Monday, November 30, 2009

Jodoh dadakan...

Mojokerto
29 November 2009
Di sebuah Minggu dengan nada-nada gerimis…
16:36




Yang aku tahu adalah bahwa dia sudah dilamar. Entah kapan. Dan dia bilang sekarang dia dan keluarganya sedang melakukan acara lamaran balasan yang begitu dadakan…

Jodoh memang benar tak pernah bisa diterka. Bahkan direncanakanpun juga tak bisa. Jalannya tak bisa dipetakan. Kadang begitu rumit, panjang dan tak teratur lalu diakhiri dengan tangisan perpisahan. Ada juga yang diawali dengan ketidak sengajaan yang berlanjut jadi rajutan rasa yang makin lama makin dalam dan tak bisa dimengerti lalu diakhiri dengan ucapan “Selamat menempuh hidup baru”. Pun ada juga yang begitu estafet seperti apa yang dialami wanita paruh baya itu. Aku memanggilnya “dia”…

Dia yang kini sedang mendadak bahagia…
Dia yang sekarang sedang menyeka tawa bersama pasangannya…
Pasangan yang bahkan bayangannya saja tak pernah tertangkap mata…
Pasangan yang semoga seorang kesejatian baginya…

Dan mereka bertemu secara estafet…
Semua pernah begitu ruwet…
Tapi tulisan takdir tetap kuat megikat…
Semoga mereka benar bahagia hingga bumi melarut…

Mereka hanya perlu “pertama kali”
Untuk putuskan saling menikahi…
Seperti yang mereka maui…
Menyatu nyawa diusia yang tak lagi dini…

Satu lagi bukti misteri jodoh. Dia dan pasangannya. Dulu maya lalu kini mendadak nyata sebagai calon pengantin. Sekali lagi begitu sulit dipercaya. Agak susah dimengerti. Betapa kehidupan selamanya hanya ditentukan dari pertemuan pertama saja. Huuufff. Apa bisa?

Tidak bagiku…
Kalau aku…

Dulu aku perlu ribuan pertemuan untuk memastikan hati. Dulu aku perlu ribuan petuah orang tua sebelum bertanya “Will you marry me?”. Dulu aku perlu ribuan tatapan mata untuk rasakan keteguhan cintanya padaku. Dulu aku butuh ribuan masalah untuk pahami jalan pikirannya…

Tapi dia dan pasangannya?

Mereka hanya butuh sekali untuk selamanya. Sekali pertemuan untuk memastikan hati. Sekali tatapan mata untuk saling berkata “Mari kita menikah”. Sekali jabatan tangan untuk rasakan detak hati. Hanya sekali saja…

Aku benar-benar tak habis pikir. Apa semua itu karena usia? Karena mereka tak lagi remaja? Karena mereka sudah terlalu dewasa?...

Hhhhmmmmm…..

Semua nyawa memang terlahir dengan membawa jodohnya sendiri. Meski butuh waktu untuk menemukan kembali pasangan jiwa itu, tapi akhirnya masih akan tetap telah tertulis rapi secara pasti. Hanya saja nyawa biasa kitalah yang tak pernah bisa membaca tulisan Sang Maha itu…

Aku perlu waktu dua puluh empat tahun untuk menemukan belahan nyawaku. Dan aku masih butuh dua setengah tahun untuk belajar membaca tulisan Sang Maha tentang wanitaku kala itu. Siapa tahu dia hanya rambu jalan menuju wanita sejatiku. Aku yakinkan hati untuk coba meraba huruf lalu mengeja kata hingga sedikit membaca kalimat jodoh itu. Dan akhirnya aku yakin dia yang dulu kubawa saat lahir….

13 Desember 2007…
Pada sebuah Kamis…
Ba’da Isya…
Kami resmi menata nyawa bersama…

Kapan mereka menyusul kami?
Sepertinya akan lebih segera dari sekedar segera…
Semoga karena ketetapan hati…
Bukan hanya karena sadar usia…
Amin untuk doa mereka…



17:08
Masih dengan begitu banyak tanya…
Masih dengan begitu banyak mengapa untuk mereka…

Jawaban doa...

Mojokerto yang sedang dirundung mendung…
Tertanggal 28 November 2009 yang selipkan debur kecewa dihati…
16:01 yang sedang mensugesti tentang kuncup indah yang sedang sedikit mengembang…



“Cuma 2 orang ya? Maaf, Ai. Kamu juga ga lolos.”

Singkat, mengecewakan sekaligus memberi kesan “aku tak sendiri”. Sudah kuduga akan begitu akhirnya. Namun setengah jiwaku berharap penuh akan keajaiban yang datang melalui jawaban doa-doaku….

Tapi nyatanya aku (kembali) kecewa. Kecewa ini begitu berbeda. Aku merasa bagian doaku telah terjawab. Karena aku selalu mendoa agar diberikan kelapangan hati dan ketenangan jiwa atas apapun yang menimpaku. Kecewa itu tak begitu terasa. Meski bisa aku pastikan keberadaannya begitu nyata. Hatiku sedikit menangis…

“Aku kecewa karena kalah oleh properti…..bukan ability! Suck!”
Kalimat itu tiba-tiba mewakili segala yang kurasa. Secara otomatis tertulis di layar chat Yahoo Messager-ku dengan Ratri siang tadi…

Kemudian…

“Teman Enci yang kerja di Di*na* pemk** Pro******** bilang kalau nama-nama yang lulus sudah ada sejak lama. Harganya tujuh puluh juta.”
Tak ada rasa saat kubaca pernyataan itu. Karena aku memang sudah menduga. Dugaanku sejak lama. Sudah melewati pengamatan terhadap segala aspek yang perlu dipertimbangkan. Dan aku tak menyesali apapun. Tak ada pengandaian apapun dihati….

Wewww….aku menstruasi…tiba-tiba saja…

Baiklah aku lanjutkan lagi…

Jika aku orang lain bisa jadi aku banyak berandai…
Seandainya aku punya jumlah itu…
Seandainya tak ada hukum haram jika menyuap…
Tak ada pengandaian seperti itu…
Tak ada pengandaian ini itu, sama sekali…

Sebenarnya penguatku hanya satu. Yaitu keyakinan bahwa aku kalah oleh properti. Dan bagiku kemenangan oleh properti bukan hal yang patut diingini. Tak perlu di-dengki-i...

Aku yakin hidup adalah sebuah misteri yang besar….
Pasti ada yang sedang menungguku disisi waktu yang lain…
Apapun itu…
Semoga aku masih punya kekuatan untuk bersabar…
Apapun itu…
Semoga aku masih punya tangan untuk selalu kugenggam…
Apapun itu…
Semoga aku masih bisa bangkit untuk perbaiki yang masih tak baik…
Amin…

Masih dengan rasa kecewa yang gamang…
Tak tahu harus merasa apa…
Terimakasih atas kekuatan ini…
Aku begitu merasakan kekuatan doa-doa…
Mungkin Allah SWT mengabulkan doaku dalam bentuk ketenangan hati ini…
Alhamdulillah…



16:27

Monday, November 16, 2009

Dua lelaki patah hati...

Mojokerto
16 November 2009
(Masih) di sebuah Senin petang…




Aku sungguh tak pernah benar mengerti apa yang telah terjadi. Sejak dulu kami tak pernah saling memahami. Yang kami tahu adalah bahwa hati kami sedang saling terpaut. Namun demikian kami tak pernah tahu pasti kapan maut hati akan menjemput. Karena hidup begitu penuh dengan kejutan…

Hanya doa yang mungkin bisa memberi sedikit angin segar. Hanya sedikit saja. Karena kami tak pernah tahu kapan doa itu akan didengar lalu dikabulkan…

Apa salah jika kami saling mencinta?
Apa tak boleh kami selalu saling bersama?
Apa harusnya kami terima semua kenyataan?
Apa benar harus selalu mengikuti jalan alam?
Iya?
Benarkah harus selalu seperti itu?

Hati kami terus menangis darah. Meski tak satupun suara isak ini terdengar yang lain. Bahkan gemanyapun tetap membisu. Tapi buktinya adalah bahwa kami benar menangis karena terlalu sakit. Kami menangis bersama di tempat berlainan dengan alasan yang sama. Adalah bahwa karena raga kami tak mungkin bersatu…

Apa yang salah jika kami saling menyuka?
Apa yang haram jika kami saling mencinta?
Apa yang tak layak jika kami ingin berbagi nyawa?
Katakan padaku…
Hanya padaku saja…
Lalu akan kukatakan semua padanya. Jika jawaban kalian terlalu menyakitkan maka akan selamanya kusimpan dihati. Tak perlu dia tahu. Karena dia sudah terlalu kelu hati menyandang sakit ini. Sakit yang begitu tanpa ampun. Sakit yang begitu tanpa alasan logis. Sakit yang begitu abadi…

Kemudian kami berusaha mencari tahu sendiri apa yang salah. Apa yang tak benar.Apa yang dianggap haram. Kami lalu berusaha menerka-nerka. Apa karena kami sama? Apa karena namaku Rando Titah Sembrani dan namanya Ahmad Frezaldi? Apa karena itu? Hanya karena itu? Bisa jadi…

Lalu kuputuskan untuk mengubah diri menjadi seseorang bernama Rosa Titah Sembrani. Empat tahun lagi akan kulakukan keputusanku ini. Saat aku lulus SMA. Dan biarlah dia tetap menjadi Ahmad Frezaldi. Agar kami bisa halal bersama. Agar tak ada lagi yang dianggap salah…



Kami adalah dua lelaki patah hati…
18:52

Gerimis tadi siang...

Mojokerto
Tertanggal 16 November 2009
Pada sebuah Senin yang basah…
5:00



Tadi siang hujan datang bertandang. Mengguyur tanah yang sekian masa telah kerontang. Kotaku kini tak lagi mengering. Penantian memang akan selalu lahirkan senyum yang terkembang. Pun sama dengan tanahku yang kini menguncup senyum oleh hadirnya sang hujan siang…

Gerimis romantis mengiris…
Angin-angin ikut berlalu lalang…
Sedang udara mulai meringis…
Biarkan peluh melesat terbang lalu sebentar menghilang…

Aku diam…

Udara yang tadi begitu beringas, kini perlahan terkikis hujan siang ini. Hujan yang turun untuk pertama kalinya sejak awal musim ini. Hujan yang kuyakin banyak dinanti. Hujan yang kupastikan banyak dirindui. Dirindui para raga manusiawi…

Aneh…
Ragaku masih saja kegerahan. Namun hatiku terasa begitu nyaman menatap lelehan air hujan itu di kaca jendela depan. Mengucur tanpa irama namun indah untuk pandangan. Terasa begitu damai dan mendamaikan…

Ya Tuhan….
Begitu indah siang ini. Meski, seperti biasa, aku harus merasainya sendiri. Begitu damai hujan ini. Langit menangis begitu manis. Teteskan air-air, rintik-rintik, leleh-leleh, gerimis-gerimis. Lalu aku iseng bertanya tanpa mengharap balas. Apa langit sedang merintih karena miris? Mengapa ia menangis? Begitu deras hingga logikanya ia sedang begitu teriris. Ataukah ia sengaja bersedih agar bisa menangis gerimis hanya untuk melihat kami tersenyum damai manis? Iyakah? Maka terimakasih, langit…

Siang tadi aku tak sempat mencuri lihat pada sang langit. Karena aku terlalu memaku oleh gerimis yang kuharap tak terjadi singkat. Aku masih begitu merindu para gerimis yang dulu-dulu sempat membuat hatiku terpikat. Dan sampai sekarangpun aku masih terpikat. Hingga bagiku semua gerimis selalu manis dan semua hujan selalu patut dirasa nikmat. Maafkan aku, langit…

Aku tak butuh lagi pelangi. Tetes-tetes itu sudah begitu rapi menghias rohani. Gerimis tadi benar indah dirasa hati…

Aku masih sangat mencinta hujan…
Aku masih akan selalu mendamba gerimis...

Kini…

Gerimis telah undur hati…
Hujan juga sudah menguapkan diri…



5:31
Hatiku damai…
Nyawaku bersenandung ramai…
Karena gerimis siang tadi…
Karena tetes-tetes air tadi…

Wednesday, November 11, 2009

Puisi hati...
















Mojokerto
11 November 2009
12:49
Pada sebuah Rabu…


Pernahkah kau merasa terkhianati oleh hati?
Adalah disaat kau merasa begitu yakin olehnya…
Lalu dia ternyata mengubah arah haluan…
Hingga kau merasa harusnya tak memutuskan untuk mengabdi hidup pada sebuah nyawa…
Tapi kau terlanjur memutuskannya…

Dan…

Pernahkah kau menyalahkan waktu?
Adalah disaat kau menyesali keterlambatan pertemuanmu dengan sebuah hati…
Lalu ternyata kau telah terlanjur mengabdi hati pada yang lain…
Hingga lalu kau hanya bisa berkata “seandainya…”

Dan…

Pernahkah kau mengutuk alur kehidupan?
Adalah disaat kau menyadari rute hidup lainnyalah yang sebenarnya lebih membahagiakan…
Tapi, sayang kau tak melangkah kearah itu…
Hingga akhirnya kau melewatkan sebuah hati yang seharusnya adalah takdirmu…

Dan akhirnya…

Pernahkah lalu kau menerima semua kesalahan itu dengan terpaksa?
Hanya karena kau tak pernah punya daya untuk mengubah apapun…
Lalu kau memaksa diri nikmati yang telah kau punya…
Sambil menjadikan apa yang tak pernah sempat kau gapai sebagai mimpi yang tak untuk diwujudkan…

Dan aku pernah…
Aku pernah merasa terkhianati oleh hati…
Pun aku pernah menyalahkan waktu yang salah menempatkan aku dengan dirinya…
Dan akhirnya, dengan terpaksa, kuterima semua kesalahan itu…

Dan kini aku tahu betul fungsi kata “menyesal”…
Lalu aku berjanji untuk hati-hati memilih alur cerita kehidupan…
Karena siapa tahu jika dulu aku memilih belok kanan maka rute akan semakin panjang hingga aku punya daya untuk mengulur lebih banyak waktu guna bertemu denganmu…
Tapi nyatanya, kala itu aku memilih jalan lurus…

Aku terlambat bertemu dengan hatinya…
Dan aku sempat menyesal…
Lalu kini dia merapatkan hati dengan yang lain…
Apa dia sempat menyesali keterlambatan ini?
Semoga yang terbaiklah yang akan terjadi selanjutnya…



Lega…
13:06

Tuesday, November 10, 2009

Catatan pagi ini

Mojokerto
Pada sebuah Senin
Tertanggal 9 November 2009
Mimpi tadi sedikit menggelisahkan…


Hari ini kumulai sejak dini. Meski lalu aku kembali mengatup mata, menjemput lelap yang sedari tadi masih menyelinap di kelopak. Dan aku kembali terlelap. Tak sendiri. karena hari ini masih umum dikata Minggu. Kembali menjemput lelap tanpa pelukan. Hanya bersama saja…

Bunga lelap lalu menggelitik hati pejamku. Tetap memaksa untuk ikut memberi kesan meski hidup belum sepenuhnya kuhirup. Kubiarkan dia. Bukan karena hatiku terlalu baik untuk menolak. Tapi karena alam sadarku sedang tak sadar hingga tak ada pikiran untuk katakan “tidak”. Lalu cerita-cerita tanpa logika total mulai tertera. Membawaku kembali ke masa lalu. Dengan setting yang sama dengan dulu. Saat aku masih mengabdi diri pada ILP Kediri….

Mimpi tadi sedikit menggelikan meski tak sepenuhnya beralur tak masuk akal. Ada beberapa bagian yang benar. Pun ada beberapa yang kunilai aneh setelah kesadaranku pulih. Menggelikan. Menyebalkan. Lucu juga. Tapi biarlah, karena itu hanya bunga lelap…

Jam 9:48…

Lelaki itu masih enggan melepas pelukannya terhadap lelap. “Masih mengantuk”, katanya. Maka kubiarkan dia bereratan dengan lelapnya. Dan aku merangkai ingatan berbentuk kata disini. Karena aku harus mengalihkan perhatian. Jika tidak, akupun aku turut larut dalam lelap bersamanya….

Dua menit kemudian…

Semua masih tetap sama persis. Tak ada beda meski sedikit. Huuuhhhhhhhfffffffff…

Dua menit (lagi) kemudian…

Sebenarnya hidup belakangan ini tak terlalu berwarna. Tak ada yang benar-benar pasti. Kebanyakan hanya berupa siluet tak jelas yang pada saat tertentu akan dengan sendirinya memperjelas diri. Semoga semua sama seperti apa yang kudoa. Semoga semua tak lagi kecewa oleh situasi. Dan semoga semua bisa menerima kemungkinan terburuk dengan hati terlapang. Semoga semua menuai sukses. Amin…

Hampir jam sepuluh pagi…

Sudah cukup aku berbincang (tak jelas) pagi ini.



Sekian…
Winamp ini terus terdengar meski tak sepenuhnya untuk dinikmati…
Sekedar agar tak sepi saja…