Thursday, May 28, 2009

Senyum manis Asunaro...

Mojokerto
28 Mei 2009
Kamis ini terasa begitu segar…
18:09



“Ai, aku baru saja ditrima di prsh exim go publik di Sidoarjo, staf QC. Outsource juga” NAEN

Pesan pendek itu baru saja terbaca saat waktu sudah begitu dekat dengan Maghrib. Dan aku menyempatkan beberapa detik waktuku untuk membaca lalu turut berbahagia atas berita gembira itu. Perjuangan memang tak akan pernah sia- sia. Pasti akan ada hasilnya meski tak banyak yang mampu merasakan hasil perjuangannya itu. Akhirnya secara perlahan senyum kembali terundang dalam rumah sederhana keluarga Asunaro ini. Rumah mungil penuh arti yang terbangun di bulan April 2005 di Malang. Rumah yang setahun belakangan ini terlihat muram karena kami sedang sama- sama tertunduk kelu oleh kecewa…

“Alhamdulillah. Selamat ya, Naen. Kapan mulai kerja? Semoga ini akan jadi jalan penerang bagi kita semua. Bagi para Asunaro yang lain. Amin Amin Amin. Semangat!!!!”

Pesan itu kutulis untuk segera kukirim kepada Naen yang mungkin sedang menunggu reaksi gembiraku. Aku benar mensyukuri waktu yang telah begitu baik berikan kami sempat untuk kembali tersenyum manis. Setelah beberapa masa kami menangis dalam hati. Setelah beberapa masa juga kami mengubur diri dari luasnya dunia luar. Setelah beberapa masa kami mendoa untuk segera datangnya masa bahagia ini. Kata “Amin” tak cukup hanya terucap dan tertulis sekali saja. Karena, sungguh, aku begitu mengamini. Aku sungguh bersyukur…

Awalnya aku sudah menemui terangku sendiri dengan memutuskan untuk berkompromi dengan perubahan. Saat aku memutuskan untuk melebur kekerasan hati dan mengalir bersama semua kesempatan yang ditawarkan padaku. Dan aku memutuskan untuk menghindari kata “Tidak” atas semua penawaran. Lalu aku jalani semua dengan tanpa rasa. Hanya sebagai bagian dari kewajiban orang dewasa yang harus bekerja dan mendapati Rupiah. Itu saja. Lalu kurasakan kedamaian hati yang tak pernah kukira sebelumnya. Dan kini aku mulai merasakan keindahan dunia. Rasa dan bathinku sudah lepas dari pasungan rasa bersalah. Hatiku sudah kembali sejuk dan nyaman. Dan aku tak pernah berhenti mendoa agar Tuhan tak melepasku dari rasa ini. Aku memohon benar agar bisa selamanya bersahabat akrab dengan perubahan. Aku bermunajat padaNya karena hanya Dia yang bisa menjaga hati dan rasaku…

Lalu…

Sore tadi berita itu terbaca melalui layar handphone. Naen sudah menemukan jalan terangnya. Dia sudah kembali menyangga tegak kepalanya dan hadapi gempita dunia luar. Tentu saja, dengan senyuman. Dan aku kembali bersyukur. Benar bersyukur secara verbal, pun dalam hati meng-amin-i…

Aku dan Naen sedang merasakan sejuknya dunia….

Dan…

Aku yakin Ratri dan Adri juga sedang merasakan kesejukan yang secara bersama- sama aku dan Naen kirimkan sebagai angin. Tapi aku tak tahu pasti…

“Selamat Ulang Tahun ke 26. Semoga panjang umur dan mendapati semua yang terbaik. Semoga diberikan kesabaran dan kemudahan oleh Allah SWT. Dan amin atas semua doa- doamu…”

Ucapan ulang tahun itu teruntuk Ratri yang dua puluh tujuh Mei kemarin tepat menapaki gerbang dua puluh enam tahunnya. Kukirimkan melalui offline message Yahoo Messanger yang ternyata tak terbaca olehnya. Tapi aku yang tak pernah yakin benar dengan keakuratan teknologi telah menyiapakan kata- kata serupa yang kuketik menjelang pergantian hari dan kukirim saat hari masih begitu dini. Melalui bentuk teknologi lain, handphone. Untuk satu alasan yaitu aku tak mau menjadi yang pertama. Karena kini yang pertama haruslah Adri. Dan aku bisa memperkirakan betapa kecewanya Ratri jika akulah yang mendahui lelaki sepanjang masanya itu. Rasa kecewa yang tak bisa terdefinisi. Maka, baiklah, aku mengalah pada status. Dan aku mulai membayangkan kesejukan hati Ratri. Kesejukan hati seorang istri yang didampingi suami di saat- saat seperti ini…

Semilir doa…
Kecupan manis…
Kejutan kecil nan romantis…
Tatapan mata penuh cinta…

Hati Ratri yang dulu hanya menguncup kini pasti sedang bermekaran…
Karena Adri yang tak pernah henti membagi semilir cinta untuknya…
Ratri pasti sedang bernafas nyaman…
Karena lelakinya itu lupa berhenti bersyukur atas adanya…

Dan…

Ratri dan Adri pasti sedang terus memekarkan kuncup- kuncup senyum bahagia. Dimulai beberapa detik sebelum hari berganti nama dan tanggal berganti hitungan. Sederet doa dan ucapan semoga yang masih erat tertutup hati Adri sudah tak sabar ingin bertemu dengar dengan Ratri. Lalu datanglah masa yang dinanti. Saat Adri menjadi manusia pertama yang bersyukur atas kehadiran wanita sepanjang masanya itu. Saat dialah yang merasa paling beruntung atas adanya dua puluh tujuh Mei. Lalu kata- kata Adri pasti akan terdengar jauh lebih merdu dan syahdu dibanding apapun di dunia ini. Karena hatilah yang sedang berkata- kata. Karena cintalah yang sedang merapati hati. Kebersamaan yang betapa indah…

Jika aku boleh menerka, Ratri pasti kemudian mendoa lirih dalam hati bahagianya. Mendoa agar waktu sedikit lambat merambat. Agar dia bisa lebih lama rasai semua yang tersaji indah oleh lelakinya itu. Agar dia bisa terus nikmati tatapan mata yang begitu penuh oleh rasa syukur itu. Rasa syukur oleh hadirnya. Semua akan terasa dan dirasa jauh lebih indah. Karena hari itu tertanggal dua puluh tujuh Mei…

Dua puluh tujuh Mei pertama Ratri bersama Adri sebagai belahan jiwa sejati…

Asunaro memang sedang tersenyum manis…

Naen bahagia dengan keberhasilannya mendapati apa yang lama dia cari. Aku yang sudah lebih dulu bahagia oleh kompromiku dengan perubahan. Ratri yang begitu bahagia oleh luapan rasa syukur lelakinya. Dan Adri yang berlimpah bahagia sambil terus mendoa dan bersemoga untuk wanita tercintanya. Lalu, apalagi yang masih harus dicari kini? Sementara tak ada lagi. Karena kami sudah begitu sempurna dengan senyum kami masing- masing. Dan aku mendoa yang sama dengan Ratri. Mendoa agar waktu lambat merambat…

Selamat berbahagia, Naen…
Selamat tersenyum, Ratri…
Selamat berbahagia, Adri…
Dan selamat tersenyum untuk diriku…



19:16

Monday, May 25, 2009

Tautan hati...

Mojokerto
25 Mei 2009
Di sebuah Senin yang setia dan begitu mengabdi diri
19:37



Meski Smart enggan tersambung dan menyatu fungsi dengan laptop, hari ini terasa begitu setia. Rasa pengabdian begitu kuat mewarna hari. Apapun dilakukan untuk buktikan kecintaan. Bersama dengan tulus melayani. Tak ada beban terasa. Bahkan bahagia atas semua bentuk pengabdian itulah yang kemudian memperkuat ketegarannya hadapi semua yang tak mudah. Kali ini dia benar mengakui dirinya sebagai seorang istri yang seharusnya mengabdi pada suami. Dan menikmati pengabdian itu…

Meski kanvas kata ini tak mudah terjamah rasa manusia lain, tapi aku tak mau berhenti begini saja. Hanya aku yang bisa penuh memahami rasa ini. Yang lain tak mungkin bisa mengerti. Tapi aku mau terus mengukir kata untuknya. Untuk wanita yang besok akan mengganti usia itu. Untuk dia yang telah dengan tulus mengabdi diri dan hati pada lelaki pendampingnya itu. Untuk semua kesabaran yang dengan lancarnya dia alirkan untuk pendampingnya itu. Terus terang aku kagum padanya. Bukan karena apa yang telah dan sedang dia lakukan. Melainkan untuk perubahan besar yang telah dia lahirkan. Dia yang dulu begitu superior. Kini rela terimami oleh seorang lelaki. Aku salut untuknya. Untuknya yang ikhlas mengganti rasa atas nama pernikahan…

Baginya hari begitu jauh dari lelah. Letihpun seakan enggan mendekatinya. Meski tenaganya terbuang lebih banyak dari biasa, namun hatinya merasa begitu sejuk. Sejuk oleh pengabdian diri yang ternyata terasa laksana embun pagi. Yang ternyata mampu memberi terang pada lintasan jalan hidupnya. Yang juga ternyata bisa rapi melapisi ingatannya dari sengatan beban hidup yang sejak awal tahun ini dia keluhkan. Dia yang dulu enggan berjalan karena merasa tak punya arah kini merasa tak perlu lagi berjalan karena telah sampai pada sebuah tujuan hidup. Lalu dia berbahagia. Bahagia dengan pengabdian tulusnya. Dia tak punya pengharapan apapun selain tetap merasa mantap untuk menjadi istri yang baik bagi lelaki itu…

Besok dia berganti usia. Tak ada yang dia ingini lagi. Karena hatinya telah dapati apa yang dinanti. Karena hatinya telah tersirami bahagia. Karena dia telah mendapati sebuah kado paling istimewa dari lelakinya, yaitu kesempatan untuk mengabdi diri pada suami. Ternyata pengabdian itulah yang selama ini hilang dari nyawanya hingga dia merasa terseok selama beberapa masa. Dan kini dia tak lagi merasa perlu beranjak dari apapun. Semua telah terdapati…

Lelakinya itu telah begitu setiakan hati untuknya hingga kemudian dia merasa terpanggil untuk membalasnya dengan kebaikan jenis apapun. Dan kini dia melakukannya. Dan dia yakin bahwa lelakinya itu pasti begitu bersyukur akhirnya dapati seorang istri yang baik. Seorang istri yang seharusnya. Seorang istri yang adalah sebenar- benarnya istri. Bukan hanya seorang wanita yang hanya punya status menikah dengannya. Hati lelaki itu tersenyum manis nikmati semua yang ada. Lalu dia merasa begitu enggan tinggalkan wanita itu. Tapi bagaimanapun dia harus segera pergi. Tinggalkan wanita itu sendiri lagi. Mungkin kali ini hanya berteman dengan pengharapan untuk kembali mengabdikan diri untuknya. Lelaki itu benar harus segera menghapus hadirnya dari sisi wanita itu. Karena dia dan wanita itu hanya bisa bertaut hati. Tak mungkin bisa berharap lebih. Bukan karena tak mau. Melainkan karena pertautan hatilah yang paling hakiki. Hanya itulah yang terindah. Tak ada lain…

Dan…

Wanita itu mengharapnya tinggal lebih lama. Dengan alasan yang tak bisa terkata. Lalu dia hanya bisa mendoa agar lelakinya itu merasakan doanya. Agar mereka bisa bersama selamanya. Atau setidaknya sedikit lebih lama dari biasanya…

Hidup memberi mereka kesempatan untuk hanya memilih satu dari dua pilihan. Bertaut hati selamanya atau menyatu secara ragawi. Lelakinya memilih yang pertama. Sedang wanita itu masih mengalami kesulitan untuk memutuskan. Karena benarnya dia begitu mengingini kedua- duanya. Tapi putusan hanya ada satu saja. Tak boleh kedua- duanya…

Maka baiklah. Wanita itu kembali akan sendiri. Pun lelaki itu akan melayari hari sendiri juga. Tapi hati mereka saling mengikat…


Wanita itu berhenti melukis kata…
20:19

Thursday, May 21, 2009

Terimakasih, Mario Teguh...



Mojokerto
16 Mei 2009
Di sebuah Sabtu yang sedikit menggigil…
18:26


Hujan siang tadi baru terhenti oleh sore. Menyisakan dingin yang terbawa angin terbang hingga menyusup ari. Menyentuh lembut indra perasa hingga kemudian aku bisa bilang petang ini sedikit menggigil. Lantai bumi masih basah meski angin sudah sejak tadi menyekanya. Kuperhatikan lagi alam sekitar. Kudapati kabut yang masih juga masih tertinggal di udara yang begitu melaut…

Rasaku kini sudah mulai melunak dan bersedia bersahabat dengan perubahan. Karena aku yakin selamanya takkan menang melawan kokohnya benteng mati perubahan. Lalu kuikhlaskan diri untuk kompromi. Hasilnya benar diluar dugaan. Aku merasa begitu lega. Hatiku tak lagi berjalan menyeret harapan yang bebannya terlampau berat untuknya. Dan sayup- sayup kudengar dia ucapkan terimakasih padaku. Samar- samar kucuri pandang dia yang sedang tersenyum tipis. Juga sembunyi- sembunyi kuprediksi, degupnya yang begitu tenang tanpa gelombang…

Perubahan ternyata akan selalu bawa derita bagi orang. Juga bagiku. Lalu jika semua bisa kompromi terhadapnya, itu tandanya akupun harus melakukan hal yang sama persis. Lalu aku pasti akan merasa sama dengan mereka semua. Sama- sama lega melenggang tanpa menyeret beban…

Dulu aku sempat berfikir beda. Kupikir hanya aku yang terganggu pada perubahan- perubahan. Kusangka hanya aku yang terus akan mengagumi nyamannya masa lalu. Kupikir hanya aku yang merana oleh semua yang tiba- tiba ada sebagai beda. Ternyata aku salah besar. Karena nyatanya semua merasa yang sama. Karena nyatanya semua juga tersiksa oleh perubahan- perubahan. Lalu mereka berkompromi. Sedangkan aku masih saja bersikeras memaksanya untuk berkompromi padaku. Lalu aku terus bertarung untuk menang. Lama sekali. Hingga aku mendapati sebuah pencerahan yang sebenarnya sudah kutahu tapi belum begitu kupahami. Lalu aku mendapati sebuah pengingat tentang hakekat perubahan. Dan kini aku selamat…

Tak lupa kuucap terimakasih pada Metro TV. Terutama pada acara Golden Ways. Dan pastinya kepada Mario Teguh yang adalah pengingatku…

Sekarang aku bisa menghirup udara dengan jauh lebih nyaman karena ingat bahwa semua akan baik- baik saja…


18:47

Wednesday, May 13, 2009

Romansa malam...

Mojokerto
12 Mei 2009
Di hari yang sama dengan pagi tadi
21:28



Udara hari ini sedang murung. Sedari pagi mendung tak kunjung lepaskan senggamaannya dengan langit. Lalu udara mulai meleleh membentuk serpihan tipis kesejukan. Tak lama kemudian angin terbang sedikit kencang. Sambil membawa serta hujan yang mengguyur pagi. Kaca bening jendela menjabat embun. Air hujan beberapa kali menyeka kebeningan kaca jendela balkon depan kamarku itu. Pagi tadi terasa begitu dingin. Karena cuaca sedang berbela sungkawa, mungkin. Tapi hatiku biasa saja…

Hari ini berjalan tak seperti biasa. Akhirnya idealismeku melumer. Lalu diriku sudah bersedia mengalah pada situasi dan dengan lapang hati rela mengabdi diri sebagai penebar ilmu. Mungkin bedanya hanya pada setting saja. Karena kali ini aku melumerkan ego di rumahku sendiri. Hasilnya bisa dikatakan ”lumayan”. Aku bisa sedikit menikmatinya. Well, yang jelas aku tak merasa tersiksa dan terpaksa…

Lalu malam semakin menepi. Dan kabut masih saja nyaman baluti alam. Jarak pandang tak lagi panjang. Karena selaput tipis udara dingin itu ternyata begitu sabar tutupi pandangan mata. Kulit ari terasa semakin mengerut karena harus sedikit kompromi oleh sejuknya udara malam ini. Benar- benar tak seperti biasa. Kali ini adalah masa kekalahan sang gerah dan kealpaan sang peluh. Mereka terpaksa harus mengalah gilir pada kabut dan dingin yang hari ini tinggali hari…

Telapak tangan terasa mengering. Sama sekali tak berair meski jantungku masih saja lemah. Orang bilang karena aku lahir prematur. Lalu kulit juga rasanya semakin lekat dengan keriput yang tiba- tiba ada akibat dehidrasi kecil- kecilan ini. Apa yang tak biasa memang kadang buat tak nyaman. Kota yang biasanya begitu erat bertautan dengan gerah dan bersaudara dengan peluh ini tiba- tiba berkhianat untuk kemudian bercinta sehari dengan dingin dan kesejukan…

Malam terasa begitu syahdu…

Rembulan terang tergantung kuat di langit timur. Bukan purnama tapi tetap benderang. Sedang langit bagian selatan terkena semburat lampu kota hingga terlihat sedikit memerah dari sini. Mungkin karena efek kabut juga. Sayangnya langit utara dan barat terlewat dari penglihatan...

Tak henti aku menghirup puas udara luar. Biar sedikit tertampung oleh jantung. Lalu alirkan daya cinta pada hati dan otakku yang dulu kupikir sedang soak. Angin tipis mengecup kulitku yang sedang kerontang oleh kealpaan peluh. Mungkin dia ingin ungkapkan kerinduan yang dulu sempat dilupakan alam. Langitpun pasti sedang asyik merekam tawa bahagia bersama rembulan itu. Mereka terasa begitu mesra. Lalu mata para fana mulai tersihir oleh romansa malam ini…



21:55

Tuesday, May 12, 2009

Bangun pagi...

Mojokerto
Pada setangkai Selasa
Beraroma manisnya embun
Tertanggal 12 Mei 2009
07:06



Selasa ini aku bangun pagi. Menghirup udara segar saat kabut masih asyik menggeliat sedangkan burung- burung kecil menjaring angkasa. Jam digital hp memaparkan jam lima pagi. Lalu kupenuhi kebutuhan bathinku untuk bertegur doa dengan Sang Pencipta…

Mata benarnya masih begitu memaksa untuk melanjutkan pelayaran menuju bumi mimpi. Beban hidup membuatku banyak bermimpi belakangan ini. Freud bilang “dreams are unfulfilled intentions”. Dan segera saja kubenarkan itu. Karena dari banyak mimpi yang kuingat, hampir semuanya berisi tentang keinginan- keinginan hati yang belum sempat menjadi nyata…

Salah satu mimpi yang tinggali hatiku semalam adalah pertemuan dengan seorang pria romantis yang merupakan perhidupan dari salah satu tokoh lelaki di drama seri Korea yang kunikmati begitu jenak sebelum mengatupkan mata. Bisa jadi itu adalah keinginan mendasarku untuk temukan pria romantis yang akan lakukan apapun demi aku dan yang terpenting bisa membuatku tergila- gila padanya. Well, sampai sekarang aku belum sempat temukan tokoh seperti itu. Dan analisa kedua adalah, bisa jadi mimpi adalah hal terakhir yang kita pikirkan, lihat atau nikmati sebelum membuka gerbang mimpi. Lalu hal itu mengubah diri jadi mimpi. Dan bagiku, kedua analisa itulah yang terjadi secara bersamaan. Unfulfilled intentions dan hal terakhir yang ditonton!!!

Lalu aku mengeliat sebentar. Tapi tak dalam waktu yang sama dengan para kabut…

Ivan Arbani dan Jova masih mengumbar suara di udara. Lalu tertangkap telingaku. Lalu menambah tentramnya hatiku pagi ini. Terdengar begitu menghibur. Omong kosong yang begitu kunantikan setiap paginya. Setiap Senin hingga Jum’at. Tetap saja di Hard Rock FM Surabaya…

Aku tak rela melepas pagi ini. Begitu sayang untuk tak ditimang. Meski mata kini mulai gencar membujuk hati untuk kembali mengatup kembali. Karena bangun pagi bukanlah sebuah rutin bagiku. Sejak awal dua ribu lima atau bahkan sejak pertengahan dua ribu empat, aku sudah membiasakan diri dengan rutinitas bangun siang. Karena tak ada rutinitas di pagi hari. Lalu untuk apa bangun pagi?

Meity Piris absen pagi ini. Entah untuk alasan apa. Yang jelas, ketidak-hadirannya begitu terasa. GMHR tak lagi rame seperti yang seharusnya. Meski suara Ivan masih terdengar lantang tapi dia hanyalah lima puluh persen saja. Sedang selebihnya ada di Meity. Jadi pagi ini kemudian kupanggil “Pagi tak begitu sempurna”…

Sudah cukuplah aku membuktikan bahwa aku bangun pagi hari ini. Sekarang aku mau kembali pada Alice Greenfinger. Aku sedang mencandu permainan itu…



Bel tanda berakhir jam pelajaran pertama di SMP 1 Mojokerto baru terdengar…
07:29

Monday, May 11, 2009

Saca dan bapaknya...

Mojokerto
9 Mei 2009
Sabtu dengan warna begitu kelabu
18:07


Perempuan itu sudah begitu hampir berumur dua puluh enam. Bagiku dia lebih pantas dipanggil sebagai seorang wanita. Dan aku lupa namanya. Yang masih sangat jelas kuingat adalah kerelaannya untuk selamanya tak berpanggilan “Mama”. Dia begitu yakin kalau ada yang salah, entah pada dirinya atau pada pendamping hidupnya. Tapi dia benar tak punya selembar tipis dayapun untuk memperjuangkan impiannya. Beberapa saat yang lalu dia melepaskan mimpinya itu dengan begitu rela meski diringi jerit kepedihan hatinya…

Dulu dia tak pernah perduli tentang apapun. Dia juga tak pernah punya mimpi untuk mengikatkan nyawa dan nafasnya pada hanya satu lelaki saja. Dia pernah berfikir untuk melewatkan hidup tanpa lelaki. Karena dia yakin penyatuan nyawa itu takkan bisa buatnya bahagia. Sejak dulu wanita itu hanya yakin pada dirinya sendiri. Membahagiakan ibunya adalah satu- satunya mimpinya. Tak ada mimpi lain. Sayangnya, kebahagiaan ibunya adalah pernikahannya. Maka dia berada pada sebuah dilema…

Oh ya…aku ingat nama wanita itu. Namanya panjang. Panggil saja dia Saca…

Saca begitu mencinta ibunya. Dan dia begitu membenci bapaknya. Bahkan dia selalu percaya bahwa bapaknya itulah yang paling bertanggung jawab atas pola pikirnya yang menyimpang. Pola pikirnya yang begitu menolak pernikahan. Dia tak mau menikah karena bapaknya. Dia tak mau dibuat menderita oleh lelaki manapun seperti ibunya yang sudah sejak awal pernikahan merasakan penyiksaan bathin. Ibunya yang sebenarnya masih punya bapaknya tapi serasa sendiri menghidupinya dan adiknya yang hanya satu- satunya. Ibunya yang selalu menanggalkan apapun demi kedua anaknya. Dan, tentu saja, dia begitu memuja ibunya. Dan dia begitu membenci siapapun yang menyakiti ibunya itu. Dan sudah sejak lama dia membenci bapaknya, lengkap dengan semua keluarga bapaknya. Karena mereka sudah begitu tak gentar menabuh genderang perang dengan ibunya…

Dulu…

Saca kecil pernah bercita- cita punya bapak yang membanggakan. Persis seperti bapak teman- temannya. Bapak yang selalu punya waktu untuk memperhatikannya, bapak yang selalu punya tali bathin untuk diikatkan padanya juga adiknya, bapak yang selalu melindungi keluarganya, bapak yang selalu mampu menenangkan hatinya yang mungkin sedang mengerut, bapak yang seharusnya jadi bapak.

Tapi…

Sekalipun dia tak pernah merasai apa yang pantasnya dia rasai hingga dia tak pernah merasa punya bapak. Dia merasa jauh tidak beruntung dari seorang anak yatim. Karena dia punya bapak yang tak pernah bisa jadi bapak. Hingga pada akhir masa kanak- kanaknya Saca bilang pada ibunya, “Aku tidak apa- apa kalau tidak punya bapak, bu. Aku malah senang.”

Jika bisa memilih, Saca akan memilih untuk menjadi yatim saja…

Lalu…

Waktu terus mengalir tapi rasa benci pada bapaknya tak pernah bisa terhanyut. Dia memegang erat rasa benci itu. Dan selamanya dia akan membenci bapaknya. Rasa bencinya pada bapaknya setara dengan cintanya pada ibunya. Dan dia akan melakukan apapun untuk ibunya sembari juga tak akan melakukan apapun untuk bapaknya…

Dia sudah menyebut dirinya anak yatim!!!

Sejak SMP Saca tak pernah sudi memanggil bapaknya dengan sebutan “Bapak”. Karena, sekali lagi, dia merasa dirinya anak yatim yang tak mungkin punya bapak. Jadi tak ada seorang lelakipun yang berhak dipanggilnya “Bapak”. Dia kemudian jadi begitu jarang berkata apapun pada lelaki yang sebenarnya adalah bapaknya itu. Wanita itu membangun benteng sendiri dan tak mengijinkan bapaknya masuk. Tak akan pernah!!!

Lalu kini Saca sudah bukan lagi bocah. Dia sudah mengikatkan nyawa dengan seorang lelaki. Karena cintanya pada ibunya. Dan kini dia, tentu saja, ingin segera berpanggilan “Mama”. Tapi ada yang salah dengan entah apa dan siapa. Dia belum juga hamil. Setelah begitu kian lama. Dan dia begitu terobsesi pada kehamilan. Dia ingin segera mempunyai buah hati…

Tapi, lagi- lagi, dia harus merelakan impiannya pergi. Karena bapaknya! Dan kini dia rela untuk selama hidupnya tak akan pernah dipanggil “Mama”…

Saca begitu melaknat bapaknya. Dalam doanya dia tak pernah sekalipun menyebut bapaknya itu. Dia tak pernah mendoa kebaikan untuk bapaknya. Pun masih punya nurani untuk tak mendoa keburukan untuk bapaknya itu…

Saca jelas punya janji pada dirinya…

Bahwa sampai kapanpun dia takkan pernah memperdulikan bapaknya. Bahkan saat bapaknya itu sudah menua, dia takkan pernah bersedia merawatnya dengan baik. Dia hanya akan merawatnya seadanya. Sama ketika bapaknya dulu merawatnya dengan seadanya. Karena dia terlanjur begitu sakit hati…

Kini Saca masih dengan berat hati menyesali ketidakberdayaannya…
Tapi dia tak pernah menyesali kebenciannya pada bapaknya...


18:49

Friday, May 8, 2009

Dua puluh enam Mei...


Mojokerto
7 Mei 2009
Pada suatu Kamis malam…
21:33


Aku kembali merangkai kata dikamar ini. Dengan semburat sisa cahaya lampu teras. Aku sedang berada di pinggir keremangan malam dan balutan dinginnya rasa. Jemari tetap menari indah diatas huruf- huruf sedangkan rasa dan pikir bercakap lirih untuk hasilkan bentangan kata. Agar layar ini tak lagi kosong. Supaya lembar ini bisa terbaca oleh siapa saja di kemudian masa …

Kini rasaku mulai tenang. Karena malam telah datang bersama remang. Karena aku berhasil minggir sebentar dari permainan rasa yang sudah sejak lama asyik kumainkan. Karena hati mengalah pada ego manusiawiku. Karena aku menyublimkan rasa kecewaku. Karena aku tak gagal membujuk kekhawatiran untuk sekedar bertandang ke hati manusia lain. Karena aku sudah menerima kenyataan dengan kelapangan hati. Karena kini aku menyerahkan nyawa pada Sang Kuasa. Karena aku kini jauh lebih yakin pada-Nya…

Malam sedikit demi sedikit merambat kearah larut. Para raga akan segera membujur dan bertemu dengan ketidak- sadaran. Mengistirahatkan organ yang sudah seharian menjadi budak kepentingan dan hamba kebutuhan. Suara- suara juga sudah mulai menyayup. Beberapa cahaya lampu ditewaskan untuk kepentingan penghematan energi dan menekan keras pengeluaran rumah tangga. Maka dari empat Philips disini, yang menyala hanya setengahnya. Itupun demi menjaga mata agar tetap nyaman menatap layar ini. Lalu kipas angin tua itu masih terus menggeleng keras. Namun tak begitu berjaya dalam mengubah gerah menjadi tidak gerah. Aku masih tetap berpeluh…

Aku sedang berada pada sebuah kehampiran yang tak begitu menyejukkan hati. Hampir melepaskan tangan pada usia dua puluh lima. Lalu akan saling bergenggaman hasta dengan dua puluh enam. Dan ini jadi masa termuram dalam sejarah hidup seorang aku. Masa paling mendung. Masa paling berat karena aku harus dengan sekuat hati mencegah jatuhnya tetesan hujan. Aku tak rela hatiku basah olehnya. Aku pasti akan terus mendoa agar bahkan gerimispun takkan menetes. Agar meski mendung, hatiku masih terus kering…

Tiba- tiba ingatanku melesat pada dulu…

Dulu yang pernah sengaja dijejali oleh beberapa perayaan. Dulu yang juga sempat ditandai dengan ritual traktiran makan- makan. Dulu yang diakari oleh budaya guyur air, tumpah tepung, lempar telur sampai jabat tangan simbol turut berbahagia atas pertambahan usia. Dulu yang dimekari oleh hati sumringah, meski sedikit kuatir kalau kalau perlakuan mereka- mereka akan terlalu berlebihan. Tapi, tetap itulah bentuk sebuah perayaan pergantian usia. Sudah jadi sebuah budaya bagi jiwa para remaja. Tapi kini aku tak bisa lagi dipanggil remaja. Karena usia sudah begitu menua. Maka bisa dipastikan tak akan ada lagi ritual seperi dulu…

Tapi aku tetap mau bertanya…

Masih akan adakah kejutan- kejutan seperti saat aku baru injakkan nyawa pada usia dua puluh?
Masih akan adakah ucapan selamat ulang tahun dan doa- doa dari para karib dan manusia di sekeliling yang hanya butuh meng- amin- an?
Masih akan adakah kado manis yang sengaja terbungkus untukku?
Masih akan adakah todongan makan- makan dari para sahabat yang merasa dan mengaku dekat?
Masih akan adakah tawa riang dan jeritan histeris oleh siksaan- siksaan manis seperti dulu?
Masih akan adakah yang mengingat pergantian usia ini?
Masih akan adakah semua- semua itu?

Dulu aku begitu mendamba waktu cepat menggelinding agar segera bertemu sapa dengan setiap dua puluh enam Mei. Menanti siapapun yang berminat untuk jadi orang pertama dalam mengucap selamat ulang tahun. Tepat di jam dua belas malam, meski aku benar terlahir pada sebuah Kamis dua puluh enam Mei delapan tiga pada jam setengah enam pagi. Jadi sebenarnya tak begitu tepat mengucap selamat di jam dua belas. Tapi menjadi yang pertama bagai sebuah tropi kebanggaan pertanda sebuah kesetiaan dan perhatian. Lalu hal itu menjadi sebuah kenormalan…

Huhhhh…aku benar merindui semua perlakuan itu. Aku sungguh ingin mendapatkan sesuatu yang dinamai “kado”. Aku begitu ingin mengucap “Amin” atas semua doa yang terluncur dari mulut para sahabat. Aku begitu ingin merasai sejuknya air guyuran. Mau kembali merasa malu dengan tepung dan telur yang tumbuh bagai jamur pada tubuh basah. Aku mau kembali merasai semua bentuk perhatian itu. Aku mau kembali merasa konyol seperti kala itu. Meski aku tahu kadang mereka melakukannya bersama secuil pamrih. Demi sebuah traktiran makan- makan. Tapi, semua begitu indah. Semua begitu ingin kurasai. Persis sama seperti dulu. Aku tak mau yang berlebih. Harus sama persis…

TAK MUNGKIN BISA!!!!


Kenapa?

Karena semua sahabat sudah melayar pada pulau impiannya sendiri…
Karena aku tak lagi remaja…
Karena masa telah begitu jahat merebut paksa semua budaya itu…
Karena memang tak mungkin…

Aku tak mau menangis tapi nyatanya airmata ini sudah begitu ramah menjamah udara. Mengalir halus. Menjadi bukti hati yang sedang bersedih…

Aku lagi- lagi merindui masa lalu. Dan lagi- lagi aku tersesak oleh fakta bahwa masa lalu ada hanya untuk dikenang. Bukan untuk dirasai kembali…

Lalu…

Apa arti dua puluh enam Mei dua ribu sembilan ini?



22:15

dr. Dian Fatmawati...

Mojokerto
Di sebuah Rabu tertanggal 7 Mei 2009
Hatiku kembali meronta ingin berkata- kata…



Aku kembali bersama Palatino Linotype ukuran 12 di layar notebook hp ini…

Lalu…

Kumulai kanvas kata ini dengan sedikit rasa kantuk. Pagi tadi aku baru lelapkan mata saat jarum jam menunjuk kurang lebih setengah empat. Lalu aku terbangun oleh rutinitas untuk menyapa dengar Good Morning Hard Rock di jam enam pagi. Well, aku tidak membuka kesadaran tepat di jam itu. Aku baru membuka telinga di hampir jam tujuh. Karena mataku masih begitu kuat bertarikan dengan rasa kantuk hingga mereka tak mampu membuka diri. Kemudian dengan seperenpat kesadaran, kunyalakan radio dari SE 550i. Menggerak- gerakkan headset yang berperan jadi antena demi mendapati gelombang siar radio Surabaya itu. Lalu, berhasil!!!

Lalu…

Aku kembali terlelap untuk entah berapa masa sampai kembali terbangun oleh bunyi dering Flexi. Kubiarkan saja handphone hitam itu berdering karena aku sedang mau melanjutkan lelap…

Cahaya matahari pagi yang memaksa diri untuk menyelinap masuk rongga- rongga kecil jendela kamar mengembalikanku pada sebuah kesadaran bahwa hari sudah semakin menua. Lalu aku benar- benar terbangun di jam sembilan lebih…

Hari ini berjalan biasa…

Sampai kemudian….

Aku menuliskan beberapa helai kata sebagai sms…

“Ro, obat Doxycycline itu untuk apa yah? Suwun…”

Lalu kirimkan ke seorang sahabat begitu karib yang kini sudah menetap di Bandung…

Tak lama ada balasan…

“Itu anti biotik. Dosis tinggi. Jangan main- main dengan obat itu. Harus dengan resep dokter lho…”

Pesan itu berakhir hanya sampai disitu. Lalu bagai sebuah narasi, aku membalas pesan itu…

“Kemarin aku ke dokter…..”

Pesanku tak berhenti hanya sampai disitu. Isinya penuh satu sms. Tapi aku keberatan menceritakannya untuk semua. Jadi kuwakilkan saja dengan tiga tanda titik…

Lalu rasaku menjadi begitu aneh. Menjadi begitu terdominasi oleh kekhawatiran- kekhawatiran. Well, tentu saja aku mendapat balasan yang benar kuharapkan. Konsultasi jarak jauh itu berakhir dengan pernyataan…

“Oke deh. Semoga kunjunganku ke dr.Yusuf yang selanjutnya tidak dalam rangka konsultasi…….. tapi untuk periksa…”

Sekali lagi aku keberatan mengatakan yang selengkap- lengkapnya…

Karib itu adalah seorang dr. Dian Fatmawati. Dia memilih dipanggil Ro yang adalah kependekan nama Ronan. Nama yang dulu begitu dia gilai. Sewaktu dia masih duduk di bangku SMP yang sama denganku. Bagiku, dia adalah seorang perempuan dengan kehidupan hampir sempurna. Masa depannya yang begitu cerah, suami yang kuharap bisa benar membahagiakan dia juga fakta bahwa sekitar tiga bulan lagi dia akan segera menjadi seorang ibu. Betapa hampir sempurna nyawanya…

Aku yakin dia dulu terlahir dengan catatan masa depan yang begitu menyamankan...

Tapi…

Dia kehilangan sosok ibu di saat kue ulang tahunnya hanya ditumbuhi dua belas lilin kecil. Bisa jadi itu adalah kehilangannya yang terbesar…

Tapi Allah SWT begitu Maha Adil. Dia kemudian hidup dengan kemandirian dan kekuatan hingga kini dia mendapati segenggam kebahagiaan yang begitu hampir sempurna…

Oleh karena itu aku…

Tak pernah lepaskan keyakinanku bahwa aku masih punya Allah SWT yang akan selalu menjaga dan melimpahkan kebahagiaan padaku di waktu yang tepat. Dan kini aku berusaha bersabar menanti waktu yang tepat itu. Aku begitu yakin akan ada saatnya bagiku merasai kehampir sempurnaan seperti yang sedang dirasai karibku itu…

Tolong Amin- i semua doaku…
Terimakasih banyak…


Hari ini ternyata sebuah Kamis…
Bukan Rabu sebagaimana yang aku sangka…
14:28

Wednesday, May 6, 2009

Pembicaraan singkat di handphone...



Mojokerto
4 Mei 2009
Pada sebuah Senin…


Malam sudah begitu menua. Beberapa waktu kemudian pagi datang sebagai jabang bayi yang begitu bersih dari dosa…

Tuuutt…tuuutt…tuuut…

Lalu…

Klik..

“Halo…”

“Hai. Halo. Apa kabar?”

“Masih ingat sama aku?”, suara lelaki itu terdengar begitu sinis.

“Ya iyalah. Gimana kabar kamu?”

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?
Jangan sewot gitu dong.
Ga capek apa marah dan sewot terus?”

“Tumben telfon aku? Masih inget?”, sekali lagi dia menjawab dengan begitu sinis.

“Ya cuma mau nyapa aja.
Hp kamu lama ga aktif.
Kenapa?”

“Kenapa memangnya?”

“Ya ampun…”

“Ada apa telfon?”

“Pengen tahu kabar kamu…
Oh ya, sudah kerja ya?
Dimana?
Wah dah kaya nih!”

“Kamu masih perduli sama aku?”

“Lho? Aku kan cuma tanya saja.”

“Sudah selesai tanyanya?”

“Kok gitu sih?
Tuh kan sewot lagi.
Jangan jawab pertanyaan dengan pertanyaan dong!”

“Dijawab gimana lagi?”

“Ya dijawab dengan baik dan benar dong!”

“Sudah selesai tanyanya?”

“Sudah”

Klik..

Lelaki itu yang duluan menekan tombol End Call di handphone- nya…
Wanita itu kecewa meski sebelumnya sudah memperkirakan hal ini. Lelaki itu masih belum memaafkannya. Dan sepertinya selamanya takkan mendapat maaf yang tulus…

Omar terlalu kecewa oleh Vaska…
Dan Vaska kecewa karena tak lagi dapati Omar yang dulu…
Omar sekarang selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan…
Vaska tetap menyimpan setitik suka untuk lelaki yang tak pernah ditemuinya itu…
Karena perasaan begitu tak bisa diterka…
Cinta tanpa tatapan mata…
Itulah caranya mencinta Omar...



Dia menutup mata sambil sedikit berharap handphone itu masih akan aktif esok hari…