.

Aku mau kembali merenggut kebebasan Mozilla untuk kusebut sebagai hambaku.

Terimakasih buat semua yang sempat jadi sumber inspirasiku hari ini


21.49

Dhoho Plaza...

Kediri yang gerah
Bersetting di Dhoho Plaza Kediri
13:13


Tempat ini benarnya tak terlalu nyaman untuk disenggamai. Udara di dalamnya terasa begitu gerah akibat sirkulasi udara yang pas- pasan. Ditambah lagi dengan atap gedung lantai dua yang bagiku sangat kurang memadai karena terlalu pendek. Terkesan begitu sempit dan mau runtuh dengan beberapa hentakan kaki raksasa. Hiperbolis!

Huh, gerah sekali siang ini. Tempat yang dipanggil plaza ini kurang memenuhi kriteria sebagai sebuah plaza. Bahkan alat pendingin saja kuyakin dipasang dengan jumlah terlampau minim. Tempat ini sepi manusia tapi suara erangan musik terasa begitu kental bercampur gerah siang. Benda elektronik itu mungkin ditujukan untuk menggantikan kehadiran manusia. Sejenis kamuflase. Lalu beberapa pegawai warung yang berseragam kaos warna oranye juga terlihat mengibaskan daftar menu yang lazimnya mereka suguhkan pada pendatang foodcourt ini. Tak banyak pendatang ditambah siang begitu gerah sama dengan daftar menu makanan jadi kipas bagi para pelayan itu.

Glenn Fredly numpang ngamen di televisi 21 inchi yang terpasang di atap sebelah kananku. Sayang sekali suara riuh musik warung sebelah mengganggu Glenn dalam bernyanyi. Yang ada kini hanyalah klip musik Terserah ala Glenn Fredly dengan suara Saint Loco. Unik jadinya.

Sedangkan di meja empat orang dibelakang kananku diisi oleh sekeluarga yang tampak baik- baik saja dengan komposisi ayah, ibu dan anak perempuan yang kuperkirakana masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Mereka menyantap nasi goreng. Aku sama sekali tak tergoda. Well, ada beberapa kemungkinan memang. Yang pertama adalah, aku dan lelakiku baru saja mendapati sarapan berpadu makan siang. Kedua, aku yakin yang paling penting disini bukanlah masalah rasa.

Temanku, Lifa, sudah datang. Aku berakhir dulu…



13:31

Tentang manusia Asunaro yang baru...

Kediri
Tertanggal 22 Maret 2009
Di sebuah Minggu muda dengan rasa cinta untuk kota ini….
10:09


Aku tahu ada banyak kata untuk tuangkan rasa secara verbal. Banyak sekali nama untuk gambarkan perasaan hati. Senang yang berlawanan arah dengan Sedih. Lalu ada juga Bahagia yang punya makna sama dengan kata Senang. Puas yang berbalikan dengan Tidak Puas. Lega yang berbipolar oposisi dengan Belum Lega. Kagum yang bisa disanding lawankan dengan Biasa Saja. Cinta yang pastinya bermusuhan kata dengan Benci. Nyaman yang bersingkuran dengan Tidak Nyaman. Well, ada begitu banyak lagi. Sayangnya aku tidak terlalu mampu berdefinisi dan mencari oposisinya. Yang pasti, ada begitu banyak bahasa verbal buat ungkapkan rasa. Itu saja.

Gemini kembali mendominasi. Aku kembali merasai peledakan emosi dan rasa. Semua serba mendadak, bercampur dengan hampir sempurna hingga aku mengalami kesulitan untuk memilih kata guna gambarkan perasaan hati. Ada banyak kata yang mungkin akan kupakai. Senang. Kagum. Lega. Nyaman. Kuputuskan untuk hanya memakai empat kata rasa itu. Berlebihan jika kucari semua ungkapan.

So far, semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana serta angan- angan. Meskipun ada sedikit ketidaksesuaian tapi segera tertutupi oleh kenyamanan lain yang terlalu meninggi.

Lalu…

Cuaca tak meluluhkan lahar hangat kami untuk menelan malam bersama. Berlima rasai malam di Café Minie Kediri. Hujan sempat datang dengan gagahnya. Bersama senjata petir dan kilat. Namun jiwa kami memang sedang ingin tepati janji. Semua kemudian hinggapi tempat ini dengan berbagai perasaan yang kuyakin saling mengikat. Kami mungkin sedang ingin saling melempar rasa lewat kata.

Anto datang dengan label Asunaro Hakusho di dada. Dia adalah seorang Mugi Brillianto yang mencariku lewat dunia maya. Dia yang merasa perlu mencari jejak hidup Asunaro Hakusho yang nyata- nyata hanya sebagai kisah rekaan. Lalu dia menemukanku secara nyata. Lalu aku mempertemukannya dengan pecahan Asunaro lain. Meski tak benar lengkap, kuyakin dia sudah bisa menebak rangkaian gambar hidup Asunaro ini. Dia datang sebagai manusia baru dalam tubuh sekarat Asunaro. Gagapnya bibir Asunaro serasa tersambung kembali dengan lidah manusia baru itu.

Kami terasa begitu menikmati. Ratri yang datang bersama lelakinya juga ternyata secara damai meletakkan beban jiwanya. Menyandarkannya di sisi belakang kursi kayu besar itu. Sedang lelaki itu juga secara terang benderang mengungkap sisi terang manusia Asunaro baru itu. Lalu aku tak henti- hentinya menikmati setiap detik pernafasanku disana. Berharap agar waktu bisa berikan lebih banyak lingkaran umur buat kami. Lelakiku terlihat nyaman mencipta dunia baru diantara para Asunaro. Semua tampak menikmati malam kemarin. Kuharap semua benar senang.

Kediri kali ini bagai sebuah kota maya yang tawarkan banyak sekali bahagia yang tak terlalu banyak ditawarkan dunia nyata. Semua yang ada disini bagaikan nampan yang membawa menu beragam dengan satu aroma, yaitu bahagia. Dengan satu kelezatan, yaitu tawa sumrigah. Dengan beberapa mangkuk dan piring hidangan. Bahkan tudung saji yang terpakaipun berhiaskan renda kebebasan rasa.

Mengapa?

Semua nyawa yang sempat jadi bagian masa duluku mungkin merasa punya wajib bahagiakan aku. Dan sekarang aku merasa enggan kembali ke dunia nyata meski sebenarnya apa yang kupunya sekarang adalah sebuah nyata. Sebuah nyata yang salahi konvensi karena hanya sajikan satu macam menu kehidupan. Sebuah nyata yang terlalu homogen karena hanya ditumbuhi lumut kebahagiaan. Aku enggan kembali. Pun aku harus kembali. Segera…

Kuputuskan untuk punyai dua rencana baru. Rencana untuk selalu mengingati dan merindui masa ini. Merindui karena indahnya. Merindui karena harum aromanya. Merindui karena rinai tawanya yang terlampau segar. Merindui karena rasaku sengaja kutinggalkan disini. Merindui karena aku terlanjur berjanji lirih pada mereka semua. Merindui karena memang patut dirindui. Atau juga merindui karena masa kemudianku tak lagi sama seperti sekarang. Jiwaku tersenyum begitu renyah…

Gerah mulai menimang siang. Peluh mulai rambati sulur ragawi. Benderang sudah lama menabuh genderang perang. Panas bumi terasa bagaikan sengatan lebah paling berpengaruh. Betapa siang tergambar begitu sempurna dengan kelengkapannya. Lalu, seperti biasa, aku mendoa agar bisa tetap bahagia di semua situasi yang ada.

Terhenti sejenak oleh obrolan dengan lelakiku…

Segelas air mineral jernih terhisap olehku. Maaf untuknya…

Aku sedang mencari- cari kelebat ide yang hilang entah kearah mata angin mana. Aku sudah kelelahan mencarinya. Maka kuputuskan untuk berhenti. Kembali menyapa dunia nyata yang sedang serupa dengan dunia impian maya…



Hampir tengah hari
11:34

Memunguti Sisa-Sisa Api...


Mojokerto

23 Februari 2009

Pada sebuah Senin sore yang basah dan remang…


Hari ini kami semua harus kembali pada realita. Semua harus kembali jalani hidup sendiri- sendiri. Mungkin itu bisa juga diartikan bahwa semua harus kembali meratapi apa yang kita punya. Sekaligus merintih atas apa yang belum kami miliki. Asunaro sedang meremang. Lilin nafas masing- masing anggotanya sedang tertiup angin yang datang bersama penghujan. Terusik hembusan dan hampir mati olehnya.


Kemarin dunia terasa begitu indah. Bukan karena kami sedang jatuh cinta. Bukan juga karena kami sedang merayakan hari jadi diri. Bukan karena hembusan berita bahagia. Yang pasti bukan karena cuaca yang bersahabat. Dunia mengindah karena kami merasa tidak sendiri. Kami merasa sama- sama sedang meremang oleh keadaan. Kami biasa terpisah dan merasai sakit secara pribadi. Namun kemarin kami merasa bisa saling berbagi kisah hingga sedih itupun terasa biasa dan tidak terlalu menyiksa rasa. Berbagi lewat tatapan hati dan resahnya suara kami yang sedang berusaha biasa dalam berbagi cerita.


Asunaro sedang memunguti kembali sisa- sisa nyala api yang hampir padam oleh tiupan angin musim penghujan. Kami sedang merasa kesusahan mengumpulkan kembali api yang terlanjur menguap entah kearah mana itu. Meski kami tahu takkan mudah dapati kembali api itu, tapi kami tak punya pilihan lain lagi. Pilihan kami hanyalah menghibur diri sambil meyakini api itu akan bisa dikumpulkan kembali. Api yang dulu memagari lingkaran hidup muda kami. Saat kami masih bisa hidup sambil tertawa lepas dan rasai nyamannya bermimpi. Saat kami masih bisa terus bergenggaman tangan sambil saling bersedekah kebahagiaan. Saat kami bisa berjalan tepat arah sambil memejamkan mata karena kami masih punya tali hati yang menuntun kaki. Saat kami masih belum begitu dewasa untuk temui fakta bahwa dunia ini tak hanya tertawa, bahagia, nyaman juga berjalan tepat arah.


Kami sekarang sedang bersahabat dengan alam yang ternyata malah mengkhianati kami dengan badai ini. Lalu kami terseret arus yang dulu pernah kami percayai untuk membawa arah hidup kami kemanapun. Dulu kami sempat menyerahkan hidup pada aliran air. Ternyata sekarang air itu tergoda arus dan angin hingga kemudian mengganti nama jadi badai hanya agar kami tetap mempercayainya. Nyatanya kami percaya hingga akhirnya kini terdampar di bagian dunia bernama kecewa. Intinya kami tertipu keadaan.


Aku, Ratri, Adri dan Naen masih sedang memunguti beberapa pecahan harapan. Kami sedang berjuang keras dapati kembali harapan dan keberanian untuk kembali bermimpi. Kesekarangan begitu menakutkan hingga kami merasa sedikit takut jika pintu selanjutnya akan terasa begitu mengecewakan. Lalu kami merasa saling punya wajib untuk saling mengirimkan kekuatan hati. Kami bergantian merasakan hati masing- masing dari kami. Ratri sempat juga kuminta merasakan hatiku yang sedang menjejali otak dengan idealisme. Dia juga memberiku ijin untuk sekedar melihat- lihat rongga hatinya yang sedang bahagia namun tersendat formalitas. Adri dan Naen juga saling melempar rasa hanya agar keduanya merasa bertukar raga juga hati. Akhirnya malam kemarin kami merasa bisa kembali bersama meskipun kami masih belum juga pasti apa sudah dapatkan kembali apa yang masih sedang hilang.


Pertemuan yang begitu mendewasakan. Tawa yang sempat terlempar mungkin hanya konpensasi rasa sakit yang lama mengendap. Genggaman jemari itu mungkin juga hanya upaya kami menghibur diri dan ungkapan pengganti kata “Tolong temani aku ya?!” agar tidak merasa sendiri. Lelucon yang kemarin turut serta hanya bagian dari formalitas sebuah pertemuan. Juga untuk menghindari dominasi kesedihan yang sama- sama sedang menggantung di kelopak nyawa kami. Hanya satu yang sedang sama- sama kami cari kemarin itu. Yaitu perasaan tertemani dan tidak sendiri. Ada sekilat rasa lega saat tahu ternyata tidak hanya aku yang merasa sakit. Ternyata tidak hanya aku yang merasa begitu rindui masa dulu. Ternyata bukan hanya aku yang merasa bahwa keburuntungan adalah sebuah kebutuhan primer untuk bahagia. Ternyata tidak hanya aku yang harinya sedang meremang. Mereka juga sama. Dan kami merasa bersatu kembali. Dan kami merasa begitu ingin mematikan waktu agar hari masih tetap bernama Minggu. Dan kami dalam hati mengumpat adanya kalender yang selalu saja mau dirobek dengan alasan waktu tak bisa berhenti. Yang terakhir kami masih sempat bersyukur masih saling memiliki hingga saat ini.


Sayangnya kami harus segera bangun dari mimpi yang memabukkan ini. Kami harus kembali meletakkan hidup kami pada tempat yang tepat. Aku disini. Mereka disekatan bumi yang lain. Yang sama, mungkin, hanya perasaan kami saja. Perasaan yang sedang meremang. Yang sama, mungkin, hanya apa yang kami lakukan saja; yaitu memunguti sisa nyala api sambil mencari cara nikmati hidup.


Sekarang hari sudah punya nama lain. Bukan lagi Minggu. Bukan lagi disebut hari ini. Panggilannya adalah kemarin. Dan kini hujan turun lagi. Begitu menakutkan bagi kami yang sedang mencari- cari sisa api. Hujan dan angin begitu menyulitkan kami. Menjadikan kami merasa agak tidak mungkin temukan kembali api. Tapi kami harus tetap mencari. Demi sebuah kehangatan bagi jiwa kami yang menggigil. Hati kami masih tetap saling bergenggaman erat.


Beberapa deret waktu yang lalu aku pernah bertanya; apa mereka semua sedang bahagia? Apa mereka semua sedang merindukan Asunaro? Apa mereka baik- baik saja? Apa mereka juga sedang menangis sepertiku disini? Apa yang mereka lakukan untuk nikmati hidup? Lama aku baru dapati jawaban dari semua tanya itu. Ternyata mereka juga sedang menangis meski aku tak pernah mampu merasakan sedalam apa rintihan tangis mereka. Bukan karena aku tak perduli tapi karena telingaku sudah terisi penuh oleh suara tangisanku sendiri. Kemudian aku juga tahu bahwa mereka juga masih sedang mencari cari cara menikmati hidupnya yang hanya bagai sekotak klise foto. Tak berwarna meski masih bisa sedikit dimengerti oleh sesama Asunaro. Ternyata, kami saling merindukan. Kami rindu genggaman tawa masa muda. Saat hidup masih begitu mudah hingga kita punya banyak waktu untuk tertawa dan iseng bikin masalah.


Tatapan mata kami masih begitu tajam demi lebih teliti mencari apa yang sedang kami cari. Tapi itu saja masih belum cukup. Nyatanya kami masih saja menunggu entah apa yang bisa jadi adalah sebuah bantuan untuk dapati bahagia. Dulu kami pikir bisa lebih lengkapi hidup dengan seorang belahan jiwa, namun itu tak sepenuhnya benar. Rasa lengkap itu masih perlu diperlengkap lagi. Kelengkapan itu hanya untuk beberapa helaan nafas saja. Lalu kami putuskan untuk kembali berjalan, merangkai petunjuk- petunjuk alam demi rasai bentuk kebahagiaan lain. Ironisnya kami tak pernah tahu apa sebenarnya yang bisa jadi kebahagian sejati kami. Kami terus berjalan dengan cekatan agar hujan tak bisa padamkan api kecil yang menyala setengah enggan ini. Kami menolak berhenti hanya agar segera dapati sesuatu yang kami sendiri tak mampu mendefinisi. Bisakah kami temukan sesuatu yang kami sendiri tak pernah yakin apa itu? Bisakah kami dapati sesuatu hanya dengan bekal sebuah entah? Tanpa definisi. Tanpa petunjuk lengkap juga. Lalu tiba- tiba hati kami ingin menangis bersama.


Jika saja kami mau sama- sama jujur, aku yakin kami takkan pernah berhenti merintih. Hati kami begitu sakit. Parahnya kami tak pernah tahu sakit apa yang sebenarnya kami rasa. Yang kami tahu hanyalah, kami merasa sedikit sehat setelah merintih dan menangis. Hanya itu penyembuhnya. Tapi terkadang kami tak punya waktu untuk bersama, hingga tak bisa menangis bersama. Lalu hasilnya kami semua masih saja merasa begitu sakit. Terpisah namun bersama- sama rasai sakit yang hampir sama rasanya dan sama persis obat penyembuhnya. Kemarin, hati kami meronta bersama- sama. Kami berpisah setelah saling mengucap terimakasih atas rasa lega yang sedikit ada karena kami bersama lagi. Ucapan lirih yang begitu tulus dari hati yang sedang merintih.


Semua organ tubuh dan rasaku benar- benar bekerja maksimal kemarin. Aku tidak rela melepaskan setitik petunjuk alam yang mungkin teranugrah melalui Adri, Ratri dan Naen. Hatiku tak pernah lelah membagi rasa untuk mereka semua. Mereka yang juga sedang merintih lirih oleh rasa sakit dan kecewa. Ya Tuhan, aku benar- benar merasa sedikit sembuh. Terimakasih atas kebersamaan sejenak ini. Meski api itu masih belum menyala sempurna tapi hati kami sudah begitu hangat hanya dengan cara saling menatap. Apa sebenarnya sisa- sisa api itu berada di mata kami sendiri? Lalu bagaimana mungkin kami bisa dapati sisa- sisa api itu karena kami tak mungkin bisa menatap mata diri sendiri. Pantas saja kami terus mencari dan belum juga mendapati. Karena ternyata sisa- sisa api yang kami cari itu ada dimana kami tak akan mampu jangkaui. Lalu kami harus bagaimana? Mungkin jalan yang baik adalah terus bersama dan saling menatap hanya untuk dapati pantulan mata sendiri. Lalu segera memungut sisa- sisa api. Secepat mungkin. Sebelum kami terganggu oleh kedipan.


Kami mau bahagia kembali. Sama seperti masa muda kami. Semoga bisa…

Aku baru saja mendengar kata hebat; Persahabatan ada bukan karena diciptakan, bukan juga karena kesengajaan. Persahabatan dilahirkan dan ditempa oleh waktu. Maka aku baru saja menyadari bahwa Asunaro juga lahir oleh waktu. Maka sekarang, untuk pertama kalinya, aku sungguh berterimakasih banyak pada adanya waktu yang akhirnya melahirkan Asunaro buat kami. Terimakasih banyak…


Sebenarnya aku mau menyudahi rentetan kata ini tapi sayangnya aku masih sangat menikmati guratan ini. Aku masih butuh merintih dan mungkin saja ini adalah salah satu cara nikmati hidupku yang sewarna klise foto ini. Bingung mau menumpahkan apalagi. Alunan nada dunia sedang menggema karena hari memang masih belum terlalu menua. Tanah dan aspal masih saja becek oleh hujan lebat sore tadi. Dingin sedikit mengintip namun gerah segera menutup pintu cuaca. Jam tujuh malam kali ini hampir serupa dengan jam sepuluh malam di sebuah kota kecil yang masih pekat dengan aroma Islami. Sepi dan hanya ditutup kelambu Adzan serta pujian bagi Sang Kuasa. Begitu sedap suasana malam ini hingga aku sejenak melupakan semua rintihan yang semula ingin kumuntahkan.


Kulitku terasa kering. Mungkin akibat sisa- sisa sabun mandi yang melekat hebat disana. Maka aku berdiri demi menjangkau lemari berwarna coklat muda yang hanya berjarak sekitar enam puluh senti di sebelah kananku. Berhasil. Nivea Body menormalkan cuaca kulitku. Sekarang aku sudah merasa sangat nyaman. Berada disini sendiri. Dengan daftar lagu di Winamp lengkap dengan Mini Lyrics-nya. Dengan perasaan nyaman oleh cuaca. Selimut empuk warna cerah ini juga tidak lupa hangatkan kakiku. Rambutku kali ini aku biarkan tergerai agar dia juga bisa bebas rasai sedapnya malam ini. Aku mau berlaku adil buat semuanya.


Aku sudah puas. Sekarang aku mau mengalihkan pikir dan indra manusiawiku ke bentuk hiburan lain. Bukan karena aku bosan meneteskan embun pikiran tapi karena aku mau mempertahankan perasaan dan menghindari kebosanan. Lain kali aku pasti akan datang lagi. Karena aku sudah kecanduan suara lentik keybord laptop saat jemari menari mengunci kata didalam layar elektronik ini. Aku kecanduan merdu suara itu. Karenanya aku pasti akan kembali dengan hati. Bukan dengan formalitas ataupun bentuk- bentuk toleransi. Percayalah…

Semoga….

19:28


Hujan sore ini sangat menakutkan…