Friday, July 31, 2009

Jika aku mati...




Mojokerto
31 Juli 2009
Jum’at terakhir bulan ini….
12:33



Badanku sedang tak mau kompromi hingga kemudian flu dan demam datang bertandang. Akibat kecapekan, mungkin. Lalu terbersit tentang kematian…

Kehidupan hanya persinggahan sementara. Kata orang, kehidupan adalah sebuah wahana penentuan akan berada dimana kita nantinya. Untuk memutuskan tempat sejati bagi kita. Akankan surga yang kenikmatannya takkan mampu terbayang oleh kita? Ataukah neraka yang bahkan bayangannyapun enggan kita bayangkan? Itulah sedikit hakekat kehidupan yang sanggup kudefinisi…

Lalu aku membayangkan bagaimana jika aku mati. Bukan surga dan neraka yang kubayangkan. Karena itu diluar jangkauanku. Bukan pula cara dan kapan aku mati. Karena itu akan membuatku malah tak nyaman jalani hidup. Aku membayangkan tentang reaksi orang- orang disekitar. Apa meraka akan menangis? Tangisan apa itu? Tangisan sedih, tangisan bahagia atau tangisan kelegaan karena akhirnya aku tak lama- lama menderita di dunia ini? Yang mana? Apa mereka akan merasa kehilangan? Sebesar apa kehilangan itu? Apa yang tak lagi mereka temui jika aku mati? Lalu berapa lama waktu yang meraka perlukan untuk kembali ke kehidupan normal mereka? Kehidupan yang tanpa ingatan bahwa aku sudah mati. Kehidupan yang telah tanpa aku. Aku benar ingin tahu semuanya. Tapi tak mungkin sekarang. Meski demikian, aku pun tak yakin akan ada kesempatan buat mengetahui semua jawaban itu. Karena aku harus mati dulu agar semua tanya itu bertemu muka dengan jawab. Lalu disaat aku mati, aku tak yakin masih punya bentuk pikiran seperti itu. Kemungkinan aku sudah sibuk dengan para malaikat…

Apa kamu akan bersedih jika aku mati?
Berapa lama sedihmu itu?


12:44
Semoga aku segera sembuh…
Amin…

Monday, July 27, 2009

Ketika rindu itu hadir...


@ Malang, 27 Juli 2009
Malang mulai dirundung hujan
Meskipun hari ini langit begitu cerah dengan sedikit semburat mendung
Hatiku juga secerah hari ini
Dengan sedikit rasa kantuk yang melanda

Dan seperti yang sudah-sudah
Begitupun hari ini
Aku hanya merindukan satu orang
Yang mungkin tak percaya aku sangat merindukan dia

Rindu dengan segala macam bentuk kerinduan
Apapun yang bisa dikategorikan rindu
Aku merindukannya

Tak pernah lelah kuungkap betapa aku menginginkan dia ada disini
Sekedar berbincang
Sambil memeluk

Seandainya aku begitu jahat
Seandainya aku begitu egois
Tak akan pernah kulepas dia untuk pergi 

Seandainya sanggup tangan ini menahannya untuk tidak pergi
Seandainya mampu aku merapatkan pelukan
Ingin kukatakan…’jangan pergi’
Tapi yang terucap….’kapan engkau kembali?’

Dan disini aku menunggu
Hanya sekedar agar aku bisa kembali memelukmu…

Thursday, July 23, 2009

Kita Memang Sayang Papa, tapi......

“Kita memang sayang sama papa
Tapi Allah lebih sayang sama papa
Karena papa ga dibiarkan terlalu lama menderita dengan sakitnya”


Itu yang diucapkan seseorang pada suatu malam lewat sms kepadaku

Aku tau…
ucapannya benar
tapi rasanya…
entahlah

aku memang ikhlas papaku pergi menghadap Sang Khalik
tapi dalam hati kecil, ada sebuah pernyataan
benarkah?
benarkan papaku sudah tak akan kembali lagi
kenapa aku masih juga mengharap papaku pulang
seolah papa sedang pergi tak jauh

pertanyaan itu selalu hinggap di hatiku
entahlah
ada rasa tak percaya

“kenapa orang yang baik selalu dipanggil duluan?”
komentar beberapa orang saat papaku meninggal
papaku memang orang baik…
sangat baik

teriring do’aku untuk papa…
aku hanya ingin bilang aku merindukan papaku
sangat…

Jangan pergi, Ratri


(Masih) Mojokerto
Tertanggal 23 Juli 2009
Di hari Kamis
12:20



Jangan pergi, Ratri…….

Kalimat itu akhirnya terlontar juga. Terpaksa keluar dari hatiku karena desakan rasa takut kehilangan. Meski aku tahu pasti tak ada guna mengatakannya. Karena lelakinya mengharapkan dia dan dia mencintai lelakinya dengan porsi sangat berlebih. Dia pasti akan berangkat. Dia pasti akan pergi. Dia pasti akan berpamitan padaku. Dan kita tak pernah tahu sampai kapan akan kembali terpisah terlalu jauh. Bahkan lelakinya itupun tak bisa beri jaminan sampai kapan akan membawa Ratri pergi….

Kali ini aku berkata tanpa rasa iri atau tertinggal darinya. Kali ini aku berkata dengan ketulusan. Dengan hati yang nyaman oleh kehadirannya. Sayang sekali rasanya jika akhirnya aku harus jauh darinya….

Sejak entah kapan aku mengganggap diriku adalah sahabat baginya. Aku menganggap kami adalah soulmate kembar sebagaimana lambang zodiak kami yang adalah Gemini. Aku merasa hati kamu begitu saling mengikat. Bisa jadi karena kami lahir di hari yang berurutan jadi punya ikatan batin yang cenderung cocok. Aku lahir ditanggal 26 Mei. Sedang dia lahir sehari setelahku…

Jalan hidup yang semakin berliku di usia yang semakin mendewasa membuatnya merasa sedikit kehilangan arah. Dia limbung seketika. Dia kehilangan keceriaan yang sudah lama mendarah dalam nafasnya. Dia kemudian berubah menjadi sedikit pemikir dan pendiam. Wajahnya berubah muram oleh keluh. Tangisnya kembali ada meski selalu tertahan di dadanya. Yang pasti Ratri sempat tak jadi Ratri yang delapan tahun lalu kukenal…

Lalu tiba- tiba…

Aku menemukan Ratri yang dulu. Ratri yang selalu menasehatiku "Jangan boros!". Ratri yang begitu mudah tertawa lepas. Ratri yang begitu gampang dibuat senang. Ratri yang begitu menikmati dirinya sendiri. Ratri yang berputar- putar dengan daster lebar yang dipinjamnya dariku. Ratri yang sedang lupa beban serta kelokan- kelokan hidupnya…

Aku menikmati dirinya kala jadi seperti dulu…

Namun…

Lelakinya sedang mengingininya. Lelakinya sedang mengharapkannya dekat. Dan diapun demikian. Meski dia sempat ragu untuk mendekat. Tapi nalurinya sebagai istri memperkuat keputusannya untuk lakukan yang lelakinya ingini….


Ratri akan segera tinggalkan Kediri…
Lalu berpeluh di ibukota…
Entah sampai kapan…
Maka tak lupa kuberkata…
Jangan pergi, Ratri…



Untuk sahabat yang semoga hatinya segera cerah kembali…
Cheers!!!
12:49

Thank You

sudah lama ingin ku katakan, namun kau belum juga kutemukan.

sudah sering kurenungkan, akan kulakukan, seandainya waktu mengijinkan.

kutempel gambar-tiada mu di seluruh dinding kamarku. untuk menepis resah jika terjaga tiap tengah malam. untuk menyungging senyumku jika hari terlalu tak bersahabat. dan yang jelas, untuk menemani hari-hari tak bertemanku. aku tahu, katamu, tidak akan ada yang abadi. termasuk betapa idealnya konsep hubungan absurd ini. biar saja, kataku, selama kita sama menikmatinya dalam batas ketiadaan masing-masing. tidak ada kamu-yang sebenarnya di sampingku. juga tidak ada sekepingpun aku di sisi fisikmu. namun tetaplah yakin, ada kita berdua di tiap detik-detik melelahkan hari-hari mu dan ku. di udara, di air yang mengguyur, di tiap hawa sendiri pagi, sore dan malam hari. kau, inspirasi maha dahsyatku.

aku tak kan keberatan pulang cepat untuk merasa ada kamu yang menungguku duduk ngobrol dan minum teh. aku tak kan keberatan bangun pagi untuk memenangkan taruhan siapa yang kan lebih dulu memberi ciuman selamat pagi. aku tak kan keberatan bercerita tanpa rahasia denganmu, dengan segenap kesadaranku akan tiadamu yang selalu. akan kulakukan semua yang dilakukan pasangan pemenang penghargaan “CInta seJati”. betapapun aku dan kau tahu, itu hanya segumpal lelucon yang akan selalu mencair dalam tawa-tawa kita.

jangan merasa lelah untuk menemukanku. aku tahu jalan itu berliku, kadang berpintu mati, berdinding-dinding putus asa, bergambar ilusi-ilusi yang tampak jelas tak masuk akal. dengarlah, intuisi bukan hal rasional. jangan pedulikan kata logikamu. teruslah ikuti hatimu, menujuku, suatu saat nanti. pelukku, selalu menunggu haribaanmu. dan menunggumu, adalah proses kreatif yang menyalurkan banyak energi ganjil yang meletup-letup hikmat dalam tiap atom lokus otak. menjadi tawa lucu, menjadi merah tersipu, menjadi derai-derai air mata kelelahan.

seandainya kau tahu, semua petuahmu tlah tersampaikan oleh udara. semua pesan “bertahanlah”mu kepadaku telah selalu terngiang jika aku kembali menatap nanar pada ketiadaan tak berujung ini. pada ketiadaan kita yang selalu akrab, yang belum usang. adakah jika waktu telah menggeliat dan menampakkan diri kita masing-masing, aku akan merasa ini justru asing? seperti kita tak pernah saling kenal dalam kejauhan dan ketiadaan. lucu juga, mengapa aku harus menafsirkan adamu jauh dariku, sedangkan aku belum juga tahu dimana kau sesungguhnya. mungkin saja engkau terlalu dekat untuk diucap, hanya saja sedang tersekat tabir ‘belum waktunya’.

well, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. untuk waktu yang terlewat dan tersisa dalam mencarimu. mencari senyummu yang aku yakin pasti ku kenal pada temu kita. kau yang perkasa, karena tak jera pada waktu. kau yang tak terkalahkan berbagai dilema. kau yang digdaya jika selalu percaya pada adaku, ilusi terbesar dalam hidupmu.

bagiku, kau abadi. karena tersimpan rapat dalam harapan. terkunci mati dalam pikiran. kau tercipta dari doa orang-orang sepertiku, yang merasa tak punya pilihan selain menjalani hari dan berharap Tuhan masih menyisakan belas kasihan untuk mencipta seorang malaikat berdarah dan berdaging, yang akan mendampingi riang keluh kesahmu. selalu.

Wednesday, July 22, 2009

LeLakI iTu PerGi..

4 Januari 2009 pukul 13.20

“Keluarga bapak Bambang Sih”
Terdengar panggilan dari ruang 26 hanya berselang beberapa saat 
dari wanita yang menjadi ibuku keluar ruangan.
Deg. Aku tersentak, jantungku berhenti sesaat.
Wanita yang menjadi ibuku bergegas masuk kembali ke ruang 26.
Aku mengekor dibelakangnya, masuk kedalam ruangan steril.

Langkahku terhenti saat melihat pemandangan didepanku.
Sosok yang selama ini kukenal sebagai ayahku sedang ditekan dadanya oleh seorang lelaki berbaju putih.
Aku berlari menghampiri. Menyusul mama yang sudah ada didekat papa. 

“Pakai baju hijau”, kata mama menyebut baju steril yang menjadi pakaian wajib untuk masuk ruang isolasi.

Aku berlari lagi ke arah pintu masuk mencari baju hijau yang biasanya tergantung di depan. Aku minta pada seorang lelaki, tapi dia menggelang sambil bilang tidak ada lagi.

“Sudah mbak…ga papa ga pake baju hijau”, kata seorang tetangga yang ternyata ikut masuk. Ruang isolasi yang biasanya hanya boleh masuk satu per satu, siang itu menjadi penuh sesak.

Aku berlari lagi ketempat papaku.
Masih sama dengan kondisi saat aku masuk. Diberi bantuan oleh beberapa orang.
Seorang wanita yang kusebut nenek menangis didekat mama.

Air mataku mengalir saat melihat alat yang ditelakkan di samping tempat tidur papaku.
Alat pengukur detak jantung itu terpampang angka 0.
Mereka terus berusaha mencari tanda kehidupan dari lelaki yang kukenal sangat bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Aku menangis dipelukan mama.

Hingga….
“Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi tolong diikhlaskan, bapak telah meninggal dunia”, seorang wanita mengatakan itu pada kami. Seolah dialah sang pencabut nyawa.

Hancur…
Remuk…
Redam…
Aku terluka…

Aku tak sanggup lagi menopang tubuhku…
Aku tak sadarkan diri…

“Mbak jangan begini…harus ikhlas…dokter juga sudah berusaha keras. Tapi memang Allah menghendaki ini terjadi”, ucapnya lagi diantara kesadaranku yang menghilang.
Berkali-kali mereka katakan itu sambil menepuk pipiku, mencoba mengembalikan kesadaranku.


Kosong….
Hampa….
Ada sesuatu yang terenggut begitu saja
Sesak rasa dada ini..

Tak sanggup kusebut nama papa
Aku hanya menangis
Dan berkali-kali tak sadarkan diri

Aku marah..
Kecewa..
Menyesal..
Pada diriku sendiri..

Lelaki itu pergi…
Tanpa pesan
Tanpa amanat
Hanya pergi
Berpulang ke Rahmatullah

2 bulan yang lalu..
Saat papaku keluar dari ruang 26
Papa dalam kondisi sadar
Dan tersenyum saat aku mengenalkan seseorang

Tapi kini…
2 bulan kemudian..
Papaku keluar dengan mata tertutup
Tak akan pernah tersenyum lagi

Aku bisa apa?
Hatiku seperti tercabik
Terkejut
Terpana

Aku bahkan belum bisa membahagiakan papa
Aku bahkan belum meminta maaf

Lelaki paling baik didunia
Lelaki paling sabar yang kukenal
Lelaki yang tak pernah mengeluh akan sakitnya
Lelaki yang tak pernah pandang bulu mengenal orang
Lelaki yang tak pernah marah padaku
Papaku…

Seandainya waktu bisa diputar kembali
Seandinya ada mesin waktu
Ingin aku kembali saat papaku masih hidup
Akan kubahagiakan papaku…

Tapi ini jalanku
Aku harus bisa bertahan
Agar papa bisa tenang
Agar papa bisa tersenyum

Lelaki yang kupanggil papa…
Aku minta maaf belum bisa bahagiakan papa
Aku minta maaf selalu kecewakan papa
Aku minta maaf karena merasa jengkel pada saat terakhir papa
Aku minta maaf….

Terima kasihku…
Telah menjadi orang yang sangat mencintaiku
Telah menjadi ayah bagi kami
Telah menjadi orang yang paling bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga
Telah menjadi panutan kami

Aku akan merindukan papa
Rindu saat papa memanggilku ‘Qhiemholl’
Nama yang aku tak tau kenapa selalu papa pakai untuk memanggilku
Rindu saat papa membuka pintu kamarku dan melongokkan kepala
Rindu saat aku mencium tangannya ketika akan pergi
Rindu dengan segala macam kebiasaannya
Aku rindu…

Doaku…
Semoga semua kesalahan papa dimaafkan
Semoga semua amal ibadah papa diterima Allah
Semoga papa bisa tenang di dunia yang abadi

Aku sayang papa
Dan akan selalu begitu
Tanpa pernah bisa terganti oleh apapun
Oleh siapapun… 

Aku sangat kehilangan

Miss you and love you much…

Selamat jalan…
Papa….

Main Hati


Mojokerto
22 Juli 2009
Di sebuah Rabu pagi dengan udara dingin yang sesekali menyelinap ari…
7:29


Permainan memang membawa efek “senang”. Apapun jenis permainannya, pasti akan meninggalkan jejak langkah sang senang di hati. Bahkan tak jarang para pemain hebat akan membuat lawan mainnya terperangkap dalam sebuah candu. Terperangkap dan tak mau lepas meski logikanya jelas- jelas mengatakan bahwa permainan itu berbahaya dan hanyalah sebuah kebohongan belaka. Tapi, toh, kenikmatan yang dirasai berhasil mengaburkan suara logika. Alhasil, para pemain akan menikmati setiap jentik waktu dan tak lagi mengharapkan sebuah kebenaran. Karena semua yang ada sudah terlanjur membahagiakan…

Permainan hati…

Masih ingatkah anda dengan nama Belva Purnama? Perempuan berusia seperempat abad yang selalu mengganggap bahwa logikanya seberbahaya air hujan yang mampu mengkorosi besi. Yang hatinya sekuat liat dan mampu berubah bentuk pun warna dengan cepat. Perempuan dewasa yang oleh karenanya selalu menjajal hati dengan para lelaki. Dia tak pernah berjanji akan setia pada satu lelaki. Dia juga tak pernah mengganggap dirinya berselingkuh karena motifnya hanya pada penjajalan hati. Dia tak pernah memasukkan satu lelakipun di hatinya. Karena dia tak mau berhenti menjajal hati. Karena hatinya hanya gumpalan perasaan liat…

Berkali- kali dia bermain hati. Berkali- kali pula dia menang setelah puas bersenang- senang meski tetap berada di zona tenang…

Permainan hatinya dengan Omar masih berlanjut hingga sekarang meski mereka berdua sudah saling mengakui segala kebohongan. Meski dia telah secara perkasa mengakui bahwa dirinya tak lagi sendiri. Lalu Omar menjadi tak habis pikir. Meski Omar tahu kalau banyak sekali kebohongan diantara mereka, tapi dia tak pernah menyangka Belva berbohong sejauh itu. Belva pun tahu benar bahwa Omar tak selalu berkata jujur. Namun mereka berdua saling menikmati kebohongan itu. Mereka berdua sama- sama saling menikmati permainan hati ini. Tanpa arah pasti. Namun menjanjikan kejutan atas kebohongan selanjutnya. Dan itulah sisi candunya…

Sampai akhirnya…

Mereka berjanji untuk berteman di dunia nyata. Tanpa kebohongan yang artinya tanpa candu…

Kini mereka sedang merangkai pola permainan hati lainnya. Omar dengan perempuan lain. Dan Belva dengan lelaki lain. Saling mencari candu meski masih saling terhubung dalam sebuah janji. Janji untuk berteman di dunia nyata…

Oh..betapa permainan membawa candu…
Betapa kebohongan hanya laksana sebuah keharusan…
Betapa logika sempurna terselimuti saat hati mendominasi…
Dan, Belva akan terus menjajal hati…
Tak pernah berhenti…




Sekian
Terimakasih
8:10

Sunday, July 19, 2009

Happy go lucky


Mojokerto
19 Juli 2009
Sebuah Minggu siang…
12:49


Lelaki itu akhirnya melabuhkan nyawanya pada ketenangan. Sejenak menaruh kesadaran. Beristirahat dalam katupan mata. Begitu tentram dalam lelap. Pulas dan senyap tanpa senada dengkurpun. Tubuhnya terlihat begitu nyaman…

Tak demikian dengan jiwanya. Hatinya sedang sedikit teriris oleh sakit. Oleh kegagalannya menikmati hati bersama wanitanya. Oleh tuduhan wanitanya yang begitu semena- mena. Yang kemudian berhasil disanggahnya dengan bukti tak terbantahkan. Namun, wanita itu begitu kerasa hati. Tak mau sedikitpun perduli pada pembuktian apapun. Wanita itu sudah terlanjur mengerak dalam rasa jengkel. Dan memutuskan untuk tidak memenuhi ajakan lelaki itu untuk melayari hari bersama…

Kasihan sekali lelaki itu…

Lalu dia mengambil sebulat Oskadon yang hanya tinggal satu- satunya di meja balkon kamar si wanita. Obat itu juga adalah sisa dari si wanita. Dia tak perduli. Mungkin aliran kemarahan yang tersumbat membuat isi kepalanya kontraksi. Dia pasti merasa begitu tak nyaman. Diminumnya Oskadon satu- satunya itu. Lalu dia melangkah menuju tempat tidur berbalut sprei hijau itu. Yang juga properti si wanita…

Sedang wanitanya sedang berusaha keras menguapkan rasa bersalahnya pada lelaki pula situ. Sebenarnya dia tak tega menyakiti. Tapi egonya terlanjur luka. Dan dia tak lagi mau perduli perasaan siapapun. Tapi wanita itu sebenar- benarnya begitu tersiksa. Tersiksa oleh egonya sendiri. Tersiksa oleh ketidakperduliannya sendiri. Tersiksa oleh ketegaanya sendiri. Tapi dia diam saja. Dia membiarkan egonya berkuasa. Dan dia biarkan lelaki itu meringkuk pulas. Sedangkan dia disini. Sedang merangkai kata demi melucuti rasa bersalahnya pada lelaki itu…

Lalu…

Wanita itu memutuskan untuk memperbaiki keadaan. Memperbaiki perasaannya, juga perasaan lelaki itu. Dia memutuskan untuk tidak menyia- nyiakan hari Minggunya dengan bersenggama bersama rasa bersalah. Dia mau selalu menikmati hidup. Dia mau jadi Happy Go Lucky!!!!!!


13:09

Friday, July 17, 2009

Message in the bottle


Manusia oh manusia. Begitu kompleks dengan semua keunikannya. Mimpi- mimpi yang kemudian berbenturan dengan realita membuat mereka kemudian mengutuki kehidupannya dan membuat beberapa daftar tindakan yang disesali lengkap dengan beberapa tindakan yang tidak sempat dilakukannya hingga kini muntahkan penyesalan. Lalu keserakahan membuatnya merasa terus harus mendongak keatas dan merasa tertinggal dari lainnya…

Baris pertama…

Hingga siang ini, dia sudah menerima dua pesan singkat via handphone dari dua kawan karibnya. Keduanya mengusung pertanyaan yang sama, “Ada apa denganmu? Kenapa begitu marah? Kenapa kamu merasa gundah lagi?”….

Beberapa deret pertanyaan tekstual yang begitu susah dicari jawaban tepatnya. Pertama, karena dia merasa jawaban yang nanti diberikannya akan terasa begitu “seperti biasa”. Kedua, karena dia merasa tak ada siapapun yang mampu membuatnya merasa tenang dan lebih mensyukuri hidupnya. Ketiga, karena dia tak mau ditentramkan hatinya. Baginya semua memang harus berlaku seperti itu. Bahwa dia memang harus berada pada silangan hidupnya sekarang. Selanjutnya, karena dia tak tega membagi derita dengan kedua karibnya yang mungkin berada pada tingkat syukur lebih tinggi darinya. Dia tak mau diceramahi tentang bagaimana caranya mensyukuri kehidupannya. Karena dia merasa sudah cukup bersyukur meski seringkali tak mampu hadang luapan kegelisahan hidup…

Dan dia memutuskan untuk membalas pesan pendek itu dengan cara singkat pula. Bahkan sama sekali tak menjawab pertanyaan- pertanyaan karibnya itu…
“Well, perasaan memang begitu rapuh hingga mudah berubah rasa. I’m just fine here…”

Hhhuuuhhh…

Sebenarnya dia hanya merasa enggan beranjak dari masa nyamannya. Dia enggan kembali menjalani rutinitasnya yang sedikit mengganggu bathinnya. Dengan kesehariannya yang begitu sendiri….

Dan…

Pada dasarnya dia takut tak lagi mampu bersenang- senang dengan caranya sendiri. Dia khawatir kehabisan ide untuk membahagiakan dirinya sendiri. Dia cemas kalau- kalau suatu saat nanti dia memerlukan orang lain untuk dapati kebahagiaan. Dia hanya mau bahagia dengan caranya sendiri dan dengan dirinya sendiri. Karena dia yakin bahwa hanya dengan diri sendirilah manusia akan menghabiskan waktu terbanyakknya. Maka, tentu saja, dia tak mau mengandalkan kehadiran orang lain untuk bahagia. Karena jika benar demikian maka dia akan lebih sering bersedih. Karena dia yakin dia akan lebih sering sendiri…

Hatinya telah mengatup pada semua bentuk kebersamaan. Jika agamanya mengijinkan manusia terus sendiri maka bisa dipastikan dia akan terus sendiri. Takkan sekalipun menikah…


Tertanda


(Tanda tangan)
26 Mei 1999

NB: Gulung kembali kertas ini lalu biarkan ombak membawanya pada para pembaca berikutnya. Terimakasih telah membaca jiwaku…


Maka dengan hati- hati kugulung kertas putih tulang itu. Kumasukkan kembali dalam botol minuman plastik. Kulempar sejauh tenaga. Agar buih laut membawanya menuju pembacanya yang lain….

Aku hanya bisa merasa sedih untukknya. Dan lega untukku sendiri. Karena bukan hanya aku yang merasainya. Dia juga merasakan yang sama. Bisa jadi aku adalah reinkarnasinya…

Aku masih bersama lelakiku disini. Berdiri di pinggiran pantai sambil nikmati senggamaan ombak kecil. Damai begitu mendominasi meski siang terlanjur begitu keparat…

Lalu…

Kuhirup udara pantai ini dalam- dalam. Segar meski panas tak mau mengalah oleh angin yang begitu setia temani buih. Kugenggam tangan kirinya lalu kembali kukayuh kaki bersama lelakiku. Di pinggiran pantai siang ini…


17 Juli 2009
Di sebuah Jum'at


13:21

Janji Omar!!!

Mojokerto
16 Juli 2009
Di hampir pergantian nama hari…
Namun sekarang masih bersebutan Kamis
23:46


Sekali lagi aku harus merasa kecewa oleh sebuah janji. Janji yang terluncur entah secara sengaja atau tak sengaja dari mulut sebuah nama. Janji yang kupercaya sebagai sebuah deretan kata tanpa harus dipercaya. Janji yang selalu kuyakini takkan pernah ditepati. Namun aku terlanjur masuk dalam jeruji kata “janji” yang bagiku adalah sebuah entah yang perlu dijaga. Sebuah entah yang harus selalu diusahakan kehadirannya,. Sebuah entah yang harusnya tidak meleset. Sebuah entah yang jika tidak dipenuhi akan berakibat perubahan hati seseorang. Sebuah entah yang akan dengan mudahnya mengekalkan rasa kecewa dalam jiwa terdalam seseorang.

Dan malam ini aku merasa kembali tertipu. Terbodohi oleh seorang mainanku….

Aku yang telah dengan rela menantinya untuk penuhi janji. Aku yang dengan sabar meyakini bahwa kali ini dia akan menjadi lelaki sejati yang akan selalu tepati janji. Aku yang masih enggan beranjak meski waktu yang telah dijanjikan telah jauh meleset. Aku masih ada dengan serumpun harapan. Lalu kini aku kecewa. Karena ternyata kata- kata yang kunamakan janji itu baginya hanya sederet kata yang bisa diingkari dengan mudahnya. Hanya sederet kata yang jika meleset dilakukan akan teratasi dengan “maaf” atau “I’m sorry”….

Shit!!!!


Aku benar kecewa kembali. Meski jika ditanya lebih dalam mengapa aku kecewa, aku hanya bisa menjawab : ”Karena dia tak penuhi janjinya”. Lalu saat pertanyaan dilanjutkan: “Apa yang kamu harapkan dari penepatan janjinya?” Maka aku hanya bisa menjawab: “Tak ada. Tak ada yang kuharapkan”. Hanya saja aku merasa masih berminat menjadikannya sebagai permainan hati. Aku mau dia juga sakit hati sama sepertiku…


Omar, belajarlah menghargai janji…
Jangan main- main denganku karena kamulah sebenarnya permainanku!!!!!

Monday, July 6, 2009

Mari kita berteman di dunia nyata...

Kediri
Pada sebuah pagi yang masih begitu dini
Tertanggal 6 Juli 2009
02:44



Berdasarkan konvensi hari ini sudah berhak dipanggil Senin. Meski masih berbentuk jabang bayi. Hampir semua nyawa nyata telah terlelap dalam keping- keping mimpi. Lalu yang tertinggal hanya keheningan….

Tapi wanita muda itu masih terjaga. Nyawanya masih begitu utuh. Dan rasanya masih benar peka. Lalu kembali dia dapati pecahan masa lalu yang sempat menolak untuk dia temukan. Bongkahan maya yang kemudian muncul sebagai suara. Kembali seperti semula karena benarnya dia dan lelaki maya itu tak pernah sekalipun bersentuhan nyata. Hanya terbentuk dari deretan rapi kalimat klise yang sulit diterka maknanya hingga wanita itu tak pernah benar paham sisi benar lelaki mayanya itu. Setelah sekian masa dia menguap tanpa berpamit, malam ini lelaki itu menggores kembali bayangan suaranya. Kembali menjadi setengah nyata namun tetap maya…

Lelaki itu adalah Omar Randu…
Wanita muda itu adalah Belva Purnama…
Namun tak jarang dia mengubah diri menjadi Vaska Alteria…

Omar Randu dulu ada sebagai maya…
Lalu dia menguap bagai asap tertelan pekat…
Tanpa pamit juga lambaian…

Sedangkan…

Belva merasa mempunyai beberapa ikat rasa kehilangan atas kepergiaan Omar…
Entah karena apa…
Bisa jadi karena kenyamanan yang dulu sempat menyubur dihatinya…
Kenyamanan yang tak pernah jelas ada karena apa…
Yang jelas kenyamanan itulah yang lalu memaksanya mengalih diri menjadi nyawa lain…
Menjadi bentuk hidup lain…
Menjadi Vaska…
Belva Purnama menjadi Vaska Alteria…

Karena…
Satu, tak ingin melepaskan kenyamanan oleh adanya seorang Omar…
Dua, tak mau merasa bersalah karena mengingkari kebenarannya…
Singkatnya, Belva mau tetap menjadi setia lalu beralih menjadi Vaska untuk nikmati kenyaman bersama Omar…

Kini Omar yang dulu sengaja lebih menyamarkan diri tiba- tiba kembali dan menemukannya, dia gamang. Danau harapannya atas Omar telah banyak yang merembes terserap tanah. Hilang meski masih sedikit tersisa. Namun tak seberkah dulu. Karena Belva merasa tak mungkin kembali bersapa maya dengan Omarnya. Dan perlahan, dia melepaskan diri dari Vaska. Saat Omar lalu menyentuh dengarkan suara mayanya, wanita itu tak tahu pasti akan berperan sebagai apa dia malam tadi. Tetap sebagai Vaska kah? Atau Belva?

Belva dan Vaska muncul secara bersamaan. Mereka merasa sedikit bahagia. Sedikit biasa…

Lalu…

Belva dan Vaska berbincang dengan Omar. Perbincangan itu terasa begitu memotong masa. Pengakuan demi pengakuan lalu lancar terurai. Tak lagi layaknya benang teruntai. Pengakuan- pengakuan yang terasa begitu seharusnya…

Belva kemudian memutuskan untuk meleburkan Vaska. Dia memutuskan untuk tetap menjadi Belva. Karena dia lelah terus beralih. Dia juga sudah begitu jengah dengan lelehan rasa bersalah. Bersalah kepada Omar Randu. Bersalah pada seseorang yang telah begitu baik menyamankannya…

Omar kini bersentuhan dengan Belva. Bukan dengan Vaska. Lalu berjanji: Mari kita berteman di dunia nyata…

Maka…
Wanita itu pamit setelah menuangkan semua yang enggan begitu saja dia lupakan…


03:33

Friday, July 3, 2009

Hatiku menangis begitu deras…


Mojokerto
3 Juli 2009
Jum’at yang terasa bagai Kamis
15:02


Gerah kembali mengepungku dalam lelehan peluh. Sendiri menghibur diri. Menganggap semua yang sedang ada diluar sana memang tak benar- benar pantas untuk kunikmati. Sejatinya aku sedang menyekap diri dalam bilik hidup yang sendiri ini. Sedikit enggan ikut serta berteriak di hiruk pikuk alam. Karena khawatir akan kembali teserat oleh angin rasa bersalah dan debu ketertinggalan. Aku hanya sedang berusaha meredam semua rasa yang sebenarnya ada sebagai nyata. Karena aku masih saja tak mampu berbuat banyak untuk mengubah apapun. Maka aku hanya mencari pembenaran sambil minggir dari lalu lalang kolega agar tak tertabrak lalu sakit dan miris lagi…

Berita bahagia itu benar- benar membuatku semakin jatuh dalam kemirisan. Sekali lagi aku tertinggal oleh lainnya. Sedih lalu begitu mendominasi. Maaf, kawan. Maaf karena aku tak bisa secara ikhlas berbahagia atas bahagiamu. Maaf karena bagaimanapun akulah yang tertinggal. Perjuangan dan doamu yang tanpa henti telah mengangkatmu kembali pada posisi yang benar. Aku tahu ini hanya akan menunggu waktu. Aku tahu meski berusaha terus menutupi ketahuannku ini…

Maafkan aku, Adri…

Aku harus tetap kuat. Berjalan lagi. Meski kini sambil cecerkan beberapa air mata iri. Karena akulah yang ditinggalkan. Lalu aku harus apa? Perjuanganku tak pernah keras. Doaku juga seringkali terputus. Lalu apa yang bisa kuharapkan? Tak ada…

Seandainya hidup bisa diulang kembali maka aku akan kembali menata hidup. Menata arah. Memperbaiki sekatan hati. Memperkuat niat dan jiwa juang. Lalu aku akan mendapati yang jauh lebih berharga dari hanya ini…

Maaf jika aku kembali menangis sedih atas bahagia orang lain. Maaf karena aku terlalu lemah dan hanya bisa berperan sebagai penunggu saja. Aku tak pernah punya keberanian untuk memperjuangakan bahagiaku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk bisa hidup bahagia. Dan aku terlalu jahat karena mengharap semua akan merasa sama sepertiku. Aku terlalu manja untuk takut berada di sekat hidup ini sendirian…karena nyatanya aku mau selalu ditemani…

Ya Allah…pertanda apalagi ini? Apa ini pengingat untukku? Apa ini yang Kau harapkan menjadi penguatku dalam berjuang? Apa ini adalah pertanda dariMu kalau aku seringkali menolak mendekatiMu? Masya Allah….

Semoga hatiku akan segera merasa nyaman kembali. Nyaman pada titik yang memang menyamankan. Semoga aku segera dipertemukan dengan kesadaran tentang hakekat perjuangan hidup dan ditempatkan pada posisi terbaik untukku. Amin…



Hatiku menangis begitu deras…
15:19