Wednesday, December 2, 2009

Si Hebat...

(Masih) di Mojokerto
(Kali ini) tertanggal 2 Desember 2009
Sebuah Rabu
Dengan perasaan begitu hampa tanpa tahu harus berbuat apa…
18:45



Adzan Isya’ terdengar membumbung di hatiku yang Islami. Sejenak aku seakan merasa bagai malam bulan Ramadhan yang tahun ini telah terlalui. Rasanya sedikit mendamaikan nadi. Aura religi masih melambai hasta undang para raga tunaikan kewajiban insani. Tapi sayangnya kali ini aku masih belum suci. Jadi tak mungkin aku membelai air wudlu lalu tunaikan sholat malam ini…

Dan aku masih saja menatap waktu di depan tivi. Masih juga dengan rasa bosan yang terasa begitu berarti. Namun aku tak punya pilihan untuk menghindari. Karena aku hanya sendiri. Dan hatikupun sedang merasa tak punya rencana, apalagi mimpi. Benarnya hanya satu yang kuingini. Tak ada yang lain lagi. Yaitu segera lepas dari keterpurukan menuju masa yang lebih damai. Masa yang sajikan keramaian hati. Masa yang tak lagi menyiksaku dengan kesepian hati dan kesendirian nadi. Aku mau ditemani. Aku mau tak sendiri. Dan aku mau selalu bahagia dalam berbagi…

Jarum jam masih saja berdetak. Lahirkan masa yang hanya bisa merangkak menuju kotak-kotak kehidupanku yang sejak beberapa lama lalu sudah meretak. Meski nyatanya jantungku masih normal berdetak. Meski nyatanya jiwaku terus berteriak. Berteriak agar bisa lepas dari masa yang kali ini hanya berupa bosan dan riak-riak…

Tolong lepaskan aku dari semua beban. Biarkan aku melesatkan nyawa bersama indahnya kenyataan. Biarkan aku terbang sambil bergenggaman tangan bersama keindahan. Biarkan aku menjemputnya untuk bersama-sama rasakan senyuman kehidupan. Tolong hadiahkan sebuah kesempatan untuk merasakan. Jangan biarkan aku terperangkap dalam hampa dan tak berasa karena bosan…

Mauku tak mengeluh. Mauku berhenti berkeluh. Mauku terima apa yang tersuguh. Mauku terus tersenyum meski sambil menahan perih. Mauku terus nyaman meski dalam lautan peluh. Mauku tak pernah berairmata sedih. Dan aku sudah berusaha keras untuk itu semua, namun sayangnya mataku tak lagi sanggup menahan pedih…

Airmataku begitu bening hingga benar tak terlihat. Hanya aku yang bisa merasakannya terserap pori-pori kulit. Sedangkan nyawa-nyawa lain tetap menganggapku manusia kuat. Semua masih saja menilaiku hebat. Mereka tak pernah tahu apa yang sedang benar-benar terjadi karena warna hati memang tak pernah bisa pasti terlihat. Maka biarkan aku menahan semua dan menganggapnya nikmat. Agar semua masih akan tetap memanggilku Si Hebat…

Apa karena aku kurang bersyukur?
Apa karena aku lupa mengukur bahagia?

Benarnya aku lelah mengeluh…
Airmata jiwakupun telah begitu lelah meleleh…
Hatiku sungguh ingin mencerah…
Aku mau segera berlari menuju sebuah entah…

Ya Allah…
Maafkan hambaMu yang sedang lupa ini…
Aku akan selalu kembali padamu lewat sujud ibadah…
Lingkupi jiwaku dengan kabut imani…
Amin…




Telah banyak yang terluap tapi hati masih saja tak melega…
Apalagi yang masih salah?
19:14

Monday, November 30, 2009

Jodoh dadakan...

Mojokerto
29 November 2009
Di sebuah Minggu dengan nada-nada gerimis…
16:36




Yang aku tahu adalah bahwa dia sudah dilamar. Entah kapan. Dan dia bilang sekarang dia dan keluarganya sedang melakukan acara lamaran balasan yang begitu dadakan…

Jodoh memang benar tak pernah bisa diterka. Bahkan direncanakanpun juga tak bisa. Jalannya tak bisa dipetakan. Kadang begitu rumit, panjang dan tak teratur lalu diakhiri dengan tangisan perpisahan. Ada juga yang diawali dengan ketidak sengajaan yang berlanjut jadi rajutan rasa yang makin lama makin dalam dan tak bisa dimengerti lalu diakhiri dengan ucapan “Selamat menempuh hidup baru”. Pun ada juga yang begitu estafet seperti apa yang dialami wanita paruh baya itu. Aku memanggilnya “dia”…

Dia yang kini sedang mendadak bahagia…
Dia yang sekarang sedang menyeka tawa bersama pasangannya…
Pasangan yang bahkan bayangannya saja tak pernah tertangkap mata…
Pasangan yang semoga seorang kesejatian baginya…

Dan mereka bertemu secara estafet…
Semua pernah begitu ruwet…
Tapi tulisan takdir tetap kuat megikat…
Semoga mereka benar bahagia hingga bumi melarut…

Mereka hanya perlu “pertama kali”
Untuk putuskan saling menikahi…
Seperti yang mereka maui…
Menyatu nyawa diusia yang tak lagi dini…

Satu lagi bukti misteri jodoh. Dia dan pasangannya. Dulu maya lalu kini mendadak nyata sebagai calon pengantin. Sekali lagi begitu sulit dipercaya. Agak susah dimengerti. Betapa kehidupan selamanya hanya ditentukan dari pertemuan pertama saja. Huuufff. Apa bisa?

Tidak bagiku…
Kalau aku…

Dulu aku perlu ribuan pertemuan untuk memastikan hati. Dulu aku perlu ribuan petuah orang tua sebelum bertanya “Will you marry me?”. Dulu aku perlu ribuan tatapan mata untuk rasakan keteguhan cintanya padaku. Dulu aku butuh ribuan masalah untuk pahami jalan pikirannya…

Tapi dia dan pasangannya?

Mereka hanya butuh sekali untuk selamanya. Sekali pertemuan untuk memastikan hati. Sekali tatapan mata untuk saling berkata “Mari kita menikah”. Sekali jabatan tangan untuk rasakan detak hati. Hanya sekali saja…

Aku benar-benar tak habis pikir. Apa semua itu karena usia? Karena mereka tak lagi remaja? Karena mereka sudah terlalu dewasa?...

Hhhhmmmmm…..

Semua nyawa memang terlahir dengan membawa jodohnya sendiri. Meski butuh waktu untuk menemukan kembali pasangan jiwa itu, tapi akhirnya masih akan tetap telah tertulis rapi secara pasti. Hanya saja nyawa biasa kitalah yang tak pernah bisa membaca tulisan Sang Maha itu…

Aku perlu waktu dua puluh empat tahun untuk menemukan belahan nyawaku. Dan aku masih butuh dua setengah tahun untuk belajar membaca tulisan Sang Maha tentang wanitaku kala itu. Siapa tahu dia hanya rambu jalan menuju wanita sejatiku. Aku yakinkan hati untuk coba meraba huruf lalu mengeja kata hingga sedikit membaca kalimat jodoh itu. Dan akhirnya aku yakin dia yang dulu kubawa saat lahir….

13 Desember 2007…
Pada sebuah Kamis…
Ba’da Isya…
Kami resmi menata nyawa bersama…

Kapan mereka menyusul kami?
Sepertinya akan lebih segera dari sekedar segera…
Semoga karena ketetapan hati…
Bukan hanya karena sadar usia…
Amin untuk doa mereka…



17:08
Masih dengan begitu banyak tanya…
Masih dengan begitu banyak mengapa untuk mereka…

Jawaban doa...

Mojokerto yang sedang dirundung mendung…
Tertanggal 28 November 2009 yang selipkan debur kecewa dihati…
16:01 yang sedang mensugesti tentang kuncup indah yang sedang sedikit mengembang…



“Cuma 2 orang ya? Maaf, Ai. Kamu juga ga lolos.”

Singkat, mengecewakan sekaligus memberi kesan “aku tak sendiri”. Sudah kuduga akan begitu akhirnya. Namun setengah jiwaku berharap penuh akan keajaiban yang datang melalui jawaban doa-doaku….

Tapi nyatanya aku (kembali) kecewa. Kecewa ini begitu berbeda. Aku merasa bagian doaku telah terjawab. Karena aku selalu mendoa agar diberikan kelapangan hati dan ketenangan jiwa atas apapun yang menimpaku. Kecewa itu tak begitu terasa. Meski bisa aku pastikan keberadaannya begitu nyata. Hatiku sedikit menangis…

“Aku kecewa karena kalah oleh properti…..bukan ability! Suck!”
Kalimat itu tiba-tiba mewakili segala yang kurasa. Secara otomatis tertulis di layar chat Yahoo Messager-ku dengan Ratri siang tadi…

Kemudian…

“Teman Enci yang kerja di Di*na* pemk** Pro******** bilang kalau nama-nama yang lulus sudah ada sejak lama. Harganya tujuh puluh juta.”
Tak ada rasa saat kubaca pernyataan itu. Karena aku memang sudah menduga. Dugaanku sejak lama. Sudah melewati pengamatan terhadap segala aspek yang perlu dipertimbangkan. Dan aku tak menyesali apapun. Tak ada pengandaian apapun dihati….

Wewww….aku menstruasi…tiba-tiba saja…

Baiklah aku lanjutkan lagi…

Jika aku orang lain bisa jadi aku banyak berandai…
Seandainya aku punya jumlah itu…
Seandainya tak ada hukum haram jika menyuap…
Tak ada pengandaian seperti itu…
Tak ada pengandaian ini itu, sama sekali…

Sebenarnya penguatku hanya satu. Yaitu keyakinan bahwa aku kalah oleh properti. Dan bagiku kemenangan oleh properti bukan hal yang patut diingini. Tak perlu di-dengki-i...

Aku yakin hidup adalah sebuah misteri yang besar….
Pasti ada yang sedang menungguku disisi waktu yang lain…
Apapun itu…
Semoga aku masih punya kekuatan untuk bersabar…
Apapun itu…
Semoga aku masih punya tangan untuk selalu kugenggam…
Apapun itu…
Semoga aku masih bisa bangkit untuk perbaiki yang masih tak baik…
Amin…

Masih dengan rasa kecewa yang gamang…
Tak tahu harus merasa apa…
Terimakasih atas kekuatan ini…
Aku begitu merasakan kekuatan doa-doa…
Mungkin Allah SWT mengabulkan doaku dalam bentuk ketenangan hati ini…
Alhamdulillah…



16:27

Monday, November 16, 2009

Dua lelaki patah hati...

Mojokerto
16 November 2009
(Masih) di sebuah Senin petang…




Aku sungguh tak pernah benar mengerti apa yang telah terjadi. Sejak dulu kami tak pernah saling memahami. Yang kami tahu adalah bahwa hati kami sedang saling terpaut. Namun demikian kami tak pernah tahu pasti kapan maut hati akan menjemput. Karena hidup begitu penuh dengan kejutan…

Hanya doa yang mungkin bisa memberi sedikit angin segar. Hanya sedikit saja. Karena kami tak pernah tahu kapan doa itu akan didengar lalu dikabulkan…

Apa salah jika kami saling mencinta?
Apa tak boleh kami selalu saling bersama?
Apa harusnya kami terima semua kenyataan?
Apa benar harus selalu mengikuti jalan alam?
Iya?
Benarkah harus selalu seperti itu?

Hati kami terus menangis darah. Meski tak satupun suara isak ini terdengar yang lain. Bahkan gemanyapun tetap membisu. Tapi buktinya adalah bahwa kami benar menangis karena terlalu sakit. Kami menangis bersama di tempat berlainan dengan alasan yang sama. Adalah bahwa karena raga kami tak mungkin bersatu…

Apa yang salah jika kami saling menyuka?
Apa yang haram jika kami saling mencinta?
Apa yang tak layak jika kami ingin berbagi nyawa?
Katakan padaku…
Hanya padaku saja…
Lalu akan kukatakan semua padanya. Jika jawaban kalian terlalu menyakitkan maka akan selamanya kusimpan dihati. Tak perlu dia tahu. Karena dia sudah terlalu kelu hati menyandang sakit ini. Sakit yang begitu tanpa ampun. Sakit yang begitu tanpa alasan logis. Sakit yang begitu abadi…

Kemudian kami berusaha mencari tahu sendiri apa yang salah. Apa yang tak benar.Apa yang dianggap haram. Kami lalu berusaha menerka-nerka. Apa karena kami sama? Apa karena namaku Rando Titah Sembrani dan namanya Ahmad Frezaldi? Apa karena itu? Hanya karena itu? Bisa jadi…

Lalu kuputuskan untuk mengubah diri menjadi seseorang bernama Rosa Titah Sembrani. Empat tahun lagi akan kulakukan keputusanku ini. Saat aku lulus SMA. Dan biarlah dia tetap menjadi Ahmad Frezaldi. Agar kami bisa halal bersama. Agar tak ada lagi yang dianggap salah…



Kami adalah dua lelaki patah hati…
18:52

Gerimis tadi siang...

Mojokerto
Tertanggal 16 November 2009
Pada sebuah Senin yang basah…
5:00



Tadi siang hujan datang bertandang. Mengguyur tanah yang sekian masa telah kerontang. Kotaku kini tak lagi mengering. Penantian memang akan selalu lahirkan senyum yang terkembang. Pun sama dengan tanahku yang kini menguncup senyum oleh hadirnya sang hujan siang…

Gerimis romantis mengiris…
Angin-angin ikut berlalu lalang…
Sedang udara mulai meringis…
Biarkan peluh melesat terbang lalu sebentar menghilang…

Aku diam…

Udara yang tadi begitu beringas, kini perlahan terkikis hujan siang ini. Hujan yang turun untuk pertama kalinya sejak awal musim ini. Hujan yang kuyakin banyak dinanti. Hujan yang kupastikan banyak dirindui. Dirindui para raga manusiawi…

Aneh…
Ragaku masih saja kegerahan. Namun hatiku terasa begitu nyaman menatap lelehan air hujan itu di kaca jendela depan. Mengucur tanpa irama namun indah untuk pandangan. Terasa begitu damai dan mendamaikan…

Ya Tuhan….
Begitu indah siang ini. Meski, seperti biasa, aku harus merasainya sendiri. Begitu damai hujan ini. Langit menangis begitu manis. Teteskan air-air, rintik-rintik, leleh-leleh, gerimis-gerimis. Lalu aku iseng bertanya tanpa mengharap balas. Apa langit sedang merintih karena miris? Mengapa ia menangis? Begitu deras hingga logikanya ia sedang begitu teriris. Ataukah ia sengaja bersedih agar bisa menangis gerimis hanya untuk melihat kami tersenyum damai manis? Iyakah? Maka terimakasih, langit…

Siang tadi aku tak sempat mencuri lihat pada sang langit. Karena aku terlalu memaku oleh gerimis yang kuharap tak terjadi singkat. Aku masih begitu merindu para gerimis yang dulu-dulu sempat membuat hatiku terpikat. Dan sampai sekarangpun aku masih terpikat. Hingga bagiku semua gerimis selalu manis dan semua hujan selalu patut dirasa nikmat. Maafkan aku, langit…

Aku tak butuh lagi pelangi. Tetes-tetes itu sudah begitu rapi menghias rohani. Gerimis tadi benar indah dirasa hati…

Aku masih sangat mencinta hujan…
Aku masih akan selalu mendamba gerimis...

Kini…

Gerimis telah undur hati…
Hujan juga sudah menguapkan diri…



5:31
Hatiku damai…
Nyawaku bersenandung ramai…
Karena gerimis siang tadi…
Karena tetes-tetes air tadi…

Wednesday, November 11, 2009

Puisi hati...
















Mojokerto
11 November 2009
12:49
Pada sebuah Rabu…


Pernahkah kau merasa terkhianati oleh hati?
Adalah disaat kau merasa begitu yakin olehnya…
Lalu dia ternyata mengubah arah haluan…
Hingga kau merasa harusnya tak memutuskan untuk mengabdi hidup pada sebuah nyawa…
Tapi kau terlanjur memutuskannya…

Dan…

Pernahkah kau menyalahkan waktu?
Adalah disaat kau menyesali keterlambatan pertemuanmu dengan sebuah hati…
Lalu ternyata kau telah terlanjur mengabdi hati pada yang lain…
Hingga lalu kau hanya bisa berkata “seandainya…”

Dan…

Pernahkah kau mengutuk alur kehidupan?
Adalah disaat kau menyadari rute hidup lainnyalah yang sebenarnya lebih membahagiakan…
Tapi, sayang kau tak melangkah kearah itu…
Hingga akhirnya kau melewatkan sebuah hati yang seharusnya adalah takdirmu…

Dan akhirnya…

Pernahkah lalu kau menerima semua kesalahan itu dengan terpaksa?
Hanya karena kau tak pernah punya daya untuk mengubah apapun…
Lalu kau memaksa diri nikmati yang telah kau punya…
Sambil menjadikan apa yang tak pernah sempat kau gapai sebagai mimpi yang tak untuk diwujudkan…

Dan aku pernah…
Aku pernah merasa terkhianati oleh hati…
Pun aku pernah menyalahkan waktu yang salah menempatkan aku dengan dirinya…
Dan akhirnya, dengan terpaksa, kuterima semua kesalahan itu…

Dan kini aku tahu betul fungsi kata “menyesal”…
Lalu aku berjanji untuk hati-hati memilih alur cerita kehidupan…
Karena siapa tahu jika dulu aku memilih belok kanan maka rute akan semakin panjang hingga aku punya daya untuk mengulur lebih banyak waktu guna bertemu denganmu…
Tapi nyatanya, kala itu aku memilih jalan lurus…

Aku terlambat bertemu dengan hatinya…
Dan aku sempat menyesal…
Lalu kini dia merapatkan hati dengan yang lain…
Apa dia sempat menyesali keterlambatan ini?
Semoga yang terbaiklah yang akan terjadi selanjutnya…



Lega…
13:06

Tuesday, November 10, 2009

Catatan pagi ini

Mojokerto
Pada sebuah Senin
Tertanggal 9 November 2009
Mimpi tadi sedikit menggelisahkan…


Hari ini kumulai sejak dini. Meski lalu aku kembali mengatup mata, menjemput lelap yang sedari tadi masih menyelinap di kelopak. Dan aku kembali terlelap. Tak sendiri. karena hari ini masih umum dikata Minggu. Kembali menjemput lelap tanpa pelukan. Hanya bersama saja…

Bunga lelap lalu menggelitik hati pejamku. Tetap memaksa untuk ikut memberi kesan meski hidup belum sepenuhnya kuhirup. Kubiarkan dia. Bukan karena hatiku terlalu baik untuk menolak. Tapi karena alam sadarku sedang tak sadar hingga tak ada pikiran untuk katakan “tidak”. Lalu cerita-cerita tanpa logika total mulai tertera. Membawaku kembali ke masa lalu. Dengan setting yang sama dengan dulu. Saat aku masih mengabdi diri pada ILP Kediri….

Mimpi tadi sedikit menggelikan meski tak sepenuhnya beralur tak masuk akal. Ada beberapa bagian yang benar. Pun ada beberapa yang kunilai aneh setelah kesadaranku pulih. Menggelikan. Menyebalkan. Lucu juga. Tapi biarlah, karena itu hanya bunga lelap…

Jam 9:48…

Lelaki itu masih enggan melepas pelukannya terhadap lelap. “Masih mengantuk”, katanya. Maka kubiarkan dia bereratan dengan lelapnya. Dan aku merangkai ingatan berbentuk kata disini. Karena aku harus mengalihkan perhatian. Jika tidak, akupun aku turut larut dalam lelap bersamanya….

Dua menit kemudian…

Semua masih tetap sama persis. Tak ada beda meski sedikit. Huuuhhhhhhhfffffffff…

Dua menit (lagi) kemudian…

Sebenarnya hidup belakangan ini tak terlalu berwarna. Tak ada yang benar-benar pasti. Kebanyakan hanya berupa siluet tak jelas yang pada saat tertentu akan dengan sendirinya memperjelas diri. Semoga semua sama seperti apa yang kudoa. Semoga semua tak lagi kecewa oleh situasi. Dan semoga semua bisa menerima kemungkinan terburuk dengan hati terlapang. Semoga semua menuai sukses. Amin…

Hampir jam sepuluh pagi…

Sudah cukup aku berbincang (tak jelas) pagi ini.



Sekian…
Winamp ini terus terdengar meski tak sepenuhnya untuk dinikmati…
Sekedar agar tak sepi saja…

Wednesday, October 28, 2009

Lelaki yang ingin menangis


















Mojokerto
28 Oktober 2009
Dengan jiwa Sumpah Pemuda yang lama senyap…
14:19



Mata lelaki itu merasa ingin menangis. Hatinya tidak sedang terluka. Pun raganya sedikitpun tak tergores apa. Tapi perasaannya sedang merindu romansa yang selalu bisa bawa tawa dan airmata secara bersama. Dia begitu ingin meneteskan airmata haru…

Dia bukan penganut faham “Lelaki pantang teteskan airmata”. Baginya menangis adalah romantis. Dan sekarang hatinya sedang merindu romantisme yang kini sedang menjamahi jiwa-jiwa lain. Bukan jiwanya yang jelas-jelas telah memilih hidup dengan wanita yang dua tahun dinikahinya itu. Wanita yang sampai sekarang masih memegang kendali atas rasa cinta dan sukanya. Hingga dia tak pernah sedikitpun merasa perlu membuka mata apalagi jiwa buat hawa lain. Lelaki itu takkan sekejappun biarkan hatinya melayari samudra hati wanita lain. Dia setia tanpa rencana…

Tapi sekarang dia ingin kembali rasai romantis. Siang ini juga dia merasa ingin menggenggam tangan wanitanya. Dengan rasa yang sama persis dengan empat tahun lalu. Saat dengan malu-malu tangannya meraih tangan wanita itu. Di sebuah gang kecil. Di siang terik dengan sedikit angin meniup. Sama seperti sekarang. Pun dengan beragam motif pikiran dalam otaknya. Tentang apakah wanita itu akan berontak membuang jauh genggamannya? Tentang apa wanita itu akan menganggapnya kurang sopan santun? Tentang apa wanita itu akan berfikir dia begitu berpengalaman dalam hal menarik tangan wanita? Tentang tatapan seperti apa yang akan didapatinya di mata wanita itu? Dan tentang semua yang wajar dirasa untuk sebuah pengalaman pertama…

Pengalaman pertama bergenggaman tangan dengan wanita itu…
Genggaman pertama itu sudah bertahun-tahun yang lalu…
Sudah begitu berlalu dari masa sekarang…
Dan kini dia mau merasai kembali pengalaman pertama itu…
Tidak dengan wanita lain…
Tidak dengan pasangan baru…
Harus tetap dengan wanita dulu…
Wanita yang kini telah bersanding sebagai belahan jiwanya…

Lelaki itu berhasil menangis. Menangis sendiri. Tapi tak sedikitpun karena kesepian. Tangisan yang begitu nikmat. Tangisan romantis oleh kenangan masa lalu dengan iringan nada Winter Sonata. Dia melelehkan airmata perlahan tanpa wanita itu…

Lalu bayangan tentang hutan MIPA mampir sebentar di kesenduan siangnya…
Diikuti dengan penjelajahan malam menyusuri kampus bersama wanita itu juga Asunaronya…
Kemudian berfoto kotak di Matos. Dia berkemeja coklat dengan celana warna senada sedang wanitanya berjaket biru langit bercelana jeans hitam lalu penutup kepala acak warna. Jaketnya tepat badan. Lalu berpose kaku dan jauh dari kesan romantis. Tapi jika sekarang diingat, terkesan begitu malu-malu…
Lalu beli oleh-oleh di pasar Dinoyo. Apel Malang…
Dan kembali terpisah genggam dengan wanitanya…
Untuk waktu yang lumayan lama…
Tapi mereka sudah sama-sama terbiasa…

Winter Sonata habis dia putar berkali-kali. Kini untuk beberapa masa, dia membiarkan nada itu terputus dan beristirahat. Berganti dengan Adzan Ashar…

Kini hatinya telah kembali normal. Tak lagi rindui sendu. Tak lagi ingin menangis. Semua telah kembali seperti biasa. Bahkan kini dia menulis dengan tanpa airmata…
Hatinya telah terpuaskan dengan airmata indah tadi…


14:42
Dan aku merasa sama rasa dengan lelaki itu…
Persis sama dengan dia…
Juga sempat ingin menangis romantis bersama Winter Sonata dan ingatan masa dulu…
Kuputar kembali Winter Sonata…

Friday, October 23, 2009

Hampa...

Mojokerto, 22 Oktober 2009
Di sebuah Kamis tanpa desis gerimis…
Hanya miris yang terus mengiris…
18:10



Hari ini begitu membosankan. Rasa hati yang tak berbentuk membuatku merasa tak ada yang bisa dilakukan. Memandang layar televisipun sama sekali tak membantu. Hiburan-hiburan itu hanya ternilai sebagai gerak tanpa arti. Sama sekali tak beri guna. Tapi karena tak ada pilihan lain, maka kupaksa mata terus menatap layar. Hati masih tetap hampa…

Lalu aku merasa mendapat cara lewatkan hari. Betapa waktu terasa begitu perlahan berlalu. Betapa jarum jam terasa begitu lambat merambat. Meski hati sadar kalau hari ini takkan terulang lagi tapi aku sungguh rela segera bertemu sapa dengan esok. Lalu aku terlelap. Begitu lama hingga raga terasa begitu tak ada daya pun guna. Berganti dari tempat satu ke tempat lain. Hanya demi sebuah kenyamanan dalam lelap. Karena aku bahagia kala terlelap. Karena aku tak mau terjerat dalam lambatnya rambatan waktu…

Berkali-kali aku telusuri hati demi dapati apa yang sebenarnya hati ini maui. Tapi tak juga kudapati sebuah jawaban pasti. Yang aku tahu hanyalah bahwa hatiku menangis halus. Meratapi kehidupan yang baginya semakin tak menentu. Menyesali jalan yang dulu telah terlalui. Hingga akhirnya aku terdampar pada sisi kehidupan yang ini…

Cinta tak banyak membantu. Sahabat sedang berada pada kebahagiaan hingga tangis bisuku tak mungkin terasa olehnya. Teman-teman juga sedang berhamburan menjemput mimpi. Dan aku hanya disini bersama harap agar waktu segera berlalu. Meski aku sendiri tak pernah tahu apa yang sedang kuingini. Terlalu lelah mengharap, bermimpi lalu kecewa oleh kenyataan. Aku tak mau lagi kecewa. Tapi hidup tanpa ingin seperti ini juga tak begitu menyamankan…

Dulu banyak yang menyita hati. Bahkan rinai lembut gerimis mampu membangkitkan romantisme. Lelehan air hujan di kaca jendela adalah pemandangan menentramkan. Bising suara angkot adalah musik pertanda kehidupan. Begitu menghibur meski kadang datang tanpa bisa terhentikan…

Entah apa yang sekarang sedang salah. Akukah yang sedang kehilangan rasa dan kepekaan akan indahnya dunia? Ataukah waktu memang sedang menguji ketahanan jiwaku? Apa aku sedang merasa berlebihan dan tak sedikitpun bisa bersyukur? Kemana semua sahabat? Kemana semua teman? Kemana semua pewarna kehidupan? Kemana mereka semua? Apa yang salah denganku hingga akhirnya aku merasa ditelantarkan sendiri bersama sepi seperti ini? Katakan apa yang salah. Dan mungkin aku akan memperbaiki semuanya. Hanya agar semua kembali kepadaku. Hanya agar aku bisa lebih menikmati detakan jarum jam. Hanya agar aku tak menghamba pada kebosanan. Dan hanya agar aku merasa sebagai manusia yang juga bisa tersenyum dan tersentuh bahagia…

Mungkin aku hanya sedang kelelahan. Butuh istirahat. Butuh sedikit waktu hanya bersama diri, bukan bersama bosan…

Kata-kata ini semakin tanpa arti. Semakin tak mengarah kemanapun. Hampir sama dengan hidupku kala ini. Karena aku juga merasa tanpa arah. Tanpa tujuan. Hingga lalu merasa tak punya rambu untuk dipatuhi. Juga mimpi untuk ditepati. Dan aku benar tersiksa oleh rasa ini. Berharap bisa segera beranjak dari hidup yang hanya hitam putih ini. Mencari kembali pewarna lalu susuri hidup sambil tersenyum dan sesekali tertawa lepas…



Hanya seorang diri di kamar ini…
Terasa begitu membosankan…
18:55

Thursday, October 8, 2009

Selamat tinggal dunia maya...

Mojokerto, 8 Oktober 2009
(Tetap di ) Sebuah Kamis yang kusangka Jum’at…
Selamat tinggal dunia maya…


Dia masih tetap wanita yang dulu. Masih dengan balutan raga yang tak berbeda meski kini dia telah memutuskan sesuatu. Dia memutuskan untuk melepaskan kesempurnaan dunia maya yang selama ini jadi dewa penolong bagi kekecewaannya...

Kenapa?
Karena dia sudah puas dengan dunia nyatanya.
Karena kini dia bisa sepenuhnya tersenyum dan berpuas hati dengan apa yang telah secara nyata termiliki.
Juga karena dia kecewa atas dunia mayanya. Karena ternyata dia tak lagi mampu mengendalikan dunia maya itu. Hingga akhirnya dia terkhianati…lalu menangisi dunia mayanya itu. Tangisannya begitu nyata karena hatinya terluka. Oleh seorang yang secara maya dicintainya. Oleh sebuah nama, Radithya Javas Nararya...

Radithya Javas Nararya telah menyadarkannya dengan cara yang tak dia sangka. Perubahan rasa Radith dia anggap sebagai sebuah pengkhiatan tak terduga…

“Aku hanya manusia biasa yang tak pernah tahu kapan rasa itu pergi dan beralih ke siapa”, begitu kata Radith.

Dan dia tertegun dengan pernyataan itu. Hatinya lalu meradang dan emosinya sedikit meluap lewati batas normal. Sebenarnya sudah sejak agak lama dia menyadari permainan Radith dengan wanita barunya. Tapi dia diam saja. Karena baginya ini hanya sebuah permainan yang tak terlalu perlu dipusingkan. Karena dia bukanlah yang selama ini dia katakan pada Radith. Karena dia memang mencintai Radith pada saat yang tak tepat. Karena dia sadar sudah “terlambat bertemu” Radith. Dan karena dia tak punya alasan tepat memaksa Radith tetap menautkan hati padanya. Ada begitu banyak karena yang tak mudah dimengerti selain olehnya sendiri...

Dia terlanjur menautkan hati pada sebuah legalitas sakral dengan lelakinya. Dua tahun yang lalu. Dan delapan bulan yang lalu dia menggagumi Radith. Lalu tak lama setelah itu, dia merasa “sangat terlambat bertemu Radith". Dia bingung harus merasa apa. Jika dia memutuskan untuk menyesali keterlambatannya bertemu, tak mungkin. Karena dia akan sangat merasa bersalah pada lelakinya. Dia tak pernah tega menyakiti hati lelaki yang begitu menjaga hati untuknya itu. Lelaki yang dua tahun yang lalu mengikrarkan diri sebagai pendampingnya...

Lalu...

Kini dia mendoa untuk kebahagiaan Radith dengan wanita lain itu. Karena dia akan berusaha untuk terus bahagia dengan lelakinya sendiri. Dan melupakan teori “terlambat bertemu”nya…

Dia takkan meminta maaf…

Selamat berbahagia, Radith…
Selamat tinggak dunia maya…

13:42

Idul Fitri 1430 H

Mojokerto, 8 Oktober 2009
Kamis ini kusangka Jum’at…
Maka maafkan aku…
12:23





Sekian lama tak bersua dengan kata-kata. Tak ada rindu. Tak ada punya rasa ingin yang begitu menggebu untuk kembali hadir bersama kata. Dunia nyata telah begitu menenggelamkan. Dunia nyata telah begitu memabukkan hingga aku hilang kesadaran untuk kembali bersapa kata dengan kanvas ini. Banyak yang ingin kubagi namun hatiku tak terkiblat pada kanvas kata ini. Maka kubiarkan ingatan saja yang menyimpan semua cerita ini…

Hingga akhirnya siang ini aku kembali. Menuliskan segala yang telah terlalui. Segalanya terasa begitu indah. Kebersamaan dengan saudara dan pertemuanku yang tak sebentar dengan lelakiku. Begitu membahagiakan juga mengharukan. Sebuah kesempatan yang datang tak selalu. Semua bersuka ria sambil membagi cerita bertema senyum meski kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya dihati masing-masing. Dan kami semua memutuskan untuk merayakan Lebaran 1430 H ini dengan rintik senyum dan hangatnya pertalian darah…

Para anak berkumpul mengucap salam bagi orang tua yang kini tinggal tunggal. Sang menantu menata gerak guna ikut serta dampingi pasangan. Sedangkan puluhan cucu bersorak gembira oleh senyuman para orang dewasa. Semua serba hangat. Semua serba tertawa. Semua serba berbahagia. Semua serba ceria. Kata maaf sedang berhamburan lari dari hati dan lisan. Idul Fitri penuh haru…

Semoga kami dipertemukan kembali dengan masa seperti ini….
Semoga kami masih punya waktu rasai kenyamanan seperti ini…
Amin..

1:12

Wednesday, August 26, 2009

Vaska dan Radith


Mojokerto
26 Agustus 2009
Dengan nyala hati yang sedikit temaram oleh waktu…
Rabu malam…
9:59



Ini saatnya semua berakhir. Permainan hati ini sudah hampir menyentuh garis Finish. Sedangkan gemuruh tepukan semakin mengencang hingga aku sadar kalau sudah saatnya penentuan akhir. Penentuan mengenai siapa yang akhirnya keluar sebagai pemenang dalam permainan penjajalan hati ini…

Aku dan Radithya Javas Nararya…
Vaska Alteria dan lelaki itu…
Vaska Alteria dan Radithya Javas Nararya…
Va dan Radith…

Permainan sudah berlangsung beberapa lama. Terlalu banyak bahkan jika harus dihitung dengan satuan hari. Pun masih belum cukup sedikit jika dinyatakan dengan hitungan minggu. Bolehlah jika disebut beberapa bulan. Tak sampai menginjak satuan tahun. Tak terlalu lama memang, tapi intensitas sudah begitu meninggi hingga jika terus dilanjutkan akan menyebabkan kecanduan akut…

Vaska takut kecanduan…
Vaska tak mau kecanduan lelaki itu…
Vaska tak mau terlalu mengkiblat pada Radith…
Maka dia mendoa di bulan ini…
Benar memohon agar hatinya segera dijauhkan dari suara lelaki itu…
Dan tampaknya doa itu terkabul…

Ajaib. Karena tiba-tiba Radith merubah diri menjadi hampir tak dikenali Vaska. Tak dikenali juga tak disukai. Radith yang kini seakan menguapkan sisi kekaguman Vaska terhadapnya. Secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan apapun, Radith berubah seperti para lelaki biasa. Lalu Vaska kecewa. Dan perlahan sakit hati. Lalu dengan sukarela memutuskan untuk kehilangan dia selamanya…

Semua memang akan temui sebuah akhir…
Dan kini adalah kesegeraan akhir bagi mereka…

Vaska sedikit heran dengan semua yang ada. Dia merasa ada sesuatu yang dengan sengaja memisahkan dia dari kekaguman akan seorang Radith. Tapi dia tak tahu apa pastinya. Mungkin inilah keajaiban doa. Tak perlu ada logika. Tak perlu ada jalan visual. Jika Tuhan menjawab, maka tak ada yang tak mungkin…

Kini Vaska merasa lega….
Lega dengan keikhlasannya melepaskan diri dari Radith…
Lelaki yang dulu dikiranya “Terlambat Bertemu” dirinya…
Tapi ternyata dia sadar bahwa “Seharusnya Tak Bertemu”….
Yang ada hanya Vaska…
Tak ada lagi Radith…


10:24

Tuesday, August 25, 2009

Terlambat bertemu...



25 Agustus 2009
Pada sebuah Selasa di bulan Ramadhan
10:50



“Kalian terlambat bertemu!"

"Loh?"

"Iya. Jika kalian bertemu 3 atau 4 tahun yang lalu. Would it be the same? Would you be with him as you said he’s got 95 from you? Dan sekarang sudah sangat sulit, meski masih ada sedikit sekali kemungkinan karena jodoh hanya sebuah rahasia yang seringkali melewati jalan berbatu dan berbelok. Dan sekarang, dengan apa yang sudah kamu punya, apa yang kau rasa tentangnya? Tak ada rasa sedikitpun? Atau kamu berusaha melebur rasa yang ada?”


Di sebuah siang yang begitu terik, Lila mengetik barisan kata-kata itu. Melalui Yahoo Messenger. Tak terlalu kaget aku membacanya karena kenyataanya aku duluan yang menyadarinya. Beberapa entah yang lalu, aku menyadari kemungkinan itu. Kemungkinan bahwa bisa jadi aku dan Radithya terlambat bertemu. Bahkan aku pernah juga mengandaikan aku tak berada di posisi ‘pasti tak bisa memilih lagi’ seperti ini. Dan aku membayangkan apa yang akan kulakukan. Apa aku akan segera menahannya agar selamanya bersamaku? Sepertinya iya. Tapi sayang hal itu hanya sebuah pengandaian yang begitu lintas waktu.

Kunamai ‘dia’ Radithya Javas Nararya.

“Jangan mikir aneh-aneh…”

“Aku heran saja pada kalian berdua. Kenapa begitu sama. Jangan-jangan dialah sebenarnya jodohmu dan kamulah sebenarnya jodohnya. Tapi karena kamu sudah bersama dengan yang lain, dia masih menunggu jodoh yang lain hingga sekarang. Dengan usia yang terlalu matang. Dan suatu kala dia bilang kalau mencari pendamping hidup yang sevisi.”

“Jodoh itu saling melengkapi makanya tak pernah sama. Kamu bilang bahwa aku dan dia sevisi, berarti kita bukan jodoh karena itu artinya kami tak bisa saling melengkapi. Karena kami sama.”


Lalu Lila berhenti mengetik sejenak. Karenanya aku lanjutkan…

“Bisa jadi demikian. Bahwa aku dan dia memang terlambat bertemu. Mungkin jika waktu tak masalah dan aku masih ‘bisa memilih’ maka aku pasti akan memilih bersamanya yang jelas-jelas telah dapati 95% kriteria dariku. Tapi aku tak yakin dan tak mau memastikan menghentikan rasa hanya padanya. Karena pada dasarnya aku tak begitu percaya yang dinama cinta dan pengabdian hati. Bagiku perasaan hanya bersifat sementara karenanya akan selalu terbarui dengan berbagai hal. Bisa jadi akan tertindas rasa-rasa baru untuk dia-dia yang lain. Well, yang jelas aku sudah pernah merasa ‘aku dan dia terlambat bertemu’ dan ‘he’s just to good to be true’ jadi yang kubisa hanya melanjutkan semua yang sudah berjalan selama ini. Melanjutkannya dengan rasa yang sama dan tanpa banyak berpengharapan.”

Lalu aku dan Lila berlanjut dengan baris-baris kata yang lain. Beberapa masih tentang aku dan Radithya Javas Nararya. Beberapa tentang rencana masa depannya. Lalu tiba-tiba kubilang…

“Be with him…He’s a good man. Make him yours.”

“Hahahaha….Aneh-aneh saja. Males banget karena dia kan ‘sisa’ darimu.”

“Sisa tapi kalau masih qualified, kenapa tidak? Lagipula dia sudah lolos tes. Dan hasilnya menakjubkan, hampir tak bercelah.”

“Well, masalahnya dia seorang SE…..”


Lalu kusimpulkan bahwa Lila sebenarnya suka pada Radithya. Setidaknya dia memperhitungkan Radithya juga meski ada tapi yang terbaca begitu tak berlogika karena hanya masalah SE...



11:13

Friday, July 31, 2009

Jika aku mati...




Mojokerto
31 Juli 2009
Jum’at terakhir bulan ini….
12:33



Badanku sedang tak mau kompromi hingga kemudian flu dan demam datang bertandang. Akibat kecapekan, mungkin. Lalu terbersit tentang kematian…

Kehidupan hanya persinggahan sementara. Kata orang, kehidupan adalah sebuah wahana penentuan akan berada dimana kita nantinya. Untuk memutuskan tempat sejati bagi kita. Akankan surga yang kenikmatannya takkan mampu terbayang oleh kita? Ataukah neraka yang bahkan bayangannyapun enggan kita bayangkan? Itulah sedikit hakekat kehidupan yang sanggup kudefinisi…

Lalu aku membayangkan bagaimana jika aku mati. Bukan surga dan neraka yang kubayangkan. Karena itu diluar jangkauanku. Bukan pula cara dan kapan aku mati. Karena itu akan membuatku malah tak nyaman jalani hidup. Aku membayangkan tentang reaksi orang- orang disekitar. Apa meraka akan menangis? Tangisan apa itu? Tangisan sedih, tangisan bahagia atau tangisan kelegaan karena akhirnya aku tak lama- lama menderita di dunia ini? Yang mana? Apa mereka akan merasa kehilangan? Sebesar apa kehilangan itu? Apa yang tak lagi mereka temui jika aku mati? Lalu berapa lama waktu yang meraka perlukan untuk kembali ke kehidupan normal mereka? Kehidupan yang tanpa ingatan bahwa aku sudah mati. Kehidupan yang telah tanpa aku. Aku benar ingin tahu semuanya. Tapi tak mungkin sekarang. Meski demikian, aku pun tak yakin akan ada kesempatan buat mengetahui semua jawaban itu. Karena aku harus mati dulu agar semua tanya itu bertemu muka dengan jawab. Lalu disaat aku mati, aku tak yakin masih punya bentuk pikiran seperti itu. Kemungkinan aku sudah sibuk dengan para malaikat…

Apa kamu akan bersedih jika aku mati?
Berapa lama sedihmu itu?


12:44
Semoga aku segera sembuh…
Amin…

Monday, July 27, 2009

Ketika rindu itu hadir...


@ Malang, 27 Juli 2009
Malang mulai dirundung hujan
Meskipun hari ini langit begitu cerah dengan sedikit semburat mendung
Hatiku juga secerah hari ini
Dengan sedikit rasa kantuk yang melanda

Dan seperti yang sudah-sudah
Begitupun hari ini
Aku hanya merindukan satu orang
Yang mungkin tak percaya aku sangat merindukan dia

Rindu dengan segala macam bentuk kerinduan
Apapun yang bisa dikategorikan rindu
Aku merindukannya

Tak pernah lelah kuungkap betapa aku menginginkan dia ada disini
Sekedar berbincang
Sambil memeluk

Seandainya aku begitu jahat
Seandainya aku begitu egois
Tak akan pernah kulepas dia untuk pergi 

Seandainya sanggup tangan ini menahannya untuk tidak pergi
Seandainya mampu aku merapatkan pelukan
Ingin kukatakan…’jangan pergi’
Tapi yang terucap….’kapan engkau kembali?’

Dan disini aku menunggu
Hanya sekedar agar aku bisa kembali memelukmu…

Thursday, July 23, 2009

Kita Memang Sayang Papa, tapi......

“Kita memang sayang sama papa
Tapi Allah lebih sayang sama papa
Karena papa ga dibiarkan terlalu lama menderita dengan sakitnya”


Itu yang diucapkan seseorang pada suatu malam lewat sms kepadaku

Aku tau…
ucapannya benar
tapi rasanya…
entahlah

aku memang ikhlas papaku pergi menghadap Sang Khalik
tapi dalam hati kecil, ada sebuah pernyataan
benarkah?
benarkan papaku sudah tak akan kembali lagi
kenapa aku masih juga mengharap papaku pulang
seolah papa sedang pergi tak jauh

pertanyaan itu selalu hinggap di hatiku
entahlah
ada rasa tak percaya

“kenapa orang yang baik selalu dipanggil duluan?”
komentar beberapa orang saat papaku meninggal
papaku memang orang baik…
sangat baik

teriring do’aku untuk papa…
aku hanya ingin bilang aku merindukan papaku
sangat…

Jangan pergi, Ratri


(Masih) Mojokerto
Tertanggal 23 Juli 2009
Di hari Kamis
12:20



Jangan pergi, Ratri…….

Kalimat itu akhirnya terlontar juga. Terpaksa keluar dari hatiku karena desakan rasa takut kehilangan. Meski aku tahu pasti tak ada guna mengatakannya. Karena lelakinya mengharapkan dia dan dia mencintai lelakinya dengan porsi sangat berlebih. Dia pasti akan berangkat. Dia pasti akan pergi. Dia pasti akan berpamitan padaku. Dan kita tak pernah tahu sampai kapan akan kembali terpisah terlalu jauh. Bahkan lelakinya itupun tak bisa beri jaminan sampai kapan akan membawa Ratri pergi….

Kali ini aku berkata tanpa rasa iri atau tertinggal darinya. Kali ini aku berkata dengan ketulusan. Dengan hati yang nyaman oleh kehadirannya. Sayang sekali rasanya jika akhirnya aku harus jauh darinya….

Sejak entah kapan aku mengganggap diriku adalah sahabat baginya. Aku menganggap kami adalah soulmate kembar sebagaimana lambang zodiak kami yang adalah Gemini. Aku merasa hati kamu begitu saling mengikat. Bisa jadi karena kami lahir di hari yang berurutan jadi punya ikatan batin yang cenderung cocok. Aku lahir ditanggal 26 Mei. Sedang dia lahir sehari setelahku…

Jalan hidup yang semakin berliku di usia yang semakin mendewasa membuatnya merasa sedikit kehilangan arah. Dia limbung seketika. Dia kehilangan keceriaan yang sudah lama mendarah dalam nafasnya. Dia kemudian berubah menjadi sedikit pemikir dan pendiam. Wajahnya berubah muram oleh keluh. Tangisnya kembali ada meski selalu tertahan di dadanya. Yang pasti Ratri sempat tak jadi Ratri yang delapan tahun lalu kukenal…

Lalu tiba- tiba…

Aku menemukan Ratri yang dulu. Ratri yang selalu menasehatiku "Jangan boros!". Ratri yang begitu mudah tertawa lepas. Ratri yang begitu gampang dibuat senang. Ratri yang begitu menikmati dirinya sendiri. Ratri yang berputar- putar dengan daster lebar yang dipinjamnya dariku. Ratri yang sedang lupa beban serta kelokan- kelokan hidupnya…

Aku menikmati dirinya kala jadi seperti dulu…

Namun…

Lelakinya sedang mengingininya. Lelakinya sedang mengharapkannya dekat. Dan diapun demikian. Meski dia sempat ragu untuk mendekat. Tapi nalurinya sebagai istri memperkuat keputusannya untuk lakukan yang lelakinya ingini….


Ratri akan segera tinggalkan Kediri…
Lalu berpeluh di ibukota…
Entah sampai kapan…
Maka tak lupa kuberkata…
Jangan pergi, Ratri…



Untuk sahabat yang semoga hatinya segera cerah kembali…
Cheers!!!
12:49

Thank You

sudah lama ingin ku katakan, namun kau belum juga kutemukan.

sudah sering kurenungkan, akan kulakukan, seandainya waktu mengijinkan.

kutempel gambar-tiada mu di seluruh dinding kamarku. untuk menepis resah jika terjaga tiap tengah malam. untuk menyungging senyumku jika hari terlalu tak bersahabat. dan yang jelas, untuk menemani hari-hari tak bertemanku. aku tahu, katamu, tidak akan ada yang abadi. termasuk betapa idealnya konsep hubungan absurd ini. biar saja, kataku, selama kita sama menikmatinya dalam batas ketiadaan masing-masing. tidak ada kamu-yang sebenarnya di sampingku. juga tidak ada sekepingpun aku di sisi fisikmu. namun tetaplah yakin, ada kita berdua di tiap detik-detik melelahkan hari-hari mu dan ku. di udara, di air yang mengguyur, di tiap hawa sendiri pagi, sore dan malam hari. kau, inspirasi maha dahsyatku.

aku tak kan keberatan pulang cepat untuk merasa ada kamu yang menungguku duduk ngobrol dan minum teh. aku tak kan keberatan bangun pagi untuk memenangkan taruhan siapa yang kan lebih dulu memberi ciuman selamat pagi. aku tak kan keberatan bercerita tanpa rahasia denganmu, dengan segenap kesadaranku akan tiadamu yang selalu. akan kulakukan semua yang dilakukan pasangan pemenang penghargaan “CInta seJati”. betapapun aku dan kau tahu, itu hanya segumpal lelucon yang akan selalu mencair dalam tawa-tawa kita.

jangan merasa lelah untuk menemukanku. aku tahu jalan itu berliku, kadang berpintu mati, berdinding-dinding putus asa, bergambar ilusi-ilusi yang tampak jelas tak masuk akal. dengarlah, intuisi bukan hal rasional. jangan pedulikan kata logikamu. teruslah ikuti hatimu, menujuku, suatu saat nanti. pelukku, selalu menunggu haribaanmu. dan menunggumu, adalah proses kreatif yang menyalurkan banyak energi ganjil yang meletup-letup hikmat dalam tiap atom lokus otak. menjadi tawa lucu, menjadi merah tersipu, menjadi derai-derai air mata kelelahan.

seandainya kau tahu, semua petuahmu tlah tersampaikan oleh udara. semua pesan “bertahanlah”mu kepadaku telah selalu terngiang jika aku kembali menatap nanar pada ketiadaan tak berujung ini. pada ketiadaan kita yang selalu akrab, yang belum usang. adakah jika waktu telah menggeliat dan menampakkan diri kita masing-masing, aku akan merasa ini justru asing? seperti kita tak pernah saling kenal dalam kejauhan dan ketiadaan. lucu juga, mengapa aku harus menafsirkan adamu jauh dariku, sedangkan aku belum juga tahu dimana kau sesungguhnya. mungkin saja engkau terlalu dekat untuk diucap, hanya saja sedang tersekat tabir ‘belum waktunya’.

well, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. untuk waktu yang terlewat dan tersisa dalam mencarimu. mencari senyummu yang aku yakin pasti ku kenal pada temu kita. kau yang perkasa, karena tak jera pada waktu. kau yang tak terkalahkan berbagai dilema. kau yang digdaya jika selalu percaya pada adaku, ilusi terbesar dalam hidupmu.

bagiku, kau abadi. karena tersimpan rapat dalam harapan. terkunci mati dalam pikiran. kau tercipta dari doa orang-orang sepertiku, yang merasa tak punya pilihan selain menjalani hari dan berharap Tuhan masih menyisakan belas kasihan untuk mencipta seorang malaikat berdarah dan berdaging, yang akan mendampingi riang keluh kesahmu. selalu.

Wednesday, July 22, 2009

LeLakI iTu PerGi..

4 Januari 2009 pukul 13.20

“Keluarga bapak Bambang Sih”
Terdengar panggilan dari ruang 26 hanya berselang beberapa saat 
dari wanita yang menjadi ibuku keluar ruangan.
Deg. Aku tersentak, jantungku berhenti sesaat.
Wanita yang menjadi ibuku bergegas masuk kembali ke ruang 26.
Aku mengekor dibelakangnya, masuk kedalam ruangan steril.

Langkahku terhenti saat melihat pemandangan didepanku.
Sosok yang selama ini kukenal sebagai ayahku sedang ditekan dadanya oleh seorang lelaki berbaju putih.
Aku berlari menghampiri. Menyusul mama yang sudah ada didekat papa. 

“Pakai baju hijau”, kata mama menyebut baju steril yang menjadi pakaian wajib untuk masuk ruang isolasi.

Aku berlari lagi ke arah pintu masuk mencari baju hijau yang biasanya tergantung di depan. Aku minta pada seorang lelaki, tapi dia menggelang sambil bilang tidak ada lagi.

“Sudah mbak…ga papa ga pake baju hijau”, kata seorang tetangga yang ternyata ikut masuk. Ruang isolasi yang biasanya hanya boleh masuk satu per satu, siang itu menjadi penuh sesak.

Aku berlari lagi ketempat papaku.
Masih sama dengan kondisi saat aku masuk. Diberi bantuan oleh beberapa orang.
Seorang wanita yang kusebut nenek menangis didekat mama.

Air mataku mengalir saat melihat alat yang ditelakkan di samping tempat tidur papaku.
Alat pengukur detak jantung itu terpampang angka 0.
Mereka terus berusaha mencari tanda kehidupan dari lelaki yang kukenal sangat bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Aku menangis dipelukan mama.

Hingga….
“Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi tolong diikhlaskan, bapak telah meninggal dunia”, seorang wanita mengatakan itu pada kami. Seolah dialah sang pencabut nyawa.

Hancur…
Remuk…
Redam…
Aku terluka…

Aku tak sanggup lagi menopang tubuhku…
Aku tak sadarkan diri…

“Mbak jangan begini…harus ikhlas…dokter juga sudah berusaha keras. Tapi memang Allah menghendaki ini terjadi”, ucapnya lagi diantara kesadaranku yang menghilang.
Berkali-kali mereka katakan itu sambil menepuk pipiku, mencoba mengembalikan kesadaranku.


Kosong….
Hampa….
Ada sesuatu yang terenggut begitu saja
Sesak rasa dada ini..

Tak sanggup kusebut nama papa
Aku hanya menangis
Dan berkali-kali tak sadarkan diri

Aku marah..
Kecewa..
Menyesal..
Pada diriku sendiri..

Lelaki itu pergi…
Tanpa pesan
Tanpa amanat
Hanya pergi
Berpulang ke Rahmatullah

2 bulan yang lalu..
Saat papaku keluar dari ruang 26
Papa dalam kondisi sadar
Dan tersenyum saat aku mengenalkan seseorang

Tapi kini…
2 bulan kemudian..
Papaku keluar dengan mata tertutup
Tak akan pernah tersenyum lagi

Aku bisa apa?
Hatiku seperti tercabik
Terkejut
Terpana

Aku bahkan belum bisa membahagiakan papa
Aku bahkan belum meminta maaf

Lelaki paling baik didunia
Lelaki paling sabar yang kukenal
Lelaki yang tak pernah mengeluh akan sakitnya
Lelaki yang tak pernah pandang bulu mengenal orang
Lelaki yang tak pernah marah padaku
Papaku…

Seandainya waktu bisa diputar kembali
Seandinya ada mesin waktu
Ingin aku kembali saat papaku masih hidup
Akan kubahagiakan papaku…

Tapi ini jalanku
Aku harus bisa bertahan
Agar papa bisa tenang
Agar papa bisa tersenyum

Lelaki yang kupanggil papa…
Aku minta maaf belum bisa bahagiakan papa
Aku minta maaf selalu kecewakan papa
Aku minta maaf karena merasa jengkel pada saat terakhir papa
Aku minta maaf….

Terima kasihku…
Telah menjadi orang yang sangat mencintaiku
Telah menjadi ayah bagi kami
Telah menjadi orang yang paling bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga
Telah menjadi panutan kami

Aku akan merindukan papa
Rindu saat papa memanggilku ‘Qhiemholl’
Nama yang aku tak tau kenapa selalu papa pakai untuk memanggilku
Rindu saat papa membuka pintu kamarku dan melongokkan kepala
Rindu saat aku mencium tangannya ketika akan pergi
Rindu dengan segala macam kebiasaannya
Aku rindu…

Doaku…
Semoga semua kesalahan papa dimaafkan
Semoga semua amal ibadah papa diterima Allah
Semoga papa bisa tenang di dunia yang abadi

Aku sayang papa
Dan akan selalu begitu
Tanpa pernah bisa terganti oleh apapun
Oleh siapapun… 

Aku sangat kehilangan

Miss you and love you much…

Selamat jalan…
Papa….

Main Hati


Mojokerto
22 Juli 2009
Di sebuah Rabu pagi dengan udara dingin yang sesekali menyelinap ari…
7:29


Permainan memang membawa efek “senang”. Apapun jenis permainannya, pasti akan meninggalkan jejak langkah sang senang di hati. Bahkan tak jarang para pemain hebat akan membuat lawan mainnya terperangkap dalam sebuah candu. Terperangkap dan tak mau lepas meski logikanya jelas- jelas mengatakan bahwa permainan itu berbahaya dan hanyalah sebuah kebohongan belaka. Tapi, toh, kenikmatan yang dirasai berhasil mengaburkan suara logika. Alhasil, para pemain akan menikmati setiap jentik waktu dan tak lagi mengharapkan sebuah kebenaran. Karena semua yang ada sudah terlanjur membahagiakan…

Permainan hati…

Masih ingatkah anda dengan nama Belva Purnama? Perempuan berusia seperempat abad yang selalu mengganggap bahwa logikanya seberbahaya air hujan yang mampu mengkorosi besi. Yang hatinya sekuat liat dan mampu berubah bentuk pun warna dengan cepat. Perempuan dewasa yang oleh karenanya selalu menjajal hati dengan para lelaki. Dia tak pernah berjanji akan setia pada satu lelaki. Dia juga tak pernah mengganggap dirinya berselingkuh karena motifnya hanya pada penjajalan hati. Dia tak pernah memasukkan satu lelakipun di hatinya. Karena dia tak mau berhenti menjajal hati. Karena hatinya hanya gumpalan perasaan liat…

Berkali- kali dia bermain hati. Berkali- kali pula dia menang setelah puas bersenang- senang meski tetap berada di zona tenang…

Permainan hatinya dengan Omar masih berlanjut hingga sekarang meski mereka berdua sudah saling mengakui segala kebohongan. Meski dia telah secara perkasa mengakui bahwa dirinya tak lagi sendiri. Lalu Omar menjadi tak habis pikir. Meski Omar tahu kalau banyak sekali kebohongan diantara mereka, tapi dia tak pernah menyangka Belva berbohong sejauh itu. Belva pun tahu benar bahwa Omar tak selalu berkata jujur. Namun mereka berdua saling menikmati kebohongan itu. Mereka berdua sama- sama saling menikmati permainan hati ini. Tanpa arah pasti. Namun menjanjikan kejutan atas kebohongan selanjutnya. Dan itulah sisi candunya…

Sampai akhirnya…

Mereka berjanji untuk berteman di dunia nyata. Tanpa kebohongan yang artinya tanpa candu…

Kini mereka sedang merangkai pola permainan hati lainnya. Omar dengan perempuan lain. Dan Belva dengan lelaki lain. Saling mencari candu meski masih saling terhubung dalam sebuah janji. Janji untuk berteman di dunia nyata…

Oh..betapa permainan membawa candu…
Betapa kebohongan hanya laksana sebuah keharusan…
Betapa logika sempurna terselimuti saat hati mendominasi…
Dan, Belva akan terus menjajal hati…
Tak pernah berhenti…




Sekian
Terimakasih
8:10

Sunday, July 19, 2009

Happy go lucky


Mojokerto
19 Juli 2009
Sebuah Minggu siang…
12:49


Lelaki itu akhirnya melabuhkan nyawanya pada ketenangan. Sejenak menaruh kesadaran. Beristirahat dalam katupan mata. Begitu tentram dalam lelap. Pulas dan senyap tanpa senada dengkurpun. Tubuhnya terlihat begitu nyaman…

Tak demikian dengan jiwanya. Hatinya sedang sedikit teriris oleh sakit. Oleh kegagalannya menikmati hati bersama wanitanya. Oleh tuduhan wanitanya yang begitu semena- mena. Yang kemudian berhasil disanggahnya dengan bukti tak terbantahkan. Namun, wanita itu begitu kerasa hati. Tak mau sedikitpun perduli pada pembuktian apapun. Wanita itu sudah terlanjur mengerak dalam rasa jengkel. Dan memutuskan untuk tidak memenuhi ajakan lelaki itu untuk melayari hari bersama…

Kasihan sekali lelaki itu…

Lalu dia mengambil sebulat Oskadon yang hanya tinggal satu- satunya di meja balkon kamar si wanita. Obat itu juga adalah sisa dari si wanita. Dia tak perduli. Mungkin aliran kemarahan yang tersumbat membuat isi kepalanya kontraksi. Dia pasti merasa begitu tak nyaman. Diminumnya Oskadon satu- satunya itu. Lalu dia melangkah menuju tempat tidur berbalut sprei hijau itu. Yang juga properti si wanita…

Sedang wanitanya sedang berusaha keras menguapkan rasa bersalahnya pada lelaki pula situ. Sebenarnya dia tak tega menyakiti. Tapi egonya terlanjur luka. Dan dia tak lagi mau perduli perasaan siapapun. Tapi wanita itu sebenar- benarnya begitu tersiksa. Tersiksa oleh egonya sendiri. Tersiksa oleh ketidakperduliannya sendiri. Tersiksa oleh ketegaanya sendiri. Tapi dia diam saja. Dia membiarkan egonya berkuasa. Dan dia biarkan lelaki itu meringkuk pulas. Sedangkan dia disini. Sedang merangkai kata demi melucuti rasa bersalahnya pada lelaki itu…

Lalu…

Wanita itu memutuskan untuk memperbaiki keadaan. Memperbaiki perasaannya, juga perasaan lelaki itu. Dia memutuskan untuk tidak menyia- nyiakan hari Minggunya dengan bersenggama bersama rasa bersalah. Dia mau selalu menikmati hidup. Dia mau jadi Happy Go Lucky!!!!!!


13:09

Friday, July 17, 2009

Message in the bottle


Manusia oh manusia. Begitu kompleks dengan semua keunikannya. Mimpi- mimpi yang kemudian berbenturan dengan realita membuat mereka kemudian mengutuki kehidupannya dan membuat beberapa daftar tindakan yang disesali lengkap dengan beberapa tindakan yang tidak sempat dilakukannya hingga kini muntahkan penyesalan. Lalu keserakahan membuatnya merasa terus harus mendongak keatas dan merasa tertinggal dari lainnya…

Baris pertama…

Hingga siang ini, dia sudah menerima dua pesan singkat via handphone dari dua kawan karibnya. Keduanya mengusung pertanyaan yang sama, “Ada apa denganmu? Kenapa begitu marah? Kenapa kamu merasa gundah lagi?”….

Beberapa deret pertanyaan tekstual yang begitu susah dicari jawaban tepatnya. Pertama, karena dia merasa jawaban yang nanti diberikannya akan terasa begitu “seperti biasa”. Kedua, karena dia merasa tak ada siapapun yang mampu membuatnya merasa tenang dan lebih mensyukuri hidupnya. Ketiga, karena dia tak mau ditentramkan hatinya. Baginya semua memang harus berlaku seperti itu. Bahwa dia memang harus berada pada silangan hidupnya sekarang. Selanjutnya, karena dia tak tega membagi derita dengan kedua karibnya yang mungkin berada pada tingkat syukur lebih tinggi darinya. Dia tak mau diceramahi tentang bagaimana caranya mensyukuri kehidupannya. Karena dia merasa sudah cukup bersyukur meski seringkali tak mampu hadang luapan kegelisahan hidup…

Dan dia memutuskan untuk membalas pesan pendek itu dengan cara singkat pula. Bahkan sama sekali tak menjawab pertanyaan- pertanyaan karibnya itu…
“Well, perasaan memang begitu rapuh hingga mudah berubah rasa. I’m just fine here…”

Hhhuuuhhh…

Sebenarnya dia hanya merasa enggan beranjak dari masa nyamannya. Dia enggan kembali menjalani rutinitasnya yang sedikit mengganggu bathinnya. Dengan kesehariannya yang begitu sendiri….

Dan…

Pada dasarnya dia takut tak lagi mampu bersenang- senang dengan caranya sendiri. Dia khawatir kehabisan ide untuk membahagiakan dirinya sendiri. Dia cemas kalau- kalau suatu saat nanti dia memerlukan orang lain untuk dapati kebahagiaan. Dia hanya mau bahagia dengan caranya sendiri dan dengan dirinya sendiri. Karena dia yakin bahwa hanya dengan diri sendirilah manusia akan menghabiskan waktu terbanyakknya. Maka, tentu saja, dia tak mau mengandalkan kehadiran orang lain untuk bahagia. Karena jika benar demikian maka dia akan lebih sering bersedih. Karena dia yakin dia akan lebih sering sendiri…

Hatinya telah mengatup pada semua bentuk kebersamaan. Jika agamanya mengijinkan manusia terus sendiri maka bisa dipastikan dia akan terus sendiri. Takkan sekalipun menikah…


Tertanda


(Tanda tangan)
26 Mei 1999

NB: Gulung kembali kertas ini lalu biarkan ombak membawanya pada para pembaca berikutnya. Terimakasih telah membaca jiwaku…


Maka dengan hati- hati kugulung kertas putih tulang itu. Kumasukkan kembali dalam botol minuman plastik. Kulempar sejauh tenaga. Agar buih laut membawanya menuju pembacanya yang lain….

Aku hanya bisa merasa sedih untukknya. Dan lega untukku sendiri. Karena bukan hanya aku yang merasainya. Dia juga merasakan yang sama. Bisa jadi aku adalah reinkarnasinya…

Aku masih bersama lelakiku disini. Berdiri di pinggiran pantai sambil nikmati senggamaan ombak kecil. Damai begitu mendominasi meski siang terlanjur begitu keparat…

Lalu…

Kuhirup udara pantai ini dalam- dalam. Segar meski panas tak mau mengalah oleh angin yang begitu setia temani buih. Kugenggam tangan kirinya lalu kembali kukayuh kaki bersama lelakiku. Di pinggiran pantai siang ini…


17 Juli 2009
Di sebuah Jum'at


13:21

Janji Omar!!!

Mojokerto
16 Juli 2009
Di hampir pergantian nama hari…
Namun sekarang masih bersebutan Kamis
23:46


Sekali lagi aku harus merasa kecewa oleh sebuah janji. Janji yang terluncur entah secara sengaja atau tak sengaja dari mulut sebuah nama. Janji yang kupercaya sebagai sebuah deretan kata tanpa harus dipercaya. Janji yang selalu kuyakini takkan pernah ditepati. Namun aku terlanjur masuk dalam jeruji kata “janji” yang bagiku adalah sebuah entah yang perlu dijaga. Sebuah entah yang harus selalu diusahakan kehadirannya,. Sebuah entah yang harusnya tidak meleset. Sebuah entah yang jika tidak dipenuhi akan berakibat perubahan hati seseorang. Sebuah entah yang akan dengan mudahnya mengekalkan rasa kecewa dalam jiwa terdalam seseorang.

Dan malam ini aku merasa kembali tertipu. Terbodohi oleh seorang mainanku….

Aku yang telah dengan rela menantinya untuk penuhi janji. Aku yang dengan sabar meyakini bahwa kali ini dia akan menjadi lelaki sejati yang akan selalu tepati janji. Aku yang masih enggan beranjak meski waktu yang telah dijanjikan telah jauh meleset. Aku masih ada dengan serumpun harapan. Lalu kini aku kecewa. Karena ternyata kata- kata yang kunamakan janji itu baginya hanya sederet kata yang bisa diingkari dengan mudahnya. Hanya sederet kata yang jika meleset dilakukan akan teratasi dengan “maaf” atau “I’m sorry”….

Shit!!!!


Aku benar kecewa kembali. Meski jika ditanya lebih dalam mengapa aku kecewa, aku hanya bisa menjawab : ”Karena dia tak penuhi janjinya”. Lalu saat pertanyaan dilanjutkan: “Apa yang kamu harapkan dari penepatan janjinya?” Maka aku hanya bisa menjawab: “Tak ada. Tak ada yang kuharapkan”. Hanya saja aku merasa masih berminat menjadikannya sebagai permainan hati. Aku mau dia juga sakit hati sama sepertiku…


Omar, belajarlah menghargai janji…
Jangan main- main denganku karena kamulah sebenarnya permainanku!!!!!

Monday, July 6, 2009

Mari kita berteman di dunia nyata...

Kediri
Pada sebuah pagi yang masih begitu dini
Tertanggal 6 Juli 2009
02:44



Berdasarkan konvensi hari ini sudah berhak dipanggil Senin. Meski masih berbentuk jabang bayi. Hampir semua nyawa nyata telah terlelap dalam keping- keping mimpi. Lalu yang tertinggal hanya keheningan….

Tapi wanita muda itu masih terjaga. Nyawanya masih begitu utuh. Dan rasanya masih benar peka. Lalu kembali dia dapati pecahan masa lalu yang sempat menolak untuk dia temukan. Bongkahan maya yang kemudian muncul sebagai suara. Kembali seperti semula karena benarnya dia dan lelaki maya itu tak pernah sekalipun bersentuhan nyata. Hanya terbentuk dari deretan rapi kalimat klise yang sulit diterka maknanya hingga wanita itu tak pernah benar paham sisi benar lelaki mayanya itu. Setelah sekian masa dia menguap tanpa berpamit, malam ini lelaki itu menggores kembali bayangan suaranya. Kembali menjadi setengah nyata namun tetap maya…

Lelaki itu adalah Omar Randu…
Wanita muda itu adalah Belva Purnama…
Namun tak jarang dia mengubah diri menjadi Vaska Alteria…

Omar Randu dulu ada sebagai maya…
Lalu dia menguap bagai asap tertelan pekat…
Tanpa pamit juga lambaian…

Sedangkan…

Belva merasa mempunyai beberapa ikat rasa kehilangan atas kepergiaan Omar…
Entah karena apa…
Bisa jadi karena kenyamanan yang dulu sempat menyubur dihatinya…
Kenyamanan yang tak pernah jelas ada karena apa…
Yang jelas kenyamanan itulah yang lalu memaksanya mengalih diri menjadi nyawa lain…
Menjadi bentuk hidup lain…
Menjadi Vaska…
Belva Purnama menjadi Vaska Alteria…

Karena…
Satu, tak ingin melepaskan kenyamanan oleh adanya seorang Omar…
Dua, tak mau merasa bersalah karena mengingkari kebenarannya…
Singkatnya, Belva mau tetap menjadi setia lalu beralih menjadi Vaska untuk nikmati kenyaman bersama Omar…

Kini Omar yang dulu sengaja lebih menyamarkan diri tiba- tiba kembali dan menemukannya, dia gamang. Danau harapannya atas Omar telah banyak yang merembes terserap tanah. Hilang meski masih sedikit tersisa. Namun tak seberkah dulu. Karena Belva merasa tak mungkin kembali bersapa maya dengan Omarnya. Dan perlahan, dia melepaskan diri dari Vaska. Saat Omar lalu menyentuh dengarkan suara mayanya, wanita itu tak tahu pasti akan berperan sebagai apa dia malam tadi. Tetap sebagai Vaska kah? Atau Belva?

Belva dan Vaska muncul secara bersamaan. Mereka merasa sedikit bahagia. Sedikit biasa…

Lalu…

Belva dan Vaska berbincang dengan Omar. Perbincangan itu terasa begitu memotong masa. Pengakuan demi pengakuan lalu lancar terurai. Tak lagi layaknya benang teruntai. Pengakuan- pengakuan yang terasa begitu seharusnya…

Belva kemudian memutuskan untuk meleburkan Vaska. Dia memutuskan untuk tetap menjadi Belva. Karena dia lelah terus beralih. Dia juga sudah begitu jengah dengan lelehan rasa bersalah. Bersalah kepada Omar Randu. Bersalah pada seseorang yang telah begitu baik menyamankannya…

Omar kini bersentuhan dengan Belva. Bukan dengan Vaska. Lalu berjanji: Mari kita berteman di dunia nyata…

Maka…
Wanita itu pamit setelah menuangkan semua yang enggan begitu saja dia lupakan…


03:33

Friday, July 3, 2009

Hatiku menangis begitu deras…


Mojokerto
3 Juli 2009
Jum’at yang terasa bagai Kamis
15:02


Gerah kembali mengepungku dalam lelehan peluh. Sendiri menghibur diri. Menganggap semua yang sedang ada diluar sana memang tak benar- benar pantas untuk kunikmati. Sejatinya aku sedang menyekap diri dalam bilik hidup yang sendiri ini. Sedikit enggan ikut serta berteriak di hiruk pikuk alam. Karena khawatir akan kembali teserat oleh angin rasa bersalah dan debu ketertinggalan. Aku hanya sedang berusaha meredam semua rasa yang sebenarnya ada sebagai nyata. Karena aku masih saja tak mampu berbuat banyak untuk mengubah apapun. Maka aku hanya mencari pembenaran sambil minggir dari lalu lalang kolega agar tak tertabrak lalu sakit dan miris lagi…

Berita bahagia itu benar- benar membuatku semakin jatuh dalam kemirisan. Sekali lagi aku tertinggal oleh lainnya. Sedih lalu begitu mendominasi. Maaf, kawan. Maaf karena aku tak bisa secara ikhlas berbahagia atas bahagiamu. Maaf karena bagaimanapun akulah yang tertinggal. Perjuangan dan doamu yang tanpa henti telah mengangkatmu kembali pada posisi yang benar. Aku tahu ini hanya akan menunggu waktu. Aku tahu meski berusaha terus menutupi ketahuannku ini…

Maafkan aku, Adri…

Aku harus tetap kuat. Berjalan lagi. Meski kini sambil cecerkan beberapa air mata iri. Karena akulah yang ditinggalkan. Lalu aku harus apa? Perjuanganku tak pernah keras. Doaku juga seringkali terputus. Lalu apa yang bisa kuharapkan? Tak ada…

Seandainya hidup bisa diulang kembali maka aku akan kembali menata hidup. Menata arah. Memperbaiki sekatan hati. Memperkuat niat dan jiwa juang. Lalu aku akan mendapati yang jauh lebih berharga dari hanya ini…

Maaf jika aku kembali menangis sedih atas bahagia orang lain. Maaf karena aku terlalu lemah dan hanya bisa berperan sebagai penunggu saja. Aku tak pernah punya keberanian untuk memperjuangakan bahagiaku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk bisa hidup bahagia. Dan aku terlalu jahat karena mengharap semua akan merasa sama sepertiku. Aku terlalu manja untuk takut berada di sekat hidup ini sendirian…karena nyatanya aku mau selalu ditemani…

Ya Allah…pertanda apalagi ini? Apa ini pengingat untukku? Apa ini yang Kau harapkan menjadi penguatku dalam berjuang? Apa ini adalah pertanda dariMu kalau aku seringkali menolak mendekatiMu? Masya Allah….

Semoga hatiku akan segera merasa nyaman kembali. Nyaman pada titik yang memang menyamankan. Semoga aku segera dipertemukan dengan kesadaran tentang hakekat perjuangan hidup dan ditempatkan pada posisi terbaik untukku. Amin…



Hatiku menangis begitu deras…
15:19

Thursday, May 28, 2009

Senyum manis Asunaro...

Mojokerto
28 Mei 2009
Kamis ini terasa begitu segar…
18:09



“Ai, aku baru saja ditrima di prsh exim go publik di Sidoarjo, staf QC. Outsource juga” NAEN

Pesan pendek itu baru saja terbaca saat waktu sudah begitu dekat dengan Maghrib. Dan aku menyempatkan beberapa detik waktuku untuk membaca lalu turut berbahagia atas berita gembira itu. Perjuangan memang tak akan pernah sia- sia. Pasti akan ada hasilnya meski tak banyak yang mampu merasakan hasil perjuangannya itu. Akhirnya secara perlahan senyum kembali terundang dalam rumah sederhana keluarga Asunaro ini. Rumah mungil penuh arti yang terbangun di bulan April 2005 di Malang. Rumah yang setahun belakangan ini terlihat muram karena kami sedang sama- sama tertunduk kelu oleh kecewa…

“Alhamdulillah. Selamat ya, Naen. Kapan mulai kerja? Semoga ini akan jadi jalan penerang bagi kita semua. Bagi para Asunaro yang lain. Amin Amin Amin. Semangat!!!!”

Pesan itu kutulis untuk segera kukirim kepada Naen yang mungkin sedang menunggu reaksi gembiraku. Aku benar mensyukuri waktu yang telah begitu baik berikan kami sempat untuk kembali tersenyum manis. Setelah beberapa masa kami menangis dalam hati. Setelah beberapa masa juga kami mengubur diri dari luasnya dunia luar. Setelah beberapa masa kami mendoa untuk segera datangnya masa bahagia ini. Kata “Amin” tak cukup hanya terucap dan tertulis sekali saja. Karena, sungguh, aku begitu mengamini. Aku sungguh bersyukur…

Awalnya aku sudah menemui terangku sendiri dengan memutuskan untuk berkompromi dengan perubahan. Saat aku memutuskan untuk melebur kekerasan hati dan mengalir bersama semua kesempatan yang ditawarkan padaku. Dan aku memutuskan untuk menghindari kata “Tidak” atas semua penawaran. Lalu aku jalani semua dengan tanpa rasa. Hanya sebagai bagian dari kewajiban orang dewasa yang harus bekerja dan mendapati Rupiah. Itu saja. Lalu kurasakan kedamaian hati yang tak pernah kukira sebelumnya. Dan kini aku mulai merasakan keindahan dunia. Rasa dan bathinku sudah lepas dari pasungan rasa bersalah. Hatiku sudah kembali sejuk dan nyaman. Dan aku tak pernah berhenti mendoa agar Tuhan tak melepasku dari rasa ini. Aku memohon benar agar bisa selamanya bersahabat akrab dengan perubahan. Aku bermunajat padaNya karena hanya Dia yang bisa menjaga hati dan rasaku…

Lalu…

Sore tadi berita itu terbaca melalui layar handphone. Naen sudah menemukan jalan terangnya. Dia sudah kembali menyangga tegak kepalanya dan hadapi gempita dunia luar. Tentu saja, dengan senyuman. Dan aku kembali bersyukur. Benar bersyukur secara verbal, pun dalam hati meng-amin-i…

Aku dan Naen sedang merasakan sejuknya dunia….

Dan…

Aku yakin Ratri dan Adri juga sedang merasakan kesejukan yang secara bersama- sama aku dan Naen kirimkan sebagai angin. Tapi aku tak tahu pasti…

“Selamat Ulang Tahun ke 26. Semoga panjang umur dan mendapati semua yang terbaik. Semoga diberikan kesabaran dan kemudahan oleh Allah SWT. Dan amin atas semua doa- doamu…”

Ucapan ulang tahun itu teruntuk Ratri yang dua puluh tujuh Mei kemarin tepat menapaki gerbang dua puluh enam tahunnya. Kukirimkan melalui offline message Yahoo Messanger yang ternyata tak terbaca olehnya. Tapi aku yang tak pernah yakin benar dengan keakuratan teknologi telah menyiapakan kata- kata serupa yang kuketik menjelang pergantian hari dan kukirim saat hari masih begitu dini. Melalui bentuk teknologi lain, handphone. Untuk satu alasan yaitu aku tak mau menjadi yang pertama. Karena kini yang pertama haruslah Adri. Dan aku bisa memperkirakan betapa kecewanya Ratri jika akulah yang mendahui lelaki sepanjang masanya itu. Rasa kecewa yang tak bisa terdefinisi. Maka, baiklah, aku mengalah pada status. Dan aku mulai membayangkan kesejukan hati Ratri. Kesejukan hati seorang istri yang didampingi suami di saat- saat seperti ini…

Semilir doa…
Kecupan manis…
Kejutan kecil nan romantis…
Tatapan mata penuh cinta…

Hati Ratri yang dulu hanya menguncup kini pasti sedang bermekaran…
Karena Adri yang tak pernah henti membagi semilir cinta untuknya…
Ratri pasti sedang bernafas nyaman…
Karena lelakinya itu lupa berhenti bersyukur atas adanya…

Dan…

Ratri dan Adri pasti sedang terus memekarkan kuncup- kuncup senyum bahagia. Dimulai beberapa detik sebelum hari berganti nama dan tanggal berganti hitungan. Sederet doa dan ucapan semoga yang masih erat tertutup hati Adri sudah tak sabar ingin bertemu dengar dengan Ratri. Lalu datanglah masa yang dinanti. Saat Adri menjadi manusia pertama yang bersyukur atas kehadiran wanita sepanjang masanya itu. Saat dialah yang merasa paling beruntung atas adanya dua puluh tujuh Mei. Lalu kata- kata Adri pasti akan terdengar jauh lebih merdu dan syahdu dibanding apapun di dunia ini. Karena hatilah yang sedang berkata- kata. Karena cintalah yang sedang merapati hati. Kebersamaan yang betapa indah…

Jika aku boleh menerka, Ratri pasti kemudian mendoa lirih dalam hati bahagianya. Mendoa agar waktu sedikit lambat merambat. Agar dia bisa lebih lama rasai semua yang tersaji indah oleh lelakinya itu. Agar dia bisa terus nikmati tatapan mata yang begitu penuh oleh rasa syukur itu. Rasa syukur oleh hadirnya. Semua akan terasa dan dirasa jauh lebih indah. Karena hari itu tertanggal dua puluh tujuh Mei…

Dua puluh tujuh Mei pertama Ratri bersama Adri sebagai belahan jiwa sejati…

Asunaro memang sedang tersenyum manis…

Naen bahagia dengan keberhasilannya mendapati apa yang lama dia cari. Aku yang sudah lebih dulu bahagia oleh kompromiku dengan perubahan. Ratri yang begitu bahagia oleh luapan rasa syukur lelakinya. Dan Adri yang berlimpah bahagia sambil terus mendoa dan bersemoga untuk wanita tercintanya. Lalu, apalagi yang masih harus dicari kini? Sementara tak ada lagi. Karena kami sudah begitu sempurna dengan senyum kami masing- masing. Dan aku mendoa yang sama dengan Ratri. Mendoa agar waktu lambat merambat…

Selamat berbahagia, Naen…
Selamat tersenyum, Ratri…
Selamat berbahagia, Adri…
Dan selamat tersenyum untuk diriku…



19:16

Monday, May 25, 2009

Tautan hati...

Mojokerto
25 Mei 2009
Di sebuah Senin yang setia dan begitu mengabdi diri
19:37



Meski Smart enggan tersambung dan menyatu fungsi dengan laptop, hari ini terasa begitu setia. Rasa pengabdian begitu kuat mewarna hari. Apapun dilakukan untuk buktikan kecintaan. Bersama dengan tulus melayani. Tak ada beban terasa. Bahkan bahagia atas semua bentuk pengabdian itulah yang kemudian memperkuat ketegarannya hadapi semua yang tak mudah. Kali ini dia benar mengakui dirinya sebagai seorang istri yang seharusnya mengabdi pada suami. Dan menikmati pengabdian itu…

Meski kanvas kata ini tak mudah terjamah rasa manusia lain, tapi aku tak mau berhenti begini saja. Hanya aku yang bisa penuh memahami rasa ini. Yang lain tak mungkin bisa mengerti. Tapi aku mau terus mengukir kata untuknya. Untuk wanita yang besok akan mengganti usia itu. Untuk dia yang telah dengan tulus mengabdi diri dan hati pada lelaki pendampingnya itu. Untuk semua kesabaran yang dengan lancarnya dia alirkan untuk pendampingnya itu. Terus terang aku kagum padanya. Bukan karena apa yang telah dan sedang dia lakukan. Melainkan untuk perubahan besar yang telah dia lahirkan. Dia yang dulu begitu superior. Kini rela terimami oleh seorang lelaki. Aku salut untuknya. Untuknya yang ikhlas mengganti rasa atas nama pernikahan…

Baginya hari begitu jauh dari lelah. Letihpun seakan enggan mendekatinya. Meski tenaganya terbuang lebih banyak dari biasa, namun hatinya merasa begitu sejuk. Sejuk oleh pengabdian diri yang ternyata terasa laksana embun pagi. Yang ternyata mampu memberi terang pada lintasan jalan hidupnya. Yang juga ternyata bisa rapi melapisi ingatannya dari sengatan beban hidup yang sejak awal tahun ini dia keluhkan. Dia yang dulu enggan berjalan karena merasa tak punya arah kini merasa tak perlu lagi berjalan karena telah sampai pada sebuah tujuan hidup. Lalu dia berbahagia. Bahagia dengan pengabdian tulusnya. Dia tak punya pengharapan apapun selain tetap merasa mantap untuk menjadi istri yang baik bagi lelaki itu…

Besok dia berganti usia. Tak ada yang dia ingini lagi. Karena hatinya telah dapati apa yang dinanti. Karena hatinya telah tersirami bahagia. Karena dia telah mendapati sebuah kado paling istimewa dari lelakinya, yaitu kesempatan untuk mengabdi diri pada suami. Ternyata pengabdian itulah yang selama ini hilang dari nyawanya hingga dia merasa terseok selama beberapa masa. Dan kini dia tak lagi merasa perlu beranjak dari apapun. Semua telah terdapati…

Lelakinya itu telah begitu setiakan hati untuknya hingga kemudian dia merasa terpanggil untuk membalasnya dengan kebaikan jenis apapun. Dan kini dia melakukannya. Dan dia yakin bahwa lelakinya itu pasti begitu bersyukur akhirnya dapati seorang istri yang baik. Seorang istri yang seharusnya. Seorang istri yang adalah sebenar- benarnya istri. Bukan hanya seorang wanita yang hanya punya status menikah dengannya. Hati lelaki itu tersenyum manis nikmati semua yang ada. Lalu dia merasa begitu enggan tinggalkan wanita itu. Tapi bagaimanapun dia harus segera pergi. Tinggalkan wanita itu sendiri lagi. Mungkin kali ini hanya berteman dengan pengharapan untuk kembali mengabdikan diri untuknya. Lelaki itu benar harus segera menghapus hadirnya dari sisi wanita itu. Karena dia dan wanita itu hanya bisa bertaut hati. Tak mungkin bisa berharap lebih. Bukan karena tak mau. Melainkan karena pertautan hatilah yang paling hakiki. Hanya itulah yang terindah. Tak ada lain…

Dan…

Wanita itu mengharapnya tinggal lebih lama. Dengan alasan yang tak bisa terkata. Lalu dia hanya bisa mendoa agar lelakinya itu merasakan doanya. Agar mereka bisa bersama selamanya. Atau setidaknya sedikit lebih lama dari biasanya…

Hidup memberi mereka kesempatan untuk hanya memilih satu dari dua pilihan. Bertaut hati selamanya atau menyatu secara ragawi. Lelakinya memilih yang pertama. Sedang wanita itu masih mengalami kesulitan untuk memutuskan. Karena benarnya dia begitu mengingini kedua- duanya. Tapi putusan hanya ada satu saja. Tak boleh kedua- duanya…

Maka baiklah. Wanita itu kembali akan sendiri. Pun lelaki itu akan melayari hari sendiri juga. Tapi hati mereka saling mengikat…


Wanita itu berhenti melukis kata…
20:19

Thursday, May 21, 2009

Terimakasih, Mario Teguh...



Mojokerto
16 Mei 2009
Di sebuah Sabtu yang sedikit menggigil…
18:26


Hujan siang tadi baru terhenti oleh sore. Menyisakan dingin yang terbawa angin terbang hingga menyusup ari. Menyentuh lembut indra perasa hingga kemudian aku bisa bilang petang ini sedikit menggigil. Lantai bumi masih basah meski angin sudah sejak tadi menyekanya. Kuperhatikan lagi alam sekitar. Kudapati kabut yang masih juga masih tertinggal di udara yang begitu melaut…

Rasaku kini sudah mulai melunak dan bersedia bersahabat dengan perubahan. Karena aku yakin selamanya takkan menang melawan kokohnya benteng mati perubahan. Lalu kuikhlaskan diri untuk kompromi. Hasilnya benar diluar dugaan. Aku merasa begitu lega. Hatiku tak lagi berjalan menyeret harapan yang bebannya terlampau berat untuknya. Dan sayup- sayup kudengar dia ucapkan terimakasih padaku. Samar- samar kucuri pandang dia yang sedang tersenyum tipis. Juga sembunyi- sembunyi kuprediksi, degupnya yang begitu tenang tanpa gelombang…

Perubahan ternyata akan selalu bawa derita bagi orang. Juga bagiku. Lalu jika semua bisa kompromi terhadapnya, itu tandanya akupun harus melakukan hal yang sama persis. Lalu aku pasti akan merasa sama dengan mereka semua. Sama- sama lega melenggang tanpa menyeret beban…

Dulu aku sempat berfikir beda. Kupikir hanya aku yang terganggu pada perubahan- perubahan. Kusangka hanya aku yang terus akan mengagumi nyamannya masa lalu. Kupikir hanya aku yang merana oleh semua yang tiba- tiba ada sebagai beda. Ternyata aku salah besar. Karena nyatanya semua merasa yang sama. Karena nyatanya semua juga tersiksa oleh perubahan- perubahan. Lalu mereka berkompromi. Sedangkan aku masih saja bersikeras memaksanya untuk berkompromi padaku. Lalu aku terus bertarung untuk menang. Lama sekali. Hingga aku mendapati sebuah pencerahan yang sebenarnya sudah kutahu tapi belum begitu kupahami. Lalu aku mendapati sebuah pengingat tentang hakekat perubahan. Dan kini aku selamat…

Tak lupa kuucap terimakasih pada Metro TV. Terutama pada acara Golden Ways. Dan pastinya kepada Mario Teguh yang adalah pengingatku…

Sekarang aku bisa menghirup udara dengan jauh lebih nyaman karena ingat bahwa semua akan baik- baik saja…


18:47

Wednesday, May 13, 2009

Romansa malam...

Mojokerto
12 Mei 2009
Di hari yang sama dengan pagi tadi
21:28



Udara hari ini sedang murung. Sedari pagi mendung tak kunjung lepaskan senggamaannya dengan langit. Lalu udara mulai meleleh membentuk serpihan tipis kesejukan. Tak lama kemudian angin terbang sedikit kencang. Sambil membawa serta hujan yang mengguyur pagi. Kaca bening jendela menjabat embun. Air hujan beberapa kali menyeka kebeningan kaca jendela balkon depan kamarku itu. Pagi tadi terasa begitu dingin. Karena cuaca sedang berbela sungkawa, mungkin. Tapi hatiku biasa saja…

Hari ini berjalan tak seperti biasa. Akhirnya idealismeku melumer. Lalu diriku sudah bersedia mengalah pada situasi dan dengan lapang hati rela mengabdi diri sebagai penebar ilmu. Mungkin bedanya hanya pada setting saja. Karena kali ini aku melumerkan ego di rumahku sendiri. Hasilnya bisa dikatakan ”lumayan”. Aku bisa sedikit menikmatinya. Well, yang jelas aku tak merasa tersiksa dan terpaksa…

Lalu malam semakin menepi. Dan kabut masih saja nyaman baluti alam. Jarak pandang tak lagi panjang. Karena selaput tipis udara dingin itu ternyata begitu sabar tutupi pandangan mata. Kulit ari terasa semakin mengerut karena harus sedikit kompromi oleh sejuknya udara malam ini. Benar- benar tak seperti biasa. Kali ini adalah masa kekalahan sang gerah dan kealpaan sang peluh. Mereka terpaksa harus mengalah gilir pada kabut dan dingin yang hari ini tinggali hari…

Telapak tangan terasa mengering. Sama sekali tak berair meski jantungku masih saja lemah. Orang bilang karena aku lahir prematur. Lalu kulit juga rasanya semakin lekat dengan keriput yang tiba- tiba ada akibat dehidrasi kecil- kecilan ini. Apa yang tak biasa memang kadang buat tak nyaman. Kota yang biasanya begitu erat bertautan dengan gerah dan bersaudara dengan peluh ini tiba- tiba berkhianat untuk kemudian bercinta sehari dengan dingin dan kesejukan…

Malam terasa begitu syahdu…

Rembulan terang tergantung kuat di langit timur. Bukan purnama tapi tetap benderang. Sedang langit bagian selatan terkena semburat lampu kota hingga terlihat sedikit memerah dari sini. Mungkin karena efek kabut juga. Sayangnya langit utara dan barat terlewat dari penglihatan...

Tak henti aku menghirup puas udara luar. Biar sedikit tertampung oleh jantung. Lalu alirkan daya cinta pada hati dan otakku yang dulu kupikir sedang soak. Angin tipis mengecup kulitku yang sedang kerontang oleh kealpaan peluh. Mungkin dia ingin ungkapkan kerinduan yang dulu sempat dilupakan alam. Langitpun pasti sedang asyik merekam tawa bahagia bersama rembulan itu. Mereka terasa begitu mesra. Lalu mata para fana mulai tersihir oleh romansa malam ini…



21:55

Tuesday, May 12, 2009

Bangun pagi...

Mojokerto
Pada setangkai Selasa
Beraroma manisnya embun
Tertanggal 12 Mei 2009
07:06



Selasa ini aku bangun pagi. Menghirup udara segar saat kabut masih asyik menggeliat sedangkan burung- burung kecil menjaring angkasa. Jam digital hp memaparkan jam lima pagi. Lalu kupenuhi kebutuhan bathinku untuk bertegur doa dengan Sang Pencipta…

Mata benarnya masih begitu memaksa untuk melanjutkan pelayaran menuju bumi mimpi. Beban hidup membuatku banyak bermimpi belakangan ini. Freud bilang “dreams are unfulfilled intentions”. Dan segera saja kubenarkan itu. Karena dari banyak mimpi yang kuingat, hampir semuanya berisi tentang keinginan- keinginan hati yang belum sempat menjadi nyata…

Salah satu mimpi yang tinggali hatiku semalam adalah pertemuan dengan seorang pria romantis yang merupakan perhidupan dari salah satu tokoh lelaki di drama seri Korea yang kunikmati begitu jenak sebelum mengatupkan mata. Bisa jadi itu adalah keinginan mendasarku untuk temukan pria romantis yang akan lakukan apapun demi aku dan yang terpenting bisa membuatku tergila- gila padanya. Well, sampai sekarang aku belum sempat temukan tokoh seperti itu. Dan analisa kedua adalah, bisa jadi mimpi adalah hal terakhir yang kita pikirkan, lihat atau nikmati sebelum membuka gerbang mimpi. Lalu hal itu mengubah diri jadi mimpi. Dan bagiku, kedua analisa itulah yang terjadi secara bersamaan. Unfulfilled intentions dan hal terakhir yang ditonton!!!

Lalu aku mengeliat sebentar. Tapi tak dalam waktu yang sama dengan para kabut…

Ivan Arbani dan Jova masih mengumbar suara di udara. Lalu tertangkap telingaku. Lalu menambah tentramnya hatiku pagi ini. Terdengar begitu menghibur. Omong kosong yang begitu kunantikan setiap paginya. Setiap Senin hingga Jum’at. Tetap saja di Hard Rock FM Surabaya…

Aku tak rela melepas pagi ini. Begitu sayang untuk tak ditimang. Meski mata kini mulai gencar membujuk hati untuk kembali mengatup kembali. Karena bangun pagi bukanlah sebuah rutin bagiku. Sejak awal dua ribu lima atau bahkan sejak pertengahan dua ribu empat, aku sudah membiasakan diri dengan rutinitas bangun siang. Karena tak ada rutinitas di pagi hari. Lalu untuk apa bangun pagi?

Meity Piris absen pagi ini. Entah untuk alasan apa. Yang jelas, ketidak-hadirannya begitu terasa. GMHR tak lagi rame seperti yang seharusnya. Meski suara Ivan masih terdengar lantang tapi dia hanyalah lima puluh persen saja. Sedang selebihnya ada di Meity. Jadi pagi ini kemudian kupanggil “Pagi tak begitu sempurna”…

Sudah cukuplah aku membuktikan bahwa aku bangun pagi hari ini. Sekarang aku mau kembali pada Alice Greenfinger. Aku sedang mencandu permainan itu…



Bel tanda berakhir jam pelajaran pertama di SMP 1 Mojokerto baru terdengar…
07:29

Monday, May 11, 2009

Saca dan bapaknya...

Mojokerto
9 Mei 2009
Sabtu dengan warna begitu kelabu
18:07


Perempuan itu sudah begitu hampir berumur dua puluh enam. Bagiku dia lebih pantas dipanggil sebagai seorang wanita. Dan aku lupa namanya. Yang masih sangat jelas kuingat adalah kerelaannya untuk selamanya tak berpanggilan “Mama”. Dia begitu yakin kalau ada yang salah, entah pada dirinya atau pada pendamping hidupnya. Tapi dia benar tak punya selembar tipis dayapun untuk memperjuangkan impiannya. Beberapa saat yang lalu dia melepaskan mimpinya itu dengan begitu rela meski diringi jerit kepedihan hatinya…

Dulu dia tak pernah perduli tentang apapun. Dia juga tak pernah punya mimpi untuk mengikatkan nyawa dan nafasnya pada hanya satu lelaki saja. Dia pernah berfikir untuk melewatkan hidup tanpa lelaki. Karena dia yakin penyatuan nyawa itu takkan bisa buatnya bahagia. Sejak dulu wanita itu hanya yakin pada dirinya sendiri. Membahagiakan ibunya adalah satu- satunya mimpinya. Tak ada mimpi lain. Sayangnya, kebahagiaan ibunya adalah pernikahannya. Maka dia berada pada sebuah dilema…

Oh ya…aku ingat nama wanita itu. Namanya panjang. Panggil saja dia Saca…

Saca begitu mencinta ibunya. Dan dia begitu membenci bapaknya. Bahkan dia selalu percaya bahwa bapaknya itulah yang paling bertanggung jawab atas pola pikirnya yang menyimpang. Pola pikirnya yang begitu menolak pernikahan. Dia tak mau menikah karena bapaknya. Dia tak mau dibuat menderita oleh lelaki manapun seperti ibunya yang sudah sejak awal pernikahan merasakan penyiksaan bathin. Ibunya yang sebenarnya masih punya bapaknya tapi serasa sendiri menghidupinya dan adiknya yang hanya satu- satunya. Ibunya yang selalu menanggalkan apapun demi kedua anaknya. Dan, tentu saja, dia begitu memuja ibunya. Dan dia begitu membenci siapapun yang menyakiti ibunya itu. Dan sudah sejak lama dia membenci bapaknya, lengkap dengan semua keluarga bapaknya. Karena mereka sudah begitu tak gentar menabuh genderang perang dengan ibunya…

Dulu…

Saca kecil pernah bercita- cita punya bapak yang membanggakan. Persis seperti bapak teman- temannya. Bapak yang selalu punya waktu untuk memperhatikannya, bapak yang selalu punya tali bathin untuk diikatkan padanya juga adiknya, bapak yang selalu melindungi keluarganya, bapak yang selalu mampu menenangkan hatinya yang mungkin sedang mengerut, bapak yang seharusnya jadi bapak.

Tapi…

Sekalipun dia tak pernah merasai apa yang pantasnya dia rasai hingga dia tak pernah merasa punya bapak. Dia merasa jauh tidak beruntung dari seorang anak yatim. Karena dia punya bapak yang tak pernah bisa jadi bapak. Hingga pada akhir masa kanak- kanaknya Saca bilang pada ibunya, “Aku tidak apa- apa kalau tidak punya bapak, bu. Aku malah senang.”

Jika bisa memilih, Saca akan memilih untuk menjadi yatim saja…

Lalu…

Waktu terus mengalir tapi rasa benci pada bapaknya tak pernah bisa terhanyut. Dia memegang erat rasa benci itu. Dan selamanya dia akan membenci bapaknya. Rasa bencinya pada bapaknya setara dengan cintanya pada ibunya. Dan dia akan melakukan apapun untuk ibunya sembari juga tak akan melakukan apapun untuk bapaknya…

Dia sudah menyebut dirinya anak yatim!!!

Sejak SMP Saca tak pernah sudi memanggil bapaknya dengan sebutan “Bapak”. Karena, sekali lagi, dia merasa dirinya anak yatim yang tak mungkin punya bapak. Jadi tak ada seorang lelakipun yang berhak dipanggilnya “Bapak”. Dia kemudian jadi begitu jarang berkata apapun pada lelaki yang sebenarnya adalah bapaknya itu. Wanita itu membangun benteng sendiri dan tak mengijinkan bapaknya masuk. Tak akan pernah!!!

Lalu kini Saca sudah bukan lagi bocah. Dia sudah mengikatkan nyawa dengan seorang lelaki. Karena cintanya pada ibunya. Dan kini dia, tentu saja, ingin segera berpanggilan “Mama”. Tapi ada yang salah dengan entah apa dan siapa. Dia belum juga hamil. Setelah begitu kian lama. Dan dia begitu terobsesi pada kehamilan. Dia ingin segera mempunyai buah hati…

Tapi, lagi- lagi, dia harus merelakan impiannya pergi. Karena bapaknya! Dan kini dia rela untuk selama hidupnya tak akan pernah dipanggil “Mama”…

Saca begitu melaknat bapaknya. Dalam doanya dia tak pernah sekalipun menyebut bapaknya itu. Dia tak pernah mendoa kebaikan untuk bapaknya. Pun masih punya nurani untuk tak mendoa keburukan untuk bapaknya itu…

Saca jelas punya janji pada dirinya…

Bahwa sampai kapanpun dia takkan pernah memperdulikan bapaknya. Bahkan saat bapaknya itu sudah menua, dia takkan pernah bersedia merawatnya dengan baik. Dia hanya akan merawatnya seadanya. Sama ketika bapaknya dulu merawatnya dengan seadanya. Karena dia terlanjur begitu sakit hati…

Kini Saca masih dengan berat hati menyesali ketidakberdayaannya…
Tapi dia tak pernah menyesali kebenciannya pada bapaknya...


18:49