Wednesday, April 29, 2009

Kediri hari ini serasa Malang...

Kediri
April 2009
Kala hari berpanggilan Rabu meski terasa seperti Kamis
16:39



Jalanan begitu basah oleh hujan manis yang datang bersama mendung siang. Udara sore ini kemudian mengendur dan lelehkan segar. Aroma tanah baru basah tercium, meski tak begitu jelas diindra. Para pengendara juga semakin mempercepat gerak roda. Mungkin mereka enggan rasai segarnya bumi sendirian. Mereka ingin mendekap sore bersama semua yang ada dihatinya…

Kediri sore ini begitu serupa dengan Malang. Udara ranumnya mempunyai rasa yang sama dengan Malangku kala itu. Gerimis manisnya juga sama. Kelenggangan jiwaku juga sama dengan dulu. Dimana aku sebenarnya sekarang?

Gerimis berhenti meringis. Langit kemudian lambat memutih. Menggiring mendung sedikit menjauh dari bumi Kediri. Mungkin agar aku bisa dengan pasti menjawab keberadaanku sekarang. Agar aku yakin benar bahwa aku sedang di Kediri. Bukan di Malang. Meski sore ini keduanya berasa sama…

Pelita Indah baru saja melaju ringan di jalan depan…

Malam nanti aku punya rencana. Bersama beberapa karib perjuangan disini…

Tiba- tiba aku menjadi begitu malas mengulas apapun. Aku mau berhenti saja. Meski gerimis tak lagi meringis tapi udara terasa sedikit lebih dingin sekarang…

Aku cuma mau bilang kalau nanti malam aku akan kembali bertegur mata dengan CafĂ© Minie. Bersama beberapa teman karib. Merayakan perpisahan teman dengan kota tahu ini. Temanku itu kini merasai apa yang dulu kurasai. Aku dulu juga sudah pernah mengucap salam berpisah pada Kediri. Karena aku mau melenggang pergi ke belahan tanah bumi lainnya. Kini dia yang merasainya. Dan temanku itu berpanggilan Iir…

Semoga aku bisa kembali nikmati pikuk malam…
16:54

Lupakan lelaki...

Kediri
April 2009
Senin yang biasa
10:16


Kemarin petang aku menggunting beberapa helai rambutku. Aku batal menjaganya. Kebosanan sudah semakin mendominasi. Maafkan aku, helai- helai…

Belakangan ini aku jadi semakin sering merangkai kata tentang lelaki. Tak hanya satu. Ada begitu banyak. Hingga aku akhirnya sadar dan menjadi begitu muak. Bagaimana mungkin aku mengukir kata lewat hati tentang para lelaki yang pernah begitu menyakiti rasaku. Bagaimana mungkin mereka datang kembali sebagai sumber inspirasiku? Kurasa ada yang tak beres dengan konstruksi otakku…

Sekarang aku sudah kembali tersadar. Tak mau lagi mengukir kata tentang mereka. Tutup buku dan ingatan buat kesakitan masa lalu. Sudah….

Bahkan sekarangpun aku masih tetap saja mengukir mereka. Menyesali dan menuangkan mereka dalam bentuk penyesalan kata. Sama artinya aku masih menjadikan mereka sebagai sumber kata- kata. Meski aku tak mau, tapi nyatanya tak bisa benar lepas. Tapi, kali ini aku mau benar lupakan semua yang pernah ada…

Lupa sejak sekarang…


Aku sudah begitu lapar…
10:25

Lelaki Insomnia....



Kediri
April 2009
Hampir tengah malam disini
23:14


Malam semakin melarut. Semua sudah nyenyak tinggali alam bawah sadar. Terlena oleh suasana malam yang memang begitu lenggang. Bisa juga karena terlanjur rapatkan kelopak karena paksaan lelah yang kian menjajah raga…

Lelaki itu berada disini dengan sebuah kesulitan…

Sebentar…

Handphone-nya berdering oleh panggilan kawan lama. Seorang Andrita yang adalah karib seperjuangannya di bangku Fakultas Ilmu Administrasi dulu.

“Apa bedanya admired by dengan admired with?”

Lalu lelaki itu menjawab singkat; “Bukannya kamu dulu pernah menanyakan itu?”

“Masa sih?”

“Iya…”

“Kalau begitu ulang lagi dong jawabannya!”

“Basically sih sama aja, cuma kalau yang lebih grammar ya Admired By karena itu pasif. Tapi dua duanya common dipakai kok. Jadi ya sama saja…”

“Oh gitu. Ya sudah. Thanks ya…”

Pembicaraannya selesai…

Tentang lelaki itu...

Lelaki itu kini kembali tapaki nyawa di udara Kediri. Sebuah kota yang dulu pernah begitu erat menggenggam jemari hidupnya. Dia sempat berbagi senyum dan tangis dengan semua yang ada disini. Dia juga pernah melaju di indahnya cinta dengan wanitanya. Banyak sekali yang pernah dia alami disini. Sampai akhirnya dia merasa harus pergi. Lalu dia undur diri di awal Januari. Tepatnya di sebuah Jum’at malam dengan hujan nakal yang terus halangi kepergiannya. Saat kalender masih setia pada sembilan Januari dua ribu sembilan. Saat cuaca menahannya dengan begitu sangat. Namun dia tetap merasa harus pergi. Lalu dia dengan sabarnya membujuk hujan untuk berhenti merinai. Dia memohon agar kepergiannya direlakan. Karena wanitanya juga telah rela melepaskannya. Lalu lelaki itu mengucap Selamat Tinggal pada wanitanya. Hujanpun akhirnya menyerah. Sebuah perpisahan tanpa tangis dan haru. Biasa saja. Karena mereka tetap menautkan rasa. Meski jarak yang kemudian akan merajai…

Lalu…

Senja tadi lelaki itu kembali. Membawa beberapa butir rindu untuk melepas penat yang selama ini nyaman tinggali jiwanya. Jiwanya yang sendiri. Jiwanya yang tanpa wanitanya. Dia datang hanya dengan satu pinta. Semoga bisa bersenang- senang…

Setengah jam lagi, hari akan berganti nama. Tanggal juga akan berganti angka. Tapi tahun masih setia…

Semua raga sudah menutup mata. Karena itulah yang sewajarnya dilakukan. Tapi tidak dengan lelaki itu. Dia masih gagah dengan mata lebarnya yang seakan masih ingin terus awasi dunia. Dia gagal temui alam bawah sadarnya. Bisa jadi inilah yang disebut insomnia…

Dia tak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Orang bilang lebih baik menghitung domba saja. Tapi mana mungkin bisa menghitung domba kalau seumur nyawanya di bumi ini dia tak pernah sekalipun melihat domba. Perasaannya tak begitu setuju dengan kata orang yang itu. Lalu orang yang lainnya mengatakan; lupakan semua yang kau pikirkan maka kamu akan segera terlelap. Tetap saja dia masih terjaga sambil merasa tak nyaman. Karena dia tak pernah tahu cara melupakan apa yang sedang dia pikirkan. Lalu sampai kinipun dia masih terjaga…

Dia berhenti sejenak demi mencuri dengar tanda- tanda kehidupan. Yang ada hanya suara dengkur wanitanya yang sejak tadi sudah terlelap oleh lelah berlebih. Dengkuran itu ternyata punya nada. Dan indah jika didengar. Apa karena semakin malam dia semakin melankolis dan romantis hingga semua yang ada tampak dan terdengar indah? Atau karena dengkuran itu adalah properti wanita bumi yang dicintainya? Lelaki itu langsung menjawab “Dua duanya!”

Aku mau bercerita sedikit tentang lelaki itu…
Dia terlahir sebagai putra pertama dari tiga saudaranya yang lain. Kulit terang dan hidung mancungnya membuat dia selalu menganggumi diri sendiri. Dulu dia tergolong kurus. Tapi sejak dia bersama dengan wanitanya itu, berat badannya bertambah sekitar sepuluh kilogram. Tinggi badannya cukup; tak pendek juga tak terlalu jangkung. Kesan pertama tentangnya adalah cowok lumayan enak dilihat. Gayanya asal. Cuek meski tak seperti bebek…

Lelaki itu menguap panjang. Tapi bukanlah mendung tak selalu berarti hujan? Maka menguap tak selalu berarti mau tidur. Dan dia masih tetap sendiri cumbui dengkuran indah wanitanya…

Dia menguap lagi. Sama panjangnya dengan yang tadi…

Kali ini dia benar merasa tersiksa oleh waktu. Tak tahu lagi harus bagaimana…

Keringatnya semakin mengucur. Dia semakin gugup. Dia khawatir malam akan terganggu olehnya yang masih saja terjaga. Dia takut malam akan menyalahkannya karena kehilangan misterinya. Dia tak mau disalahkan. Kali ini dia benar- benar mau menjadi sama persis dengan raga- raga lainnya yang sudah mengatupkan nyawa. Dia tak mau terjaga…

Tapi dia tak tahu cara pejamkan mata…

Sulit sekali baginya…

Delapan menit lagi esok akan berganti nama jadi hari ini…

Tujuh menit lagi sekarang…

Dia semakin gugup...



Hari ini bernama Senin…
00:07

Sunday, April 26, 2009

Deviasi pola rasa...

Mojokerto
April 2009
Berpijak pada sebuah Jum’at yang begitu biasa
17:52


Aku baru saja tuntas tunaikan sembahyang petang. Memenuhi kewajiban yang juga adalah sebuah kebutuhan bagi jiwa manusiawiku. Lalu kini aku bertengger di depan dua layar pada saat bersamaan. TV dan laptop hp ini. Aku berniat mengukir kata tentang apapun yang teringat dan terlintas di hatiku…

Tentang sekarang…
Aku sedang menanti kedatangan lelakiku yang bilang akan ada di saat mentari mulai undur diri. Dia bilang akan datang menyapaku disini. Bisa jadi karena rasa rindu yang sudah tersemai sejak sekitar sepuluh hari. Mungkin dia mengira semaian rindu itu sudah bersemi menjadi pucuk- pucuk kehidupan. Well, aku juga mengira yang sama dengannya. Meski tak jarang rasa rindu itu harus merana karena saat kami bersama semua terasa begitu biasa saja. Hambar lalu diakhiri dengan pengharapan bahwa semua akan segera berlalu. Bahwa kami akan berpisah lagi sambil menyemai rindu jenis lain. Rindu yang kami harap akan berpucuk, berkuncup dan berbunga lebih indah…

Lelaki itu masih belum menampakkan nyawanya untukku disini. Aku masih menantinya…

Setiap malam mengelam aku merasa ada yang tak begitu benar dengan ragaku. Aku merasa begitu melemah. Aku merasa ada sebentuk kekuatan penyokong raga yang hilang menjemput mentari yang sore tadi sudah undur diri. Sebagai manusia biasa, aku tak begitu memahami makna kelemahan ragawi ini. Aku hanya tak mau terlalu mendramatisir keadaan. Aku tak mau lakukan apapun karena semua ketidaknyamana ragawi ini masih sanggup aku atasi. Meski jika benar dirasa aku sedikit tersiksa…

Lelaki itu baru saja mengirim pesan singkat. Hanya dua kalimat padat. Begini…

“Maaf aku masih dikantor. Ini baru mau berangkat.”

Jika sekarang dia mengirim kabar akan berangkat, itu artinya dia akan berada disini sekitar satu setengah jam dari sekarang. Aku harus bersabar. Bulir- bulir rindu ini akan tersemai beberapa masa lebih lama. Biarlah. Siapa tahu pucuk- pucuknya akan semakin banyak tertumbuh. Somoga saja. Meski aku tak pernah begitu meyakini semua akan persis sama dengan apa yang aku maui sekaligus apa yang ada di pengharapanku…

Aku sudah berkeputusan untuk merapati hidup dengan lelaki itu. Dia mengucap ikrar bersama selamanya dalam suka dan duka saat hari bernama Kamis dan tertanggal tiga belas Desember dua ribu tujuh. Saat usiaku masih tapaki angka dua puluh empat sedang usianya cumbui dua puluh enam. Kata orang itu adalah sebuah perpaduan ideal. Well, sampai sekarang aku masih tak melihat makna kata ideal itu. Kurasa tak ada makna. Hanya sekedar ucapan penghiburan saja. Sekedar untuk kepentingan formalitas saja kupikir…

Aku merasa lelaki itu mengalami deviasi pola rasa…

Rasa suka lelaki itu padaku sudah sedikit memudar oleh kebersamaan. Genggaman cintanya untukku juga tak begitu mampu kurasa. Tetes- tetes perhatianpun tak lagi memelukku erat seperti kala itu. Riak kasih dan sayangnya juga agak menghilang oleh arus kehidupan. Dia sedikit demi sedikit mengubah pola hatinya. Mungkin dia mulai merasa ada yang salah dengan diriku. Mungkin dia merasa semua tak sama dengan apa yang dia impikan. Mungkin dia mulai menyadari keindahan bunga dunia lainnya. Mungkin dia mulai sedikit menyesali pengikrarannya denganku kala itu. Aku rindu dia yang dulu…

Bukan aku yang mengingini pengikraran hati kami kala itu…
Aku hanya setuju…
Karenanya aku tak mau dia menjadi seperti ini…
Aku mau dapati semua yang dulu dia sembahkan untukku…

By the way, aku begitu ingin memotong beberapa milimeter rambutku. Berganti model. Tapi tetap mempertahankan panjangnya. Karena aku sudah berjuang untuknya. Tapi kadang bosan juga aku padanya. Mungkin rasa itu sama persis dengan yang lelaki itu rasa untukku. Bosan namun tak mungkin saling melepaskan genggaman tangan…

Akupun tak begitu merasa mencintainya…
Mungkin hanya sebentuk rasa keterbiasaan…
Karena aku sudah terbiasa dicinta olehnya…
Hatiku sudah terlanjur kecanduan…


Cukup sekian saja buat hari ini…
Maafkan aku, lelakiku…
18:21

Candu hati...

Mojokerto
April 2009
Di sebuah Kamis pagi
Dengan semangat hidup yang tergerai indah
11:09



Hatinya begitu ranum oleh semangat hidup yang tergerai lepas menghampar di sebuah kesekarangan hidup. Setelah beberapa masa yang dulu dia terhempas dalam sebuah kesepian dan kekecewaan yang begitu menjurang dalam. Lalu dia sedikit teteskan airmata sia- sia hanya demi dapati secercah kelegaan hati. Wanita itu sempat juga meragu semua yang ada. Baginya semua hanyalah properti hidup yang bisa dengan mudah dipermainankan oleh orang lain dan mempermainkan dirinya. Itulah yang kemudian membuatnya semakin berat menyeret langkah. Dia sempat berhenti beberapa jenak masa sambil mencari- cari penguat jiwa. Dia jarang menangisi. Tapi dia menangis begitu miris kala itu…

Dia sebenar- benarnya adalah seorang Belva Purnama
Meski dia sempat menyulap diri hingga tersaji sebagai Vaska Alteria
Itu karena dia tak lagi tahan pada tekanan hidup pribadinya…
Tapi kini dia sadar bagaimanapun dia harus kembali pada yang sebenarnya…

Pagi ini kesadarannya kembali. Petualangan hati yang sempat jadi candunya kini akan segera dia sembuhkan. Tanpa paksaan. Dia sudah kembali pada sebuah kesadaran bahwa bersembunyi hanyalah sebuah kesia- siaan yang nantinya akan berujung pada bentuk kecewa lain. Dan dia sudah jera merasa kecewa. Lalu dia berkeputusan untuk sembuhkan diri dari candunya pada arena penjajalan hati dan rasa…

Wanita itu sempat menyatakan beberapa lelaki maya. Dengan mereka kemudian dia menjajal keteguhan hatinya. Dia merasa begitu yakin bahwa rasanya akan selamanya berkiblat hanya pada seorang lelaki. Yaitu seorang Delvin Teman. Dia selalu punya cara tak lazim dalam mencinta lelaki nyata itu hingga lelaki itu sering merasa tak dicinta. Namun sampai sekarangpun mereka tetap bersama. Mungkin bedanya hanya terletak pada kekhusyukannya dalam berbagi cinta, hati, kata dan rasa. Tapi dia tetap yakin bahwa hatinya hanya selalu termiliki oleh Delvin Teman.

Hati mudanya sempat melamar rasa pada sebuah hati berpanggilan Fabian Rahman yang bermukim begitu dekat dengan tempat orang tuanya tinggal. Rasa cintanya kala itu masih begitu tak berpengalaman. Orang bilang cinta monyet. Tak ada pengharapan. Dia hanya ingin terus mengagumi lelaki yang enam tahun lebih dewasa darinya itu. Dia tak pernah berani bertatap hati dengan Fabian. Mereka sama sekali tak pernah bersentuhan rasa karena ternyata lelaki itu hanya menganggapnya sebagai bocah. Namun dia mampu menjaga hatinya hanya untuk lelaki dewasa itu. Lama sekali dia mengkiblat pada Fabian. Berhari- hari. Bahkan ribuan hari…

Dia kemudian merasa ada yang beda dari dirinya. Hati dewasanya mulai memudarkan bayangan rasanya untuk Fabian. Rasa itu tiba- tiba menyamar. Terganti oleh seorang Abira Bashay yang juga enam tahun lebih dewasa darinya kala itu. Sebuah pertautan hati tanpa sekalipun dia mengucap cinta ke lelaki itu. Karena dia dulu adalah jenis manusia yang pantang berkata cinta. Mereka menggenggam rasa yang sama meski tak begitu lama. Tak lebih dari dari empat bulan saja. Lalu lelaki itu berlalu pergi begitu jauh sambil membawa serta hati Belva. Lalu dia terpaksa harus menghirup hidup tanpa cinta. Hatinya terlanjur mencandu Abira hingga dia kemudian secara sukarela menunggu tanpa pasti. Dia menanti sambil terus mengutuki cinta. Tiga tahun kemudian penantiannya terhenti paksa. Bukan karena dia sudah terlalu letih dan kecewa. Tapi dia hanya mau menghargai wanita entah yang telah dipilih Abira untuk jadi belahan jiwanya. Abira menikah! Lalu Belva sempat begitu kecewa dan lebih mengutuki cinta. Meski dia tak pernah mengiyakan saat Abira memintanya menunggu tapi sebenarnya hatinyalah yang berjanji teguh. Abira tak pernah tahu tentang penantiannya itu…

Kemudian sayap cinta Belva mengepak pada seorang Qasim Revaza. Lelaki yang mencintanya dengan beberapa keping kesabaran dan beberapa kuntum kesetiaan yang indah. Namun, jarak terlalu susah untuk dimengerti. Meski bahasa dan budaya sempat mengendala, tapi mereka masih mantap saling tapaki rasa. Namun, Belva akhirnya menyerah pada ketidakpastian. Dia menghapus diri dari nyawa lelaki setia itu…

Dia lalu melanjutkan langkah ke sekatan hidup yang lain. Kemudian tanpa sengaja bertemu rasa dengan seorang Delvin Teman yang kini telah menjadi kiblat sejatinya. Sejak dua ribu empat lalu…

Namun Belva tak pernah puas menjajal hati. Dia terlalu yakin atas kekuatan rasanya. Lalu dia sempat bermain rasa dengan Jahfal Firdaus Imantika, Omar Randu, Muhammad Safri…

Dan kini dia sedang merasa begitu ingin memandu hati kearah Yovano. Sebentuk maya yang selalu hadir disisi lemah wanita itu. Yang selalu mamagut kepedihan dan airmatanya…

Tapi sebelum semua kembali mencandu, dia mau lebih khusyu’ pada lelaki belahan jiwanya. Dia mau kembali menghamba hati hanya untuk Delvin Teman

Dia memohon maaf begitu besar pada semua nama itu…
Terimakasih atas semua rasa yang sempat ada…
Kini dia merasa begitu merindu lelakinya yang sejati…
Dia mau kembali setiakan hati…


12:13
Dia mau sembuhkan candu hatinya...

Sunday, April 19, 2009

Untuk Suara Bijaksana itu...

Mojokerto
19 April 2009
Minggu malam dengan rintik gerimis romantis
21:21


Gerimis mulai menitik sejak beberapa detik yang lalu. Aroma segar mulai menyibak tirai malam. Rintihan atap oleh tangis gerimis seakan menambah romantisme Minggu malam ini. Bumi seakan secara sukarela menyerahkan diri untuk disakiti tajamnya rinai. Begitu indah bagi hatiku yang saat ini sedang tersenyum…

Hari ini terasa begitu dekat dengan sempurna. Hatiku begitu berbinar. Pikirku terasa begitu bebas melanglang. Ragaku merasa begitu lega dan jauh dari rintihan. Semua sedang menyatu dengan kesempurnaan hari laksana udara yang begitu erat menyatu dengan semesta…

Aku datang sekarang untuk sebuah suara…
Sebuah suara yang bijaksana…

Untuk sebuah suara bijaksana itu…
Yang datang bertandang tadi malam…

Terimakasih untuknya yang telah mengabdi diri secara tulus kepadaku. Yang telah berikan beberapa gelintir kalimat penguat bagi jiwaku yang malam tadi terasa begitu merapuh. Merapuh oleh ketidakberdayaanku sendiri. Tidak berdaya mengubah pikir demi nyamankan sebuah jiwa pribadiku. Lalu jiwaku terdominasi tangis yang tanpa ampun menggilas kelopak mata lelahku. Aku tertunduk dalam sebuah nyata yang kuharap hanya sebuah mimpi buruk. Bahwa aku bisa kapan saja terbangun dan kembali pada nyata. Tapi sayangnya jiwaku sedang secara nyata melemah. Terlanjur terapuh oleh pikiran yang datang bersama beberapa sugesti akan kegagalan- kegagalan yang selalu sabar menanti aku berjalan mendekati. Semalam aku terlalu lelah tangisi diri yang masih hanya bisa begini…

Tak banyak yang aku tahu tentang dia…
Tapi dia selalu ada untukku…
Sebagai suara…
Lalu kunamai dia Suara Bijaksana…

Begitu berterimakasih aku padanya. Aku selalu merasa begitu nyaman oleh hadirnya. Aku cinta jadi pendengarnya. Aku rela mengabdi waktu padanya. Pun aku tak keberatan membagi nyawa dengannya. Meski hanya lewat pendengaran.

“Jangan berfikiran negatif. Positive thinking saja”

“Yakinlah kamu bisa maka kamu bisa. Aku yakin kamu bisa”

“Berjuanglah jauh lebih keras sekarang maka kamu akan dapati apa yang kamu maui”

“Baca lagi Sang Alkemis. Resapi semua kalimat dan pahami maknanya lalu implemetasikan dalam hidupmu!”

“Sekarang kamu tahu masalahnya dan kamu juga sudah tahu cara mengatasinya maka lakukan sesuatu untuk mengatasi semuanya!”

Aku begitu tertolong oleh kalimat- kalimat itu. Beberapa deret yang datang berbungkus sihir karena nyatanya aku merasa bisa dapati semangat juangku kembali. Aku merasa bisa kembali menatap hidup dengan lebih berani. Tak lagi tertunduk oleh ketidakberdayaan. Tak lagi tertindas oleh ketakutan. Tak lagi terkurung oleh prasangka- prasangka buruk. Tak lagi mau berhenti di titik rendah ini. Kalimat- kalimat itu seakan datang bersama beberapa nyawa baru yang kemudian merasuki nyawa pribadiku yang sedang lunglai oleh kekecewaan, ketakutan, kesendirian, kesia- siaan sekaligus ketidakberdayaan. Kini aku punya nyawa baru. Nyawa baru yang lebih hidup!!!

Maaf karena aku tak bisa menyebut namanya. Aku hanya berhak memanggilnya sebagai sebentuk suara. Maka aku mau berterimakasih dengan segenap hati, pikir dan nyawa baruku. Berterimakasih kepada suara itu…

Suara bijaksana….
Teruslah iringi nyawaku yang mungkin akan merapuh lagi…

Suara Bijaksana,
Maaf, atas semua yang kutuang disini…
Karena mungkin kamu merasa tak berkenan…
Aku hanya merasa dapati kembali yang dulu sempat kulepaskan…
Dan kamulah yang membawanya kembali…

Kanvas kata ini terkesan begitu berlebihan. Tapi aku tak mau berkawan dengan kebohongan. Benar inilah yang kurasa. Karena hati memang tak pernah punya sistem pengukur hingga dia selalu gagal mengukur rasa. Alhasil kadang terkesan berlebihan. Tapi itulah yang benar dirasa olehnya…



Gerimis diluar sana masih saja begitu romantis…
Mungkin karena aku yang sedang terlalu dramatis…
22:12

Saturday, April 18, 2009

Foto seorang perempuan....



Mojokerto
17 April 2009
Jum’at sore dengan sedikit mendung menggelayut
15:52


Hatiku terasa begitu sakit hingga muncul sebuah keinginan kecil nan tajam untuk membunuh waktu. Mengulitnya saat ia masih setengah mati. Lalu menguburnya dalam- dalam di timbunan tanah merah basah. Juga saat ia masih setengah mati. Tapi lalu moralitasku terbangun kaget oleh pikiran kejam itu. Dia mengguruiku. Membisikkan beberapa jenis pertimbangan yang bisa dipegang. Dia bilang aku tak perlu membunuh waktu. Dia bilang itu terlalu kejam. Terlalu beresiko juga. Dan aku terus dengarkan saran moral. Terus aku mengutip gerak bibirnya. Lalu kutangkap sebuah ide baru yang masih dalam lingkar bermoral. Bahwa aku tak harus membunuh waktu. Rugi sekali jika aku harus berbuat sekeji itu.

“Buang waktu itu!!!”. Begitulah gerak bibir sang moralitas. Setidaknya itulah yang berhasil kubaca.

“Bagaimana caranya?”

“Banyak!”


“Banyak?”

“Benar. Banyak sekali, bahkan…”

“Apa saja?”
, kutanya dia.

“Pejamkan mata. Kalau matamu menolak maka paksakan mereka. “

“Apalagi?”

“Bertukar kata dan suara dengan siapa saja mengenai apa saja. Atau melamun. Atau membuka lipatan masa lalu yang terlanjur terekam dalam sebuah kenangan.”

“Ide bagus. Aku pilih membuka lipatan masa lalu. Melalui beberapa kotak foto tentang siapa saja.”

Lalu aku merasa begitu tertarik menikmati kembali lingkaran masa lalu yang kebetulan telah tersimpan dalam bentuk kotak- kotak foto. Ada begitu banyak ekspresi yang berhasil didapati. Dalam berbagai suasana hati. Juga di berbagai lokasi. Lalu pandanganku tertarik pada sebuah yang bagiku menarik…

Foto seorang perempuan…
Dia terlihat begitu menikmati hidup. Dia begitu bahagia dengan apa yang ada kala itu. Dia tersenyum lepas sambil menebar kebebasan. Gulungan air pantai seakan menariknya lebih dalam lagi dalam bumi kebebasan. Udara laut yang asin membawanya pada sebentuk kecil dunia yang diciptakan hanya untuknya. Semua sudah lebih dari cukup untuknya hingga dia tak pernah berharap kesempurnaan laut oleh burung- burung camar. Baginya alam kala itu sama persis dengan kesempurnaan hidupnya. Seorang perempuan dengan kehidupan yang bahkan lebih membahagiakan dari sebuah mimpi manis sekalipun. Membagi nafas dengan seorang lelaki yang telah begitu memahami dirinya. “Aku akan menjadi kertas yang membungkusmu karena kamu adalah batu keras yang takkan bisa dipecahkan oleh apapun. Maka aku akan menjadi kertas bagimu”, begitu kata lelakinya kala itu untuk meyakinkan cintanya pada perempuan itu. Dan perempuan itu merasa begitu teryakinkan lalu setuju untuk dinikahi saat berusia dua puluh empat tahun. Dan mereka berdua mulai menjalani hidup sambil terus tersenyum bahagia. Hingga foto itu terbuat…

Waktu terus melingkar lebar…

Kini perempuan itu harus keluar dari frame foto. Kembali tertunduk oleh kekuatan dunia nyata yang kadang begitu halus menggiring manusia pada sebuah kepahitan. Perempuan itu jarang menangis. Karena dia selalu punya cara menahan airmata. Dia kecewa tapi dia tak pernah menyesali apapun. Perempuan itu juga tak pernah berpengharapan untuk kembali ada sebagai foto. Bukan karena dia tahu hal itu begitu tak mungkin. Melainkan karena dia sudah terlalu jera untuk kembali berpengharapan…


Kasihan sekali perempuan itu…
16:10

Hari hitam putih....


Mojokerto
17 April 2009
Pada sebuah Jum’at siang yang terjajah gerah…
14:05


Dahi telah lelah menghindari peluh yang sejak awal siang tadi menyentuh raga. Mungkin dia pikir perjuangan akan jadi sebuah kesia- siaan karena nyatanya siang begitu pro terhadap gerah. Dan aku masih disini. Di sebuah kamar yang entah karena apa menjadi lebih gerah rasanya daripada ruangan lain dirumah hijau ini. Bisa jadi karena konstruksi bangunan kamar ini terlampau toleran terhadap gerah. Atau karena suhu udara sedang begitu memuncak. Bisa juga karena pengaruh beban hidup yang kian jauh dari kata remeh. Apapun alasannya, yang jelas aku masih mengabdi rasa disini bersama sebuah kipas angin kecil oleh- oleh masa lalu. Juga dengan nada- nada masa kini yang kudengar dari SE W550i ini…

Beberapa hari ini terasa begitu tidak menyenangkan. Semua bentuk kesenangan dan kelegaan rasa mungkin sedang mnegabdi rasa pada nyawa lain. Aku harus berbagi dengan nyawa- nyawa, memang. Dan sekarang mereka sedang bukan untukku. Meski aku sudah berusaha menikmati semuanya secara maksimal, tapi tetap saja aku merasa gagal. Lalu ragaku terasa kurang sehat. Mungkin gejala masuk angin. Parahnya aku tak punya cara sembuhkan diri. Karena aku tak begitu mahir tentang cara penyembuhan. Suntuk kemudian menekan hati. Alhasil semua yang ada terasa tak berasa karena hati yang adalah organ perasa kini sedang terdesak suntuk. Bahkan Vaska Alteria tak mampu memberi sedikit kesenangan untukku. Va juga terasa begitu tawar dan tak berguna…

Senin datang perlahan dan lupa membawa Selasa bersamanya. Lalu terpaksa aku mencari- cari hari Selasa di sekujur lipatan masa. Kubongkar kembali masa dulu. Hanya agar bisa dapati kembali Selasa. Masalah belum juga usai. Rabu tiba- tiba menghilang saat kalender membutuhkannya. Bisa kudengar jeritan lirih kalender memanggil- manggil Rabu. Karena dia tak mau malu kehilangan Rabu. Lalu Rabu datang dengan tergesa sambil tanpa henti ucapkan maaf. Nafasnya kembang kempis. Kamis dan Jum’at datang berduaan karena mereka tak mau mendengar jeritan lirih kalender lagi. Tak mau bernasib sama dengan Selasa. Bisa jadi mereka ingin membuktikan pengabdiaannya terhadap waktu. Meski mereka tak bawa masalah, tapi tetap ada yang kurang. Mereka datang tergesa. Takut terlambat hingga akhirnya melupakan beberapa warna rasa yang harusnya mereka bawa serta. Alhasil Kamis dan Jum’at lalu menjadi gambaran klise hitam putih. Terlihat dan terasa begitu membosankan. Lalu kupesan pada mereka agar lebih teliti di kemudian hari. Mereka mengangguk lemah sambil terus merasa bersalah. Ya sudahlah…

Sekarang masih Jum’at. Tanpa warna. Hanya hitam putih. Membosankan. Tak bisa terlalu dinikmati. Sedangkan kipas angin kecil itu masih kupaksa terus menghadap pada satu arah. Yaitu kearahku. Karena aku benar tak tahan gerah. Peluh tertahan di bagian dalam organ tubuh. Namun gerah masih begitu kuat lindungi diri dari cumbuaan angin buatan ini. Gerah tanpa peluh…

Mungkin inilah konsekuensi dari sebentuk kehidupan tanpa mimpi. Dari sebuah nyawa bernafas tanpa keberanian untuk bermimpi. Tanpa sesuatu yang dinanti. Juga tanpa harapan yang bisa jadi penguat. Semua yang ada terasa begitu sia- sia. Semua yang ditunjukkan alam hanya sebagai sebuah keharusan saja. Bukan sebagai petunjuk untuk dapati mimpi. Tapi aku masih begitu kecewa dengan yang dulu. Aku masih perlu masa lebih lama untuk menyembuhkan luka hati karena kehidupan yang dulu begitu keras menempaku. Hingga aku terjatuh. Lecet sedikit. Tapi lalu aku lupa. Lupa menyentuhkan obat hingga lecet itu memburuk. Begitu sakit dirasa. Dan jera yang kini tertinggal. Jera untuk kembali melaju diatas rel hidup. Aku masih bertengger di sebuah stasiun hidup. Berhenti sampai dapati kembali nyali untuk berlari mengejar ketertinggalan. Doakan aku bisa segera sembuh…

Yang terdengar sekarang adalah Detik (untuk dikenang) oleh The Video…
Melalui Winamp laptop…

….
Sudahlah sayangku jangan pernah sesali yang terjadi
Kini kita bertemu hanya tuk melepaskan rindu
Nikmati detik indah yang mungkin takkan pernah terulang
Semoga bagimu kan menjadi satu yang indah tuk dikenang

Lupakan cinta kita dulu yang kan membuka luka lama
Anggap saja tak pernah ada cerita cinta berdua
Kupun tak pernan meminta tuk kembali hati ini bersama
Kutahu dilubuk hatimu lentara takkan padam
Karna ku yang terbaik



Sejak awal mendengarnya, aku langsung jatuh hati pada lirik dan nadanya yang terdengar begitu acuh. Sebuah permintaan untuk melupakan semua yang dulu pernah terjalin indah. Tak ada keinginan untuk merasai kembali indahnya masa lalu. Karena adanya sebuah kesadaran bahwa yang dulu hanya ada untuk dikenang, bukan untuk dirasai kembali. I do love this song!!!

Cukup tentang The Video. Kini aku mau beralih ke Lost in Love yang kemarin petang kutonton di layar SCTV. Pukul enam sampai delapan lebih malam. Entah diperankan oleh siapa. Kebanyakan pemainnya adalah pendatang baru dunia perfilm-an. Ceritanya begitu biasa. Terkesan begitu anak- anak, malahan. Begitu dongeng. Tapi lumayan untuk dijadikan hiburan di hidupku yang sedang mengklise ini. Aku sempat terhanyut di bagian agak akhir cerita. Dimana Adit yang adalah laki- laki kaku kemudian mau berubah begitu romantis hanya demi sebuah penggambaran cintanya untuk Tita. Romantis. Lalu aku sempat berfikir memperbaiki hubungannya dengan lelakiku. Aku yang sifatnya hampir seperti Adit. Ternyata aku juga mengingini romantisme. Aku mau dengan lelakiku itu. Aku mau kembali mewarna hari dengan kuas kebahagiaan dan warna keromantisan dengannya. Lost in Love does give me a sense of romantismn!!!

Inilah salah satu OST-nya, O Teganya oleh Tangga…


Kini aku disini
Cuma sendiri
Tiada yang mencari
Sampai hati
Sampai begini
Kau tak perduli
Oh teganya



Aku merasa benar memahami lirik itu…


Adzan Ashar sedang mengkumandang di kampung sebelah…
14:53

Langit sore, Adri, Kereta Api dan Sembahyang....


Mojokerto
14 April 2009
Di Selasa sore yang rupawan
Tepat saat adzan Maghrib berdengung di udara….


Mentari sudah merapat pada bulan dan bintang yang akan segera gantikan dirinya. Langit yang siang tadi begitu membiru kini tercampur beberapa jengkal mega putih dan guratan merah sisa mentari. Para kita akan segera bertegur rupa dengan malam. Sama seperti di hari- hari sebelumnya. Pun sama dengan hari- hari mendatang…

Aku mau menumpahkan nyawa sejenak sebelum melebur dalam sembahyang. Membagi beberapa tumpuk beban dengan tulang belulang kehidupan. Meski aku tak punya banyak masa tapi aku bersikeras menelurkan beberapa hentak guratan disini. Dan seperti biasanya juga; aku tak pernah tahu buat siapa aku menggurat kata disini. Tapi biarlah. Aku cuma mau melegakan rasa saja…

Siang tadi aku sempat bertegur suara dengan Adri. Bercerita tentang kondisi diri, perasaan hati, rencana yang akan kami lewati nanti, berita kawan karib masa dulu juga semua bentuk idelisme yang kami kira masih kukuh bertengger disini. Kami tertawa untuk beberapa lelucon kecil tadi. Entah benar- benar berniat tertawa atau cuma basa- basi percakapan. Hampir enam puluh menit mengurai kusutnya nyawa kami. Suara TV dan Ratri turut serta perindah percakapan kami. Akhirnya kami berpisah di pukul hampir setengah lima sore. Saat kita memang harus berhenti dan kembali pada nyawa masing- masing. Aku sedikit terhibur. Dan semoga Adri juga begitu...

Langit kini memuram. Kelam hinggapi pelatarannya. Tak ada lagi mega putih. Merah sisa mentari juga telah undur diri. Entah kemana mereka semua. Mungkin sedang mengabdi pada belahan bumi dan waktu yang lain. Semua memang sudah punya masa sendiri- sendiri…

Bulir peluh lelehi bagian tubuh. Gerah hanya mengintip sedikit. Angin berhembus malu- malu kucing. Sedangkan lampu- lampu mulai mencerah. Karena kala ini disebut petang. Mentari tak selebar tadi siang…

Nyamuk- nyamuk berkeruyuk. Datang darimana mereka sebenarnya. Apa mereka dilahirkan petang? Apa mereka ditelurkan oleh bintang? Karena mereka ada saat mentari tak lagi ada. Apa mereka datang untuk alasan bertandang? Hanya untuk sekedar mencumbui para tuan rumah yang malah tak pernah ramah untuknya. Kasihan mereka…

Lalu tanganku meraba rambut. Membelai dan menikmatinya. Terasa panjang. Sudah beberapa masa aku sengaja membuatnya bebas menjuntai sambil kian memanjang. Mungkin sebagai bukti kekecewaan. Karena aku berjanji takkan memotong barang sehelaipun sampai aku benar- benar dapati kebahagiaan. Semakin panjang, semakin lama kekecewaanku tersemai…

Dengarkanlah. Aku bisa sayup- sayup memegang suara kereta api itu. Tak bisa dikatakan dekat meski suaranya masih mampu menjangkau teras kamar ini. Kereta jurusan Surabaya. Kelas ekonomi sepertinya karena berwarna kuning agak orange. Sebentar saja terdengar. Karena dia merambat cepat. Begitulah caranya…

Apalagi?

Oh ya, lelaki maya itu baru saja kirimkan kabar bahwa dia akan kembali pulang di malam hari. Banyak yang harus dikerjakan, katanya. Ya sudah…

Dimana angin sayup yang tadi berkelebat disini? Apa mungkin dia juga sedang mengabdi di sisi bumi lainnya? Kini gerah kembali merakit peluh. Karena ini memang masanya…

Jakarta, ibukota negara merah putih ini, sedang mengumandangkan adzan Maghrib. Dan aku belum sembahyang juga. Tapi aku akan segera tunaikan…



Permisi…
17:58

Acara pagi ini...


Mojokerto
15 April 2009
Rabu pagi yang melegakan
Bertepatan dengan ulang tahun ke dua puluh enam Arie Mardiana…


Nyawaku terbangun kala hari masih begitu muda. Beberapa jam aku menghimpitkan kelopak mata ini. Mengistirahatkan seluruh organ kecuali jantung yang kuminta untuk terus berdetak. Kemudian berjalan menuju mimpi. Sebuah mimpi tanpa arti. Skenario mimpi memang tak selalu berlogika. Saat aku terbangun, yang kuingat adalah sebagian kecilnya saja. Bahwa di mimpi aku bertemu Mugi Brillianto. Entah darimana datangnya ide cerita mimpiku pagi ini. Datang begitu saja. Dibintangi manusia Asunaro baru itu. Sudahlah…

Ngantuk adalah benar sebuah bentuk mabuk. Mataku terpaksa membuka diri dengan rentetan rasa kantuk yang masih menggantung di kelopak. Kupaksa mereka untuk membuka meski dengan begitu sipit. Tak tahan dengan cahaya mentari yang datangnya lebih dulu. Kulihat jam salah satu handphone, terbaca pukul sembilan lebih beberapa menit. Lalu kusapu headset dan kusenggamakan dengan SE W550i ku, kunikmati Good Morning Hardrock pagi ini. Tertidur kembali sejenak dengan headset terpaku di telinga. Tak lama memejam mata. Lalu terbangun kembali. Kulihat kembali jam di handphone. Terbaca pukul tujuh lewat beberapa menit. Itu artinya ada kesalahan pembacaan jam karena aku sedang mabuk berat oleh pengaruh kantuk. Ternyata hari masih begitu pagi…

Tempat tidur itu sedang berwarna hijau muda juga. Cukup untuk dua orang. Dan aku hanya menempati di salah satu sisinya saja. Pinggir. Tak pernah yang bersentuhan dengan dinding. Alasannya karena aku tak suka dinginnya dinding. Tempat tidur itu diselimuti kain sprei hijau muda berhias bunga tulip merah muda. Dua bantal tidur, sebuah guling, sebuah bantal sofa hijau, selimut tebal warna padu hijau kuning muda juga sebuah bantal bentuk cinta warna merah muda hadiah lelakiku beberapa tahun dulu. Terasa begitu nyaman meski bukan spring bed…

Beberapa menit kemudian…

Suara beberapa lelaki itu tertangkap telinga. Lalu kuputuskan untuk beranjak dari tempat tidur berbalut hijau muda ini. Berjalan malas menuju jendela depan untuk menyibakkan tirai putihnya. Lalu kumatikan kipas angin kecil yang sejak tadi malam memutar oleh perintahku. Biarlah dia beristirahat dulu sepanjang pagi siang dan sore nanti. Lalu kuarahkan kaki kembali ke samping timur tempat tidur. Ada jendela besar disitu. Jendela kayu jati yang mengarah ke tempat cucian. Kuraih tirainya yang juga putih. Kusibakkan. Kamar ini lalu begitu benderang. Terakhir kurapikan sisa- sisa mimpiku di tempat tidur dan kubuka pintu jati itu. Kemudian duduk sejenak di balkon depan kamar. Berusaha mencari- cari kelebat angin pagi. Tapi tak banyak yang kutemu…

Sedangkan…

Hardrock FM masih terus mendengung merdu. Temaniku yang sedang membasuh diri di kamar mandi yang juga berwarna hijau muda ini. Beberapa menit disana sambil nikmati pagutan suara air dan radio pagi. Begitu nyaman terasa. Baiklah…aku selesai mandi.

Aku naik kembali ke kamar. Meraih jeans Wrangler dan jaket orange kebangsaanku yang sejak beberapa hari yang lalu kusiksa di gantungan. Lalu kupoles wajah dengan make-up seminimal mungkin. Mengoles lip gloss sedikit. Sengaja kulewatkan ritual bersisir. Sedang malas mengurus rambut. Toh, dia masih rapi- rapi saja meski hanya dilibas jemari. Tak masalah. Eits, ransel warna gelap cepat kuraih untuk kumasuki amplop coklat besar, tempat handphone yang sekaligus berperan sebagai dompet, kotak kacamata lalu headset Sony Erricson W550i. Itu saja. Fleksi sengaja kutinggal di meja balkon depan kamar. Maka ransel itu jauh dari berat….

Sekarang aku sudah terduduk diatas jok motor. Menyalakan mesin sambil menjangkau helm biru tuaku. Mencari- cari sandal jepit coklat. Bergaya berandal kali ini. Feel so damn free!! Lalu menuju kantor pos yang hanya berjarak kurang dari lima menit dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam. Tentu saja untuk mengirimkan amplop coklat besar tadi. Di sebuah alamat di Kalimantan Selatan…

Tiba di kantor pos…

Parkir di sisi paling kiri. Membuka pintu kaca kantor pos. Meletakkan amplop coklat di atas meja pengiriman. Kutumpuk dengan amplop coklat orang lain. Biarkan amplop itu antri untuk dirinya sendiri. Antri untuk dilayani. Lalu dimana aku? Aku sedang di teras kantor pos. Apa yang kulakukan disana? Membaca beberapa pengumuman lowongan pekerjaan yang dipampang disana. Hanya untuk iseng karena kuyakin tak ada yang kuminati. Tak lama disana. Kurang dari lima menit saja. Lalu kembali kedalam. Duduk hanya sejenak dan mendengar namaku dipanggil. Aku dilayani. Amplop itu dikirim dengan biaya enam ribu rupiah. Sampai dalam waktu tiga sampai empat hari kata pegawai kantor orange itu. Selesai…

Lalu aku kembali pulang dengan beberapa pertimbangan sederhana. Pertama, bensin motor sudah hampir kosong melompong. Mungkin yang tersisa hanya beberapa tetes saja. Kedua, memang aku tak punya tujuan lain. Mungkin yang terpikir hanyalah ke warung internet. Lalu ketiga, jika benar ke warung itu maka akan ada dua kemungkinan yaitu habis bensin di tengah jalan dan uang minimal tiga ribu rupiah akan melayang terbang dari dompet tipisku. Dan aku tidak mau satupun ketakutan itu terjadi. Maka disinilah aku sekarang. Kembali di rumah…

Sekarang aku sedang bersenggama dengan televisi sambil membaca pesan balasan dari Arie yang pagi ini tepat berumur dua puluh enam tahun dan sedang hamil enam bulan…

Begitulah acaraku pagi ini…



Masih belum begitu siang…
12:07

Monday, April 13, 2009

Ratri yang muram...

Mojokerto
13 April 2009
(Masih) di sebuah Senin
Kali ini hari menghampiri tanpa gerah…
Syukurlah…


Aku kehilangan seorang sahabat yang dulu begitu erat berjabat hati. Dia sedang kecewa. Dia sedang merasa begitu gagal. Dia juga sedang merasa tertolak oleh dunia. Mungkin dia juga merasa aku akan segera melesat pergi jauh darinya. Ratri kini telah merubah diri menjadi beda. Entah apa yang benar- benar jadi alasannya. Yang jelas Ratri merasa jauh tertinggal dari semuanya. Bisa jadi bathinnya sedang menangis lembut…

Aku sudah lama merasa ini. Mungkin karena hatiku masih sedang erat menjabat hatinya. Namun sayang, Ratri tak lagi mampu merasakan jabatan erat itu. Hatinya sudah terlalu cadas oleh tempaan kegagalan. Hatinya sedang begitu muram. Tertutup kanopi kehidupan yang memang akan terus mementalkan jiwa- jiwa lemah. Dia menangis didampingi lelakinya. Mereka sedang mengasingkan diri dari dunia. Biarkan dululah…

Aku tahu dia tak pernah mau terlihat sedang berair mata. Namun dia tak pernah sanggup menyeka luluhan airmata itu. Pun dia masih belum mampu mengganti tangis jadi senyum manis. Aku bisa merasa apa yang sedang dia rasa. Karena benarnya aku juga sedang begitu. Aku sedang sama dengan dia…

Sampai di hari inilah aku kemudian membuka kata untuk memastikan semua yang sedang kurasa tentangnya. Aku mau memastikan kebenaran suara hatiku ini. Lalu kurangkai beberapa helai kata sebagai wakilan suara. Kepada Ratri…

I feel that you’ve changed a lot these days. Why? Is it because you don’t wanna be disturbed? Is it because of your heavy life burden? I lost my Ratri…

Beberapa menit aku tak mendapati jawaban. Dalam bentuk apapun. Aku masih menantinya meski aku tak begitu yakin akan dapati sebuah kepastian alasan. Mungkin karena sebenarnya aku sudah punya jawaban sendiri. Aku tidak baru mengenal Ratri di sore kemarin. Aku sedikit banyak tahu tentang dia. Aku bisa menebak sedang merasa apa dia sekarang. Aku juga sudah sedikit banyak bisa menyanyikan ulang nada nafasnya. Aku juga bisa mendendangkan cerita cintanya kala itu. Aku bisa…

Lalu handphone ini terdering sebentar oleh sebuah pesan masuk. Dari Ratri…

Sorry, Ai. Yang balas sms aku. Ya, sedikit banyak kegagalan- kegagalan kemarin membuat adek berubah. Dia sekarang sudah enggan berhubungan dengan dunia luar. Bahkan untuk melamar- melamar lagi juga sudah malas.

Itu bahasa hati Ratri yang kebetulan dilukiskan oleh lelakinya, Adri. Maka sekarang aku sudah mendapati kepastian hati Ratri. Aku memperkirakan. Lalu dia melalui jemari lelakinya memastikan semua. Kemudian aku lebih mengerti cuaca hatinya…

Ratri dan aku sekarang sedang sama. Kami sedang membenci waktu yang berjalan melambat hingga semua muram begitu nyata terasa. Hanya ada beberapa beda. Ratri menyerah pada muram dan terus lindungi diri dari pasir kesenangan. Sedangkan aku tidak begitu. Aku terus berjuang menggenggam pasir kesenangan meski kadang pasir- pasir itu meluncur keluar. Lalu aku terpaksa muram karena merasa tidak berhasil. Tapi, aku terus mengulangi genggaman yang sama. Berusaha terus membahagiakan hati meski kelam sedang asyik selimuti diri…

Apa yang sebenarnya berubah. Apa benar Ratri yang sedang berubah? Atau mungkin malah aku yang sebenarnya berubah? Bisa jadi kenyataanlah yang sudah lama mengganti beberapa bagian dirinya hingga terbitlah perubahan- perubahan ini. Siapa pun apapun yang berubah aku hanya sedikit perduli. Aku hanya akan terus mendoa agar hatiku terus bahagia dalam kondisi seperti apapun…

Ratri, kuanjurkan kamu mendoa yang sama denganku. Setidaknya agar hatimu merasa sedikit melega meski dunia terus menjauhimu…

Dear Ratri,

Satu lagi yang bisa jadi kebutuhanmu. Kamu butuh pengingat. Bisa dalam bentuk siapa pun apa. Kamu perlu mengingat kembali bahwa tak ada yang sia- sia. Bahkan masa sekarang akan jadi sejarah hidupmu. Bahwa kamu juga ternyata pernah menangis begitu lirih. Tangisan yang hanya bisa dirasa, bukan didengar. Maka bangkitlah kembali sekarang. Carilah mimpi- mimpi baru. Lalu hiduplah untuk mimpi itu. Jangan biarkan mata hatimu terus menangis. Bisa sembab nanti hatimu itu. Rasakan jabatan erat hati kita. Tersenyumlah kembali, Ratri…

Dulu aku pernah meninggalkanmu sendiri di Malang. Kala itu tertanggal 24 September 2005. pada sebuah Sabtu siang. Kamu pernah menangis karena sendiri. Dan kini aku kembali. Takkan kubiarkan kamu sendiri lagi. Meski kamu sudah menjalin hidup dengan lelakimu. Tetap aku akan selalu ada untuk kalian berdua. Bukan cuma buat Ratri. Bukan juga cuma buat Adri. Melainkan buat Ratri dan Adri….



Mari tersenyum bersama
12:06

Liburan akhir pekan yang terlalu panjang...

Mojokerto
Sebuah Senin pagi
13 April 2009
08:49


Kata orang angka tiga belas membawa sial. Benarkah?

Hari ini kumulai dengan cara yang terkesan kurang sopan. Bagaimana tidak, aku membuka mata dengan bosan yang dominan. Mungkin sisa- sisa hari kemarin. Memang benar, apapun yang terlalu berlebih tidak akan bisa memberikan akibat baik.

Liburan akhir pekan kemarin terlalu panjang. Dimulai sejak Kamis. Dalam rangka Pemilihan Umum 2009 (untuk calon legislatif). Lalu dilanjutkan oleh perayaan Paskah yang tentu saja merupakan hari libur nasional. Dan Sabtu kemudian dianggap sebagai hari kecepit nasional. Beberapa orang memang benar libur di hari itu. Kemudian Minggu yang memang sejak dahulu kala dianugerahi panggilan sebagai hari libur atau hari merah. Jadi setelah dihitung- hitung liburan kali ini mencapai nilai empat hari. Dan itu artinya setiap orang perlu tenaga dan pikiran ekstra untuk memikirkan acara akhir pekan panjang itu. Beberapa orang berhasil. Pun beberapa tidak berhasil. Dan aku masuk kategori yang terakhir….

Sisa- sisa kebosanan hari kemarin masih bisa aku rasa sampai pagi ini…

Tapi aku tak pernah berhenti berjuang dapati kemerdekaan atas rasa bosan ini. Aku melakukan beberapa hal. Aku melayarkan diri pada kesibukan rumah tangga. Menyapu, membersihkan tempat tidur, mengelap kaca jendela. Lalu aku berencana melanjutkan pelayaran pada dermaga setrika baju. Cuma delapan potong pakaian. Namun aku memutuskan untuk membuka diri pada kanvas kata ini. Aku merasa butuh bantuan. Setidaknya, seperti biasa, melegakan rasa. Dan sepertinya aku agak berhasil. Karena bantuan Ivan Arbani dan Meity Piris yang datang lewat udara bersama Good Morning Hardrock FM…

Sekali lagi aku merasa begitu tertolong oleh kehadiran dua begundal ini. Aku begitu berterimakasih kepada mereka. Benar- benar terimakasih dengan sebesar- besar dan seikhlas- ikhlasnya…


09:14
Lega…

The power of words...

(Masih) Mojokerto
12 April 2009
Minggu malam yang legam…
19:02


Kata. Hanya berupa deretan huruf yang tertata rapi berjajar dengan lainnya hingga punya mampu untuk terbaca lalu beri makna. Terkesan begitu sederhana. Namun kini aku yakin, kata bukanlah berperan sebagai bagian sederhana dalam kehidupan para manusia…

Banyak yang bisa berubah hanya oleh pengaruh kata...

Hati bisa begitu kuat terikat dan mengikat hanya dengan beberapa patah kata. Bukankah manusia selalu kehausan kata sayang dan cinta dari lawan jenisnya (beberapa bahkan dari yang sejenis)? Lalu manusia melalui kata bisa mengubah perasaan cinta jadi biasa, bahkan bisa juga jadi benci. Atau bisa jadi sebaliknya. Maka kata bukankah hanya sekedar deretan huruf yang beri makna….

Aku mulai belajar menerka apa yang membuat kata begitu kuat. Aku mulai bertanya pada semua pertanda, apa yang merasuki kata hingga tak jarang mampu tenggelamkan logika. Bahkan bisa jadi kata membuat manusia berani kehilangan nyawa. Mungkin karena merasa begitu kecewa. Mungkin juga karena menyadari bahwa kehidupannya sudah tak lagi mampu beri guna bagi lainnya. Bisa jadi karena kata- kata itu memberinya kekuatan untuk menghadapi kematian sedikit lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Yang jelas semuanya karena kata. Pernyataan itu bisa jadi terbaca begitu aneh bagi semua (termasuk kalian). Tapi itulah yang pernah kualami. Dimana kata bisa beri kekuatan yang begitu hebat sekaligus lemparkan manusia jauh dari logika…

Itulah yang kunamai The Power of Words….



Sekian
Dan terimakasih…
19:14

Sunday, April 12, 2009

Gerah...

Mojokerto
Pada sebuah Sabtu gerah
11 April 2009
16:39


Gerah rasanya telah berhasil jajah bumi ini. Lalu semua sudah terdominasi olehnya. Bahkan semua makhluk bernyawapun harus tetap setia terima semua yang ada. Bulir- bulir peluh kemudian dianggap sebagai sebuah bentuk kewajaran. Bisa jadi hal itu dinobatkan sebagai bukti masa kekuasaan bumi oleh gerah. Yang ada hanya kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan gerah. Dan perempuan itu adalah bagian dari nyawa yang harus mau tak mau mengikuti semua kebijakan itu. Termasuk kerelaan untuk terus berpeluh dan mengeluh atas penguasa bumi yang baru ini.

Well, perempuan itu mungkin terlalu mendramatisir keadaan. Tapi perempuan itu benar begitu terganggu oleh gerah ini. Rambutnya juga merasa begitu terkungkung karena tak mungkin bisa menggerai panjang. Benar- benar tak mungkin. Perempuan itu sudah mengatakan padanya untuk terus menggulung diri. Lalu baju pilihan dirumah hanyalah daster. Waktu hanya berisi pergantian pengabdian daster satu dengan lainnya. Tubuhnya terasa begitu keberatan jika dia mengatakan akan beranjak dari rumah untuk tujuan tertentu. Bukan karena tubuhnya adalah seonggok pemalas. Karena dia lalu harus tersiksa dengan balutan pakaian lain. Yang dimaui hanyalah daster. Dan tidak akan pernah yang lainnya. Jeans plus jaket kemudian menjadi hantu menyeramkan bagi tubuhnya yang kegerahan itu. Sayang sekali, perempuan itu tak bisa berjuang demi tubuhnya yang sedang tertindas kebutuhan dan keadaan itu. Maafkan perempuan itu…

Gerah bahkan telah memaksanya rela tidur terpisah dengan lelakinya. Malam tadi dia terlelap di tempat tidur. Hanya berteman gerah yang datang tanpa tahu malu. Sedangkan lelakinya memutuskan untuk terlelap diatas lantai tanpa alas apapun. Lelaki itu bilang benar- benar tak tahan oleh gerah ini. Perempuan itu bukannya tidak lagi setia pada lelakinya. Perempuan itu juga sebenar- benarnya tak pernah tahan dengan jajahan sang gerah. Sebenarnya, perempuan itu juga sedang berkubang dalam peluh. Peluh oleh gerah yang bercampur dengan peluh sisa- sisa persenggamaannya dengan lelakinya beberapa waktu yang lalu. Tapi dia tak pernah bisa tahan tidur diatas lantai, apalagi tanpa alas apapun. Bisa- bisa dia masuk angin esok paginya…

Perempuan itu tak pernah tahu pasti berapa suhu udara belakangan ini. Papi salah seorang sahabatnya pernah mengatakan, “Huihh…panasnya seperti di emperan neraka”. Lalu perempuan itu mulai membayangkan bahwa neraka berbentuk deretan panjang toko- toko yang emperannya selalu panas akibat atap seng yang dipakainya. Lelucon yang cukup lucu….

Lalu perempuan itu biasa mengatakan, “Ya ampun panas sekali. Belum lagi di neraka ya…!!!”

Gerah begitu menyebalkan…

Bahkan saat sekarangpun perempuan itu sedang berusaha mengalihkan perhatian dari tetesan peluh yang aliri tubuhnya. Dia mau melupakan bulir- bulir itu.

Sudahlah, tak ada gunanya mengeluh lagi…

Perempuan itu lalu pergi menuju entah mana lagi. Mungkin pada akhirnya dia akan menganggap gerah sebagai bagian dari takdirnya. Takdir yang tak bisa diubahnya, persis sama seperti lelaki itu baginya…

Sebentar. Sebelum perempuan itu menutup kata, dia sempat bertanya padaku; “Apa kamu juga merasa begitu tersiksa oleh gerah sepertiku?

Ya iyalah…sama sepertimu. Sama persis, bahkan. Dan aku juga melakukan hal yang benar- benar sama dengan apa yang kamu lakukan. Sama persis. Benar- benar tak ada bedanya. Sedikitpun tak ada.

Tak ada yang benar- benar sama persis di dunia ini selain hal itu sendiri.

Oh ya???




Cukup…
17:13

Wednesday, April 8, 2009

Sumpah I Love You...

Mojokerto
8 April 2008
Pada sebuah Rabu yang gulita
Malam menjelang Pemilu Legislatif 2009


Bumi sudah gulita. Lampu- lampu sudah dipanggil menggantikan mentari yang beberapa jam yang lalu sudah menutup mata. Lalu bumi sedikit merasa benderang. Meski hanya di beberapa belahan sisinya saja…

Aku masih menyapu waktu di salah satu ruang rumah dengan televisi beberapa inchi ini, yang menyala gempita. Stasiun TV berebut menarik hati. Lalu kuputuskan memilih salah satu diantaranya. Sebuah acara musik malam di sebuah stasiun bernama Trans 7. On the Spot hadirkan Mahadewi dengan Sumpah I Love You…

Mataku telah buta
Tak dapat melihat wajah yang rupawan lagi
Selain dirimu…
Hatiku sudah mati
Tak dapat merasa kerinduan yang lain
Selain dirimu…

Sumpah I love you
I miss you
I need you
Aku tak bisa musnahkan
Kamu dari otakku

Lalu otakku mulai bereaksi bagai larutan yang teroksidasi udara. Menggeliat pelan. Mencoba memaknai deretan lirik berbalut nada itu.

Untuk lelakiku itu…

Aku sungguh berharap untuk bisa rasai lirik itu. Untuk benar- benar mendapati perasaan yang persis sama dengan deretan panjang kata- kata dalam lagu itu. Aku mau mataku menjadi buta dan tak lagi mampu melihat wajah yang rupawan lagi selain kamu. Pun aku begitu mau hatiku mati rasa lalu tak lagi mampu merasai kerinduan untuk yang lain. Aku begitu ingin semua bagian pada diriku hanya mengkiblat pada kamu. Aku sungguh punyai harap agar bisa mengarahkan hati pikirku padanya. Begitu ingin aku hidup seperti apa yang dikata Mahadewi itu…

Mungkin benar katamu. Bahwa aku tidak bisa setia hati dan laku hanya padamu. Bahwa aku tak pernah bisa menjaga perasaanmu. Bahwa aku selalu membuatmu merasa ketar- ketir dan cemburu. Tapi harap kamu tahu satu hal. Bahwa aku hanya mau mengalihkan beban hidup. Bahwa aku tak pernah punya sedikitpun niatan untuk melangkah sendiri atau dengan lelaki bersebutan lain. Percayalah…

Lelakiku…
Aku sadar kekuatan hatiku. Hanya aku yang sepenuhnya memahami kadar hatiku ini. Karena sebenarnya sampai saat inipun hatiku tidak pernah benar- benar mengingini siapapun. Karena memiliki adalah kesiapan untuk tersakiti. Dan dimiliki adalah kesiapan untuk kehilangan bulir- bulir kebebasan. Dan aku tak mau itu. Jika pada akhirnya aku berakhir dengan kamu maka kuanggap itu sebagai sebuah takdir yang bahkan aku sendiripun tak pernah punya daya untuk merubah. Dengan siapapun aku sekarang, aku tak pernah berhenti melangkah puaskan diri mengukur kekuatan hati. Karena aku begitu yakin bahwa aku tak akan pernah mengingini untuk memiliki pun dimiliki oleh siapapun. Bahkan aku tak pernah berfikir untuk memiliki sekaligus dimiliki lelaki. Aku hanya mau bebas merasai apapun yang aku ingini…

Lelakiku…
Maafkan aku…
Maaf karena aku tak pernah punya cara benar mencintaimu…
Maaf karena aku selalu gagal menjaga perasaanmu…
Maaf karena aku tak pernah rela kehilangan kebebasanku…

Lelakiku…
Aku tahu begitu menderita bersama manusia sepertiku. Karena semua yang aku rasa tak pernah sama dengan yang seharusnya. Karena aku selau punya cara sendiri untuk nikmati semuanya. Dan karena itulah aku tak pernah sanggup berikan kebahagiaan mutlak bagimu. Maafkan aku. Maaf karena tak pernah mau dan bisa menjadi sama dengan wanita- wanita lain…

Tapi, aku mau kamu percaya penuh padaku. Percaya karena aku tak akan pernah menjauh darimu. Dengan siapapun aku menjajal hati, namun aku terlanjur menganggapmu sebagai sebuah takdir. Dan kamu adalah takdirku yang tak bisa dirubah. Maka aku akan selalu ada untukmu…


19:34
Para nyamuk sedang asyik melenggang...

Tuesday, April 7, 2009

Berita dari Ratri...

Mojokerto
Tertanggal 6 April 2009
Masih di sebuah Senin
14:20


Begitu cepat hati berubah rasa. Pagi tadi aku masih nyaman dengan semua yang aku punyai. Sekaligus dengan semua yang masih belum kumiliki. Lalu aku bisa dengan perasaan lenggang mengukir kata tentang televisi. Aku merasa begitu bebas dan punya kuasa atas diriku sendiri. Aku bahagia dengan apa yang aku miliki. Pun aku tidak pernah keberatan karena tidak memiliki apa yang sudah dimiliki orang- orang lain. Aku merasa begitu baik- baik saja dengan apa yang ada. Dan yang paling penting adalah aku bisa merasa begitu bahagia…

Namun hari tetap berlari hingga kemudian aku bertatap muka dengan siang yang muntahkan aku pada kesadaran tentang keegoisan serta idealisme seorang aku. Dan aku mulai merasa begitu tertinggal dari yang lain. Aku merasa tak mampu beri bahagia dan bangga bagi semua yang ada disekitarku. Dan aku merasa begitu bodoh karena punya tingkat egois dan idealisme terlampau tinggi. Dan aku mulai mempermasalahkan apa yang belum aku punya. Kemudian aku merasa sungguh gagal…

Pun kini hari sudah semakin rapat dengan sore. Sebuah pesan pendek kuterima dari seorang sahabat, Ratri. Beberapa baris kalimat tertera disitu…

“Bad news, Ai. Aku dah ga punya teman kerja lagi. Dah dipecat seminggu yang lalu. Nganggur lagi. Cobaan lagi…”

Kemudian beberapa rasa terasa berkumpul. Yang paling awal terasa adalah terkejut. Kupikir Adri dan Ratri sedang hidup dalam lingkaran kenyamanan. Kupikir mereka sedang asyik memadu hidup bersama senyuman. Ternyata tidak!!!Kemudian aku merasa sedikit melega. Kenapa? Karena aku merasa tidak sendiri. Aku merasa sedang tertinggal di suatu titik dengan beberapa sahabat yang begitu setia. Lalu aku mempertanyakan; Apa kesetiaan persahabatan harus dibuktikan dengan cara seperti ini? Apa harus? Aku, Ratri, Adri dan Naen sedang berada pada titik yang sama. Kami sebenarnya sedang menangis bersama- sama. Kami sedang saling menggenggam tangan dan enggan ditinggalkan. Lalu jalan terbaik adalah salah satu diantara kami harus berdiri lalu kembali berlari meraih mimpi sambil menarik tangan kami. Mungkin dengan cara itulah kami bisa lepas dari titik kali ini.

Terus terang, aku begitu bosan harus terus menuliskan keremangan seperti ini. Aku begitu lelah terus merasai lelah ini. Aku begitu ingin mengganti tema Asunaro. Mengganti keremangan ini menjadi kehangatan bahagia. Kapan waktunya? Semoga segera…

Aku sedang begini…
Yang kutahu Adri dan Ratri sedang mendung…
Lalu bagaimana dengan Naen?
Apa dia juga sedang meremang?
Ataukah dia sedang bergelimang senang?
Aku yakin kami sama…
Karena kami adalah sahabat setia…



Hari benar mendung
14:55

Televisi....


Mojokerto
Pada sebuah Senin muda
Tertanggal 6 April 2009
10:44


Huuhh…Akhirnya aku bertemu kembali dengan hari ini. Sebuah Senin. Sebuah kesendirian lagi. Lelaki itu sudah melebur bersama udara pagi tadi. Apalagi kedua orang tuaku yang menjemput pagi di halte terawal. Akulah yang sendiri disini. Bersama beberapa helai harapan kosong karena nyatanya aku masih begitu enggan berharap lagi. Well, sebenarnya aku tidak begitu sendirian. TV masih nyaman menjadi temanku pagi ini. Lampu putih ruang tengah inipun sengaja kuminta menggantikan kehadiran matahari yang tertutup dinding. Aku segera menghela nafas dalam. Tak tahu juga untuk tujuan apa…

RCTI sedang menampilkan tayangan rating tingginya, Dahsyat, yang bernyawakan Olga Syahputra, Raffi Ahmad juga Luna Maya yang adalah wanita sempurna bagi lelaki mayaku kala itu. Omar Randu begitu menyanjung tinggi Luna Maya. Lalu aku mulai tidak menyukai Luna. Maafkan aku, Luna.

Lalu Global TV sedang menghiburku melalui telenovelanya, Marichuy. Sedikit melawan arus hiburan masa kini yang sedang begitu didominasi oleh program musik pop Indonesia yang sekarang jadi penguasa di negerinya sendiri. Meski demikian, telenovela sempat juga menjadi ratu di jagad hiburan negeri merah putih ini. Hampir semua stasiun TV gandrung menayangkan telenovela, mulai dari Maria Marcedes, Maria Cinta yang Hilang, Kassandra, Rosalinda dan entah apalagi.

Sedangkan Trans 7 sedang asyik menyajikan 60 Minutes-nya. Sebuah acara musik yang dipadukan dengan beberapa tantangan untuk beberapa remaja ibukota yang sengaja dicari pembawa acara di beberapa tempat. Kali ini tantangannya bernama Tantangan Suit Istimewa. Beberapa remaja itu diadu suit dengan sesamanya. Yang kalah harus makan telur, mentega atau susu coklat yang sudah tersedia rapi diatas meja taruhan. Dan pemenangnya mendapat tunai Rp.350.000. Taruhan selesai. Sekarang waktunya D’Masiv datang dengan Cinta Sampai Disini…

Aku mengganti channel TV.

Kini sedang terhenti di Trans TV yang sedang nyaman mengumpulkan Rupiah melalui penayangan iklan- iklan seperti Molto Ultra, Shower to Shower, Rexona, Sprite Zero (aku masih belum sempat mencoba rasa baru ini. Mungkin kapan- kapan saja), Citra sabun cair, Sunlight dengan agen 1000 nya. Selesai. Sekarang sedang ada Insert. Program gosip unggulan halte TV ini. Berita pernikahan Nirini dan Ernest. Baiklah, semoga mereka berbahagia. Selamanya. Amin. Tapi sayangnya aku tidak terlalu tertarik pada pernikahan bintang itu. Sama sekali tidak terlalu ingin tahu. Artinya, aku masih bersedia menonton meski tak terlalu memasang telinga dan mata untuknya.

Well, aku ingat beberapa tahun yang lalu. Saat aku masih dicatat mahasiswa Sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang angkatan tahun 2001. Kala itu aku menobatkan diri sebagai Manusia Bebas Asap TV. Bukan asap rokok lho! Mmmmm…kala itu aku dengan pertimbangan khusus mencanangkan batas maksimal jam nonton TV. Cuma 2 jam sehari semalam. Jadi aku masih harus mencari- cari kegiatan lain untuk dilakukan dalam 22 jam sisanya. Tidur, ibadah, membaca, belajar, mencari uang saku tambahan dan bersenang- senang masuk dalam daftar kegiatan yang harus dilakukan setiap hari. Dan aku berhasil!!! Hingga sekarangpun aku tidak terlalu hobby nonton TV. Bahkan bagiku sekarang TV lebih berperan sebagai teman yang menambah gempita rumah. Bukan sebagai sarana hiburan wajib tonton. Meski demikian aku hampir tidak pernah menjadikan TV sebagai nada nina bobo mengantarku menjemput mimpi. Bagiku, begitu tidak pantas membiarkan TV menyala sedang kita sendiri sedang tidak menyala. Gunakan energi sesuai dengan kebutuhan. Aku tergolong bawel dalam hal ini.

Kembali menghela nafas panjang. Juga dalam. Terasa sedikit lega rasanya…

Lalu kini aku beralih ke SCTV yang kebetulan sedang merubah diri jadi wahana iklan. Beberapa iklan bergantian tampil di layar. Tak perlu aku sebutkan.

Sebentar, aku perlu ke kamar mandi dulu. Nescafe original 3 in 1 tadi pagi rupanya sudah menunjukkan taringnya. Aku jadi lebih sering pipis. Ups, maaf…

Sudah…

Aku ingin makan. Sebenarnya. Alasannya bukan karena lapar. Tapi karena menunya yang begitu menggugah lidahku untuk kembali merasai. Menu sederhana. Namun pengaruhnya begitu kuat mengikat lidahku. Sambal tomat pedas ditambah lalap kacang panjang muda dipadukan ikan bandeng, pindang dan tempe. Wiueeehhh, benar- benar menyayat lidah. Tapi aku akan menahan diri. Menunda diri untuk tidak makan barang beberapa lama lagi. Jarak makan pagiku masih terlalu pendek. Cuma 3 jam. Kupikir waktunya harus diperpanjang dulu. Setidaknya sampai 4,5 atau 5 jam. Baiklah, aku harus berhenti membahas menu. Bukan lambung yang marah, melainkan lidah yang mungkin akan semakin ngambek.

Menghela nafas panjang lagi…

Apalagi yang harus kutuangkan ya?!!
Belum ada ide lagi tuh…

Aduh, aku tidak lagi tahan mendengar rengekan lidahku. Aku makan sekarang. Demi lidah. Bukan demi kepentingan lambung….

Aku makan dulu ya…


11:47
Diakhiri dengan ritual mengisi perut…
Manusiawi sekali…

Saturday, April 4, 2009

Disaat apa yang ada terasa begitu tak berasa...


(Sayangnya aku masih juga di) Kediri
Sehari setelah pernikahan Adri dan Ratri…
Pada sebuah malam yang terasa begitu senyap meski semua masih belum terlelap…
21.43



Aku merasa sedang terhempas begitu jauh dari yang dinamakan kenyamanan hidup meski dengan sekuat rasa aku berusaha tetap berada di tengah hingar- bingar dunia malam. Nyatanya aku merasa ada saja bagian yang hampa. Tawa- tawa yang terdengar bukanlah dariku. Aku hanya membisu sendiri dengan notebook ini. Berusaha menikmati dunia lewat sebuah layar 14” yang bisa dengan sabarnya membawaku pada apa yang kuingini. Pada sebuah malam temaram

Terlalu banyak yang sedang kutahan rapat karena aku tidak yakin dengan kemampuanku dalam mengkonversikannya dalam bentuk kata bernyawa.

Sejenak kuhirup aroma bunga itu. Empat batang bunga Sedap Malam yang memang kukagumi karena aroma sedapnya di malam hari. Menghela nafas sambil merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai tak sedap dipandang. Meski aku sedang hanya berteman entah, tetap saja aku merapikannya, dengan alasan kenyamanan menangkap rasa.

OST. Cayman Island by Kings of Convenience
Bahkan denting senyaman inipun masih saja gagal ubah tema hatiku.

Yang aku rasa adalah kehilangan semua yang ingin kurasai. Kehilangan entah apa, yang jelas aku merasa sangat kehilangan. Rasanya tidak ada lagi yang bisa dirasai. Dan, percayalah ini rasanya begitu menganggu. Disaat apa yang ada terasa begitu tak berasa.

Permainanku dengan lelaki mayaku itu juga sudah tidak lagi bisa menyalakan jiwa padamku. Yang sedang aku lakukan bersamanya hanyalah berusaha mempertahankan posisi agar aku tidak jadi pecundang dalam permainan hati ini. Hanya itu saja. Aku baru bisa keluar dari arena saat dia benar- benar yakin aku terlalu berharga untuk begitu saja dilepaskan bahkan dilupakan. Itu saja tujuan akhirku. Bukanlah semua pasti mau jadi pemenang dalam setiap permainan? Begitu manusiawi karena memang aku hanyalah manusia bernyawa biasa.

Buku- buku itu bukan lagi teman yang baik. A Mild ataupun LA Light juga tidak terlalu setia padaku lagi. Bahkan dering handphone pun tidak terlalu menarik perhatianku lagi, kecuali deretan nomor lelaki mayaku itu yang tampil dilayar. Itupun hanya dengan obsesi menjadi pemenang. Intensitasku bersinggungan dengan nada kata juga sudah semakin menurun. Aku sedikit meragukan kemampuanku menulis kata hati. Para kolega nyata juga sedang nyaman dengan kehidupannya sendiri sehingga sangat tidak mungkin aku kemudian datang terlalu sering hanya untuk berbagi jeritan. Mereka tidak akan bisa mendengarnya karena terlalu lirih, mungkin. Lalu aku mau kemana sekarang?

Tiba- tiba aku merasa ada yang akan menyembuhkanku. Menghambakan waktu sejenak pada film! Baiklah, aku akan segera mengawalinya sekarang. Kalaupun tidak sekarang, setidaknya aku akan segera melakukannya. Really soon!



Aku pamit sekarang…
22.12

Indahnya sebuah kehampiran....

(Masih) bersetting Kediri
10:14
10 November 2008, di suatu Senin pagi….
Indahnya sebuah kehampiran…


Udara masih juga bersahabat. Langitpun masih memilih warna kelabu untuk membuka hari ini. Hari ini tidak bisa dikatakan cerah tapi karenanya hatiku menjadi tenang karena merasa tidak sedang diburu mentari yang kadang datang bawa gerah. Aku merasa nyaman…

Cuaca seperti inilah yang selalu aku cinta. Dan kini kudapati di Kediri. Aku baru sadar kalau ternyata Kediri juga mempunyai deposit cuaca seperti ini. Atau mungkin dulu aku masih terlalu tidak bisa menerima kenyataan bahwa Kediri adalah setting hidupku jadi semuanya terasa jauh dari kata indah. Meski sekarangpun aku masih merasa biasa- biasa saja terhadap kota tahu ini…

Well, ini kedua kalinya aku menulis dengan hati yang tak sedang teriris miris. Aku sedang nikmati pagi dengan nyamannya. Serasa tidak ada beban apapun yang sedang bertengger di pundakku. Rasanya begitu ringan. Menurut perkiraanku, hal ini merupakan efek kehampiran yang sedang aku alami. Hampir beralih ke tahap dan (mungkin) setting kehidupan lainnya. Selanjutnya masih berupa misteri jalan tak bercahaya…

Biasanya sesuatu yang akan ditinggalkan akan tiba-tiba melahirkan keindahan hingga makhluk fana sepertiku akan merasa berat melangkah ke jalan lain. Namun entah karena apa, hal itu tidak terjadi padaku. Aku hanya merasa ringan. Tidak terlalu terjebak dalam dilema keindahan masa yang hampir disebut sebagai masa lalu ini. Semuanya tampak biasa saja sehingga aku merasa “ya sudahlah, mungkin memang masaku di Kediri sudah habis dan aku memang sedang ingin merasai setting kehidupan lainnya”. That’s all! Terkesan begitu sederhana meski aku tidak berusaha menyederhanakannya…

Aku berusaha memanggil kembali ingatanku tentang kota ini beserta semua komponen di dalamnya. Memang aku bisa memanggilnya kembali tapi semuanya terasa biasa. Semuanya terasa tidak perlu terlalu ditangisi. Bukannya tidak berkesan tapi terkesan biasa saja. Entah apa penyebabnya…

Sebuah “kehampiran” memang adalah puncak keindahan. Semua terasa begitu patut dinikmati. Kini aku mulai berharap untuk selalu berada dalam fase kehampiran seperti ini. Hampir meninggalkan masa sekarang dan hampir tapaki jalan gelap lainnya…

OST. Malaikat Juga Tahu oleh Dewi Lestari.
“Namun tak kau lihat terkadang malaikat tak bersayap tak cemerlang tak rupawan…”
Sampai detik ini aku masih juga menggagumi Lukman Sardi. Hebat!

I do love the almostness…

Kubiarkan waktu terus berlalu agar aku beralih pada kehampiran yang lainnya…
Semoga hari ini benar indah…



Tanpa serangan I hate Monday syndrome…
10:38

Tertanggal 5 Februari 2009...

Mojokerto
5 Februari 2008
Pada sebuah Kamis siang dengan angin membumbung….



Aku sekarang suka melamun. Merasa bosan dengan kealpaan harapan dan selalu datangnya beban- beban. Bahkan menuangkan perasaan dalam catatanpun bukan pilihan terhebat untuk singkirkan muramnya perasaan. Harus ada cara lain usir kesepian. Lalu aku putuskan untuk melamar lamun menjadi teman.

Beberapa pucuk harapan yang dulu berdiam dalam jiwa insaniku kini lenyap teriris gerimis hari kemarin. Kini tak ada apapun. Pucuk- pucuk itu tak lagi mampu tepati janji untuk selalu nyamankan perasaan. Ini bukan yang dia harapkan, aku yakin. Pengingkarannya, mungkin, karena musim ini bernama penghujan. Perjuangannya harus berakhir dengan kekalahan lalu harus terima untuk dihilangkan. Setelah pucuk- pucuk harapan itu tak lagi berpengharapan, aku harus terus hidup bersama ketidaknyamanan. Tapi aku harus terus terlihat nyaman agar terhindar dari pertanyaan- pertanyaan “mengapa” dari orang lain.

Baiklah. Aku menyerah. Aku tak mau lagi bersikukuh. Aku sudah sedikit lelah dengan beberapa tingkat lemah. Tak lagi mampu bermimpi terlalu tinggi dan pongah. Takut kembali ditinggalkan harapan yang kala itu masih hanya sebagai pucuk- pucuk kecil tanpa rasa serakah. Lalu kemana lagi aku mau melangkah? Biarkan aku sedikit waktu untuk berbenah.

Bolehkah aku menghela nafas? Sebentar saja agar aku sedikit merasa bebas meski hidup menghimpitku dengan begitu keras. Wajahku sudah tampak begitu memelas hanya untuk menipu hidup agar hidup tak lagi bertindak terlampau keras padaku yang kini sudah melas. Sebentar lagi airmata pasti akan melangkah deras. Tapi aku akan membujuknya datang di teras wajah orang lain saja; hanya karena satu alasan lugas. Aku tak mau dianggap kalah dan tertindas.

Aku hanya perlu rehat sebentar. Hanya sekedar untuk melepaskan semua indra dari tuntutan peran.

Thursday, April 2, 2009

Dengan perasaan tak berguna...

Kediri
2 Desember 2008
Pada sebuah Selasa siang yang (seperti biasa) terasa begitu gerah



Hari ini adalah hari keduaku pada status baru ini. Terasa begitu membosankan. Tidak ada lagi yang bernama rutinitas karena semua bisa dilakukan kapan saja tanpa jadwal pasti. Aku sebenarnya tidak keberatan dengan status dan hilangnya rutinitas itu. Aku hanya merasa miris kala mengingat betapa tidak bergunanya aku sekarang ini. Tidak melakukan apapun demi orang lain. Batinku begitu sakit menyadari keberadaanku disini.

Masalahnya bukan karena aku merasa ingin dan seharusnya kembali ketempat semula. Sungguh bukan itu! Kalaupun aku kembali ditanya tentang kemauanku, aku tidak akan menjawab aku mau kembali kesana. Aku tidak terlalu berminat kembali pada sesuatu yang dulu pernah kurasai. Ada banyak kecewa disana.

Masalahnya adalah perasaan tidak berguna ini. Itu saja. Terus berada dirumah sama halnya dengan memperkuat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun membutuhkanku hingga aku akhirnya terpaksa memilih untuk tetap tinggal. Penghiburanku sekarang adalah melewatkan malam berada entah dimana, yang jelas diluar rumah. Dengan begitu aku merasa biasa. Aku merasa tidak ada yang berbeda karena disaat aku masih punya rutinitas dulu aku juga meluangkan waktu untuk bersenang- senang di malam hari. Terasa tidak ada yang beda meski sebenarnya semua tidak lagi sama.

Aku khawatir otakku berhenti bekerja maksimal karena terlalu lama tinggali kenyamanannya tanpa harus dipaksa untuk menjadi lebih produktif lagi. Aku juga tidak mau ragaku terus menjadi lunglai karena merasa tidak perlu harus melakukan sesuatu. Bathinku sudah jelas merasa malu. Ditambah lagi dengan dugaan bahwa kolegaku akan perlahan namun pasti segera menghapus aku dari ingatannya karena tertimbun oleh ingatan lainnya. Tetap saja aku tidak mau kembali.

Mungkin aku adalah manekin bumi yang lengkap dengan kostum idealis dan aksesoris keras kepala. Merasa selalu yakin akan dikagumi untuk kemudian dibeli dan dinikmati pembeli. Beberapa penggal nafasku memang begitu keras. Aku masih merasa begitu yakin untuk bisa segera dapati kebahagiaan jenis lain. Semua pasti ada saatnya. Lalu kini aku mendoa agar aku segera dipertemukan dengan saat itu agar aku tidak lagi merasa tersingkir dari percaturan bumi ini.

Aku masih juga disini melukiskan apa yang dilukiskan hatiku. Jemariku semakin lincah berdendang diatas keyboard karena hanya ini yang aku harapkan bisa jadikan aku sedikit lebih berguna.

Tidak sedikit orang mempertanyakan keberanianku (atau bisa juga disebut kenekatanku) untuk memutuskan keluar dari zona aman. Sebuah keputusan yang mungkin jarang terlintas dibenak para fana lain. Butuh keberanian super untuk memutuskan menapaki jalan gelap lagi setelah selama beberapa penggal waktu berada di jalur bebas hambatan.

Aku kembali menjadi begitu lemah. Terus saja merasa ingin ungkapkan rasa lewat airmata. Aku takut terjebak dalam idealismeku sendiri. Takut kalau aku tidak lagi mampu bangkit membangun istana bahagia. Aku kuatir kalau aku tidak lagi punya keberanian untuk menjalani resiko dan membuka jalan bagi cahaya bahagiaku.

Sejatinya aku sedang mempunyai banyak sekali pilihan yang masing- masing diantaranya akan membawaku pada akhir yang berbeda. Entah menjadi lebih baik, lebih buruk dulu untuk kemudian mata awasku merasa perlu harus bekerja lebih keras lagi untuk capai baik, atau selamanya berada dalam tidak baik. Terlalu banyak pilihan itulah yang membuatku melemah, sisi Geminiku mendominasi hingga aku kehilangan keberanian untuk yakin pada satu jalan untuk kemudian terus melaju sampai dapati akhir.

Raga dan hatiku melemah dan merasa sangat perlu dihibur sesuatu. Seingatku aku belum pernah merasa selemah ini. Meski dulu aku pernah jalan terseok tapi keyakinanku capai titik puncak. Tapi kini rasanya keyakinan dan jiwaku sedang sama- sama melemah. Takut menarik keputusan lanjutan.

Aku harus bagaimana? Aku tidak mau lemah. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan siapapun. Mulai sekarang aku akan tentukan arah lagi. Aku tidak lagi mau perduli terhadap arah angin yang mungkin akan mengganggu langkah kakiku. Sekuat apapun angin membawaku kembali, aku masih tetap bisa melangkah maju. Bedanya hanya pada jarak tiap langkah kaki ini, tidak akan terlalu jauh, namun tetap saja namanya adalah melangkah.

Aku mau merasai semua yang memang aku maui. Bukan atas dasar ilmu yang kugenggami karena kutahu hal itu tidak terlalu nyaman. Aku harus mendobrak pintu untuk bisa keluar dari konvensi dan pikiran orang lain. Aku tidak lagi mau perduli. Biarlah aku dianggap remeh. Aku hanya mau merasai bahagia versiku sendiri. Itu saja. Aku sudah memutuskan untuk lebih kuat. Hari ini aku menunaikan niat. Belum juga tahu kapan jadikan niat itu sebagai nyata. Aku tidak mau lagi merasa tidak berguna. Aku harus segera bergerak tembus konvensi. Cari bahagia dan bebaskan jiwa. Aku sudah memutuskan keluar secara baik- baik dari dunia formalitas. Aku harus konsisten. Tidak ada lagi penyesalan pun keinginan untuk kembali. Harus membuat jalan sendiri.

Aku mau undur diri dari rasa sepi. Berpamitan baik- baik dari rasa tidak berguna. Aku mau segera masuki dunia tanpa nama yang bisa sajikan bahagia untuk seorang fana sepertiku. Kini aku siap. Segera mulai rasai nyawa baru.

Nyatanya aku masih juga merasa tak berguna…
Karena aku masih disini sambil berusaha mencari cara luapkan rasa…
Harusnya aku lakukan sesuatu untuk orang lain…
Agar jiwa dan ragaku merasa dibutuhkan…

Aku merasa lega hanya saat terlelap meski tidak mudah untuk mengatupkan mata saat otak sedang berontak. Aku mau terus pulas agar semuanya terasa baik- baik saja.

Kipas angin itu terus berusaha menghiburku…
Aroma sedap malam ini memang kukagumi…
Sekian untuk saat ini…

16.11

Malam bergerimis...


Mojokerto
Di tengah gerimis yang enggan meringkas diri…
25 Pebruari 2009
Pada sebuah Rabu malam
22:17



Rasaku melega. Hari rasanya berlalu dengan kecepatan sedikit meninggi. Begitu cepat aku bertemu dengan pertengahan minggu yang akan segera mempertemukanku dengan akhir pekan yang selalu mengesankan. Tak banyak yang sudah aku kerjakan. Meski demikian aku merasa bisa melalui waktu secara cepat. Bagiku setiap hari berasa sama, tanpa pertanda. Setiap hari mempunyai rasa sinar mentari yang sama. Gerimis juga selalu setia padanya. Bahkan anginpun kadang datang dengan aroma hembusan yang cenderung sama. Arak- arakan warna langit juga masih sama juga; cepat berubah. Kadang begitu putih lalu tiba- tiba karena desakan musim akan segera berganti cat menjadi kelabu atau bahkan gelap. Jika bisa aku sedikit berkuasa maka semua hari akan kuberi nama sama. Karena bagiku semua sama. Tak ada beda. Bahkan sedikitpun tak berbeda.

Aku rindu nada persinggungan jemari dengan lantai notebook ini. Nada yang begitu nyaman tertangkap telinga. Nada yang begitu menjanjikan kebebasan rasa. Nada yang selalu memberi lega atas hatiku yang enggan mengembang. Nada yang ungkapkan romantisme benda mati yang mampu hidupkan nyawa suri. Entah apa yang benar terasa indah dari persinggungan jemari dan keyboard ini. yang jelas bagiku nada yang dilahirkan mampu sedikit sedekahkan ketentraman bagi jiwa. Dan malam ini aku sedang merinduinya.

Gerimis masih enggan undur diri. Mungkin dia mau lebih lama jadi bagian nyawa manusia. Ikut serta dalam hiruk pikuk kehidupan dan berharap bisa beri irama basah. Gerimis sedang asyik berpadu dengan malam sambil menimang- nimang keramaian hingga terlelap bersama sepi. Gerimis benar- benar mampu menyulap sore menjadi begitu senyap serupa dini hari yang masih dingin, sepi dan berembun. Kehidupan manusia seakan terbujuk untuk sejenak terhenti lalu merubah wujud manusia melalui lelap. Semua menjadi begitu nyaman bertegur sapa dengan mimpi. Tapi aku masih enggan menutup hari ini. Aku masih berharap bisa lukiskan kesenyapan malam ini. Agar suatu masa nanti senyap ini bisa kembali hidup dalam ingatan.

Angin muda tiba- tiba menyelinap masuk melewati pori- pori dinding dan lembut menyapa korden putih kamar luas ini. Mereka mungkin bercinta, mengingat hari sudah begitu sunyi sehingga indah bila bercinta. Biarlah mereka bersama- sama membakar birahi. Aku hanya mau hirup asapnya saja. Asap birahi benda mati yang sedang bercinta itu bisa jadi adalah penyedap rasa sunyi malam ini. Menciptakan aroma baru tanpa nama tapi begitu lezat jika dirasa.

Oh malam….

Malam selalu begitu aman bagiku. Ada banyak keindahan yang tersaji. Bisa dinikmati tanpa merasa tak aman. Mungkin karena keremangannya. Aku pecinta malam apalagi malam bergerimis seperti sekarang ini. Aku benar mencintainya. Dan tak pernah sedikitpun merasa harus jenuh oleh rasa cinta itu. Jika ditimbang mungkin akan terlihat jelas berapa karat rasa cintaku padanya dan karat itu takkan mengalami perubahan kuantitas pun kualitas. Takkan menambah pun tak kuijinkan berkurang. Akan selalu sama persis jumlahnya.

Mataku mulai mengingatkanku untuk segera menutup hari. Mereka sudah cukup lelah. Tapi aku masih merasa bahwa goresan ingatan ini masih terlalu sedikit untuk disudahi. Aku masih mau mengungkit beberapa hal lagi. Tapi entah apalagi. Mungkin aku masih butuh waktu sedikit lagi. Perlu beberapa waktu berjeda. Agar otak bisa lahirkan kandungan bayinya. Lalu kutuliskan disini. Lalu kulukiskan wajah bayi itu. Bayi sang ingatan.

Ah…sudahlah. Tak ada lagi yang kunanti. Baiknya aku menutup hari. Sudah saatnya memberi kesempatan diri untuk rehat. Rehat untuk kemudian hidup kembali pada masa dengan nama berbeda. Merangkak dan menyentuh Kamis. Melepaskan Rabu kembali ke udara lalu menghilang ditelan ketinggian.

Disini masih gerimis. Aku masih mendengarnya dengan jelas.

Aku mau mengatup lagi seperti malam sebelumnya. Sendiri juga. Berteman irama gerimis yang lagi merana lelah karena tak kunjung mereda.

Selamat beristirahat.
Selamat menutup hari.


22:59
Lelah….

Merekam malam tanpa seni...

Kediri
Pada awal bulan Desember 2008
Di sebuah hari bernama Senin yang (pasti) tidak akan berulang…
22.04



Malam sudah semakin melarut namun aku masih setia pada dunia luar. Aku merasa lebih bebas berada diluar karena udara bersih ini begitu erat pengaruhi hatiku.

Aku baru saja menitipkan bagian hidupku di sebuah tempat bernama Juice 22. Bersama seorang lelaki yang sampai saat ini masih rela membagi hidup dengan seorang manusia sepertiku. Meski sedang bersama, rasanya nyawa kami sedang menatap dunia yang beda. Aku sedang menyenggamai layar berisi kata ini sedangkan dia sedang bermesraan dengan layar lain dengan tombol kecil bernama handphone. Gelas juice apokat kami masih hampir penuh karena kami baru saja mengisi daftar hadir disini.

Lalu aku merasa ada yang masih perlu ditunggu kehadirannya. Sedikit hal yang masih kurang. Biasanya aku berteman beberapa batang rokok yang selalu mengajak serta asap dan api kecil yang artistik itu. Sekarang rasanya tidak begitu mungkin. Aku tidak sedang berada di ruang pribadiku dan aku tentu saja tidak mau dianggap murah dengan membiarkan putung rokok menyentuh bibirku.

Aku dan dia sedang bersama- sama singgungi bumi di larut ini. tetap saja kami memutuskan untuk menikmati malam dengan cara masing- masing. Aku tetap dengan otak dan isinya, sedangkan dia dengan sebatang rokok A Mild dan Mirc-nya. Aku tidak keberatan dengan semua yang ada sekarang.

Beberapa lelaki malam masih berusaha nikmati heningnya malam. Beberapa diantaranya membentuk koloni lalu memperbincangkan topik ringan meski aku yakin sepenuhnya bahwa otak besarnya tidak hanya berisi hal- hal ringan yang kali ini sedang tersaji dalam meja koloni mereka. Ada juga koloni lelaki malam yang sengaja menghabisi malam bersama beberapa teguk minuman haram. Tidak ada perasaan resah apalagi takut meski mereka beradius sangat dekat denganku. Bisa jadi jiwa pengecutku sedang menciut hingga aku dengan santainya berlayar dalam kapal malam yang sama dengan mereka semua.

Sebenarnya jiwaku tidak sedang goyah atau bahkan bersedih hingga sangat sulit bagiku untuk menikahkan deretan huruf- huruf ini menjadi kata- kata indah penggugah nyawa. Alasanku hadir disini hanya karena aku mau merekam masa ini, sebuah masa yang pasti takkan berulang (untuk alasan apapun) hingga membuatku merasa siap terus melangkah maju karena merasa punya media untuk kembali merindui lalu sedikit cicipi masa sekarang. Suatu saat dimasa depan nanti pasti aku akan kembali rindui semua yang sedang aku rasai malam ini.

Meski malam sudah melarut, lebih larut dari sebelumnya, tapi dingin masih juga enggan rapati ragaku. Masih saja aku merasa nyaman dengan semua yang ada. Aku masih tidak keberatan merekam hari disini meski seharusnya aku berada di ruang pribadiku.

Wajah para lelaki pencumbu malam itu tidak tertangkap jelas karena memang malam begitu erat memandu kelam bersamanya. Yang aku pastikan adalah mereka juga sedang mencari cara mengucapkan selamat datang pasti hari berikutnya.

Aku harus segera berakhir karena layar ini tidak mengijinkan aku menyenggamai malam dengan intensitas lebih tinggi lagi. Maka baiklah aku akan undur diri lalu meningkatkan konsentrasi pada juice apokat yang masih beberapa senti berkurang ini. Aku masih belum ahli membagi konsentrasi hingga semua hal harus dilakukan satu persatu.

Aku ingin merekam hari meski tak ada kata yang terdorong keluar dari ingatan…
Aku kembali mencintai malam…
Bahkan belakangan ini aku jadi jauh lebih mencintainya…
Mungkin karena hatiku sedang kurang berasa…


22.35
Terhenti oleh sebuah kondisi

Pada sebuah malam yang telah diliputi lelah...


Pada sebuah malam yang telah diselimuti lelah…
Masih juga bersetting Kediri
Pada sebuah Rabu tertanggal 26 November 2008



Perasaanku tiba- tiba melemah. Merasa tidak yakin akan bisa kembali dapati sebuah tempat lagi. Bathinku merasa enggan lepaskan hari ini. Aku mulai mendapati apa yang sebenarnya sedang aku cari dari sebuah kehampiran. Kali ini aku tidak sedang melebih- lebihkan rasa. Ini memang benar adanya.

Kebiasaan yang telah tertapaki sekian lama kini harus dilepas untuk kemudian digantikan dengan sebuah kebebasan mutlak atas kehidupanku. Tidak akan ada lagi keluhan tentang kelas- kelas menyebalkan. Jenuh atas rutinitas juga telah terhapuskan.

Masalahnya adalah apakah aku bisa tetap hidup dengan ketiadaan rutinitas. Lalu apa yang akan aku lakukan? Akan bahagiakah aku? Dimana aku akan berada? Dan yang terpenting adalah apakah namaku akan terus ada dalam benak semua yang sedang akan aku tinggalkan? Apa aku akan dirindui? Atau bahkan akan segera terhapus oleh penuhnya memori otak para kolegaku?

Aku mau terus hidup dalam hati semua fana yang sempat jadi bagian hidupku. Aku mau nyawa- nyawa lain terus menyimpanku. Memang terasa sangat tidak adil bagi mereka karena mereka akan hidup dalam sebuah kenangan akan aku. Aku yang biasa duduk disitu. Aku yang sering membuat keributan. Aku yang terkadang tidak bisa mengendalikan emosi. Aku yang selalu saja berpahit lidah.

Kesibukan akan menguburku dalam- dalam. Para kolega itu akan segera meniadakanku. Karena hidup akan terus tergantikan. Bagian diriku akan terserap oleh masa, lalu menguap bersama embun dan benar- benar hilang.

Aku merasa kehilangan sesuatu. Aku sedang merasa tidak mau dilupakan dan sangat takut dilupakan. Tapi akupun tidak berniat mengulang hari. Mengganti keputusan juga terasa sangat tidak mungkin. Akhirnya aku kembali pada “Hidup adalah keberanian dalam rasai resiko. Semakin kita bernyali tantang resiko, semakin hebat kita nantinya”.

Aku selalu saja takut kehilangan. Dan sekarang aku sedang sangat ketakutan. Rasanya ingin hentikan semua jarum jam agar tidak lagi berdetak. Agar waktu terhenti pada detik ini karena aku masih takut hilang, dihilangkan lalu kemudian kehilangan.

Besok farewell party buatku. Jika kemarin aku mendoa agar waktu segera bergulung, maka kini aku merasa seharusnya aku bisa lebih menikmati perjalanan waktu. Seharusnya aku merasai semuanya dengan puas dulu. Sebuah pesta perpisahan. Pesta bernama perpisahan itulah yang menampar aku keras seakan mengingatkanku akan sebuah akhir. Akhir dari semua yang selama ini aku lakukan. Mungkin aku akan bersedih untuk beberapa waktu. Kini aku mendoa agar segera temukan kebiasaan lain.

Aku mau semua merasa kehilangan aku…
Apa mungkin?
Tidak ada yang tak mungkin di dunia ini…
Yang membedakannya hanyalah kuantitas kemungkinannya…
Dan kali ini, aku yakin sangat kecil…
(sekali lagi kukatakan) Kesibukan akan menelanku mentah- mentah…
Aku akan segera jadi hilang…

Sejak sekarang aku benar- benar merasa sedih. Banyak sekali yang terpaksa harus kulepas bersamaan dengan pergantian status sosialku. Dengan kata lain aku akan kehilangan begitu banyak hal, beberapa diantaranya sebenarnya masih ingin aku nikmati.

Aku akan segera berjalan terseok lagi. Berjuang dapati sandaran untuk kembali berteduh. Beberapa saat saja, lalu (mungkin) kembali terseok mencari selanjutnya.

Malam menua…
Aku ingin akhiri ini…
Merapat pada maya…
Tak lagi merasa sedih dan sendiri…



11.09