Manusia oh manusia. Begitu kompleks dengan semua keunikannya. Mimpi- mimpi yang kemudian berbenturan dengan realita membuat mereka kemudian mengutuki kehidupannya dan membuat beberapa daftar tindakan yang disesali lengkap dengan beberapa tindakan yang tidak sempat dilakukannya hingga kini muntahkan penyesalan. Lalu keserakahan membuatnya merasa terus harus mendongak keatas dan merasa tertinggal dari lainnya…
Baris pertama…
Hingga siang ini, dia sudah menerima dua pesan singkat via handphone dari dua kawan karibnya. Keduanya mengusung pertanyaan yang sama, “Ada apa denganmu? Kenapa begitu marah? Kenapa kamu merasa gundah lagi?”….
Beberapa deret pertanyaan tekstual yang begitu susah dicari jawaban tepatnya. Pertama, karena dia merasa jawaban yang nanti diberikannya akan terasa begitu “seperti biasa”. Kedua, karena dia merasa tak ada siapapun yang mampu membuatnya merasa tenang dan lebih mensyukuri hidupnya. Ketiga, karena dia tak mau ditentramkan hatinya. Baginya semua memang harus berlaku seperti itu. Bahwa dia memang harus berada pada silangan hidupnya sekarang. Selanjutnya, karena dia tak tega membagi derita dengan kedua karibnya yang mungkin berada pada tingkat syukur lebih tinggi darinya. Dia tak mau diceramahi tentang bagaimana caranya mensyukuri kehidupannya. Karena dia merasa sudah cukup bersyukur meski seringkali tak mampu hadang luapan kegelisahan hidup…
Dan dia memutuskan untuk membalas pesan pendek itu dengan cara singkat pula. Bahkan sama sekali tak menjawab pertanyaan- pertanyaan karibnya itu…
“Well, perasaan memang begitu rapuh hingga mudah berubah rasa. I’m just fine here…”
Hhhuuuhhh…
Sebenarnya dia hanya merasa enggan beranjak dari masa nyamannya. Dia enggan kembali menjalani rutinitasnya yang sedikit mengganggu bathinnya. Dengan kesehariannya yang begitu sendiri….
Dan…
Pada dasarnya dia takut tak lagi mampu bersenang- senang dengan caranya sendiri. Dia khawatir kehabisan ide untuk membahagiakan dirinya sendiri. Dia cemas kalau- kalau suatu saat nanti dia memerlukan orang lain untuk dapati kebahagiaan. Dia hanya mau bahagia dengan caranya sendiri dan dengan dirinya sendiri. Karena dia yakin bahwa hanya dengan diri sendirilah manusia akan menghabiskan waktu terbanyakknya. Maka, tentu saja, dia tak mau mengandalkan kehadiran orang lain untuk bahagia. Karena jika benar demikian maka dia akan lebih sering bersedih. Karena dia yakin dia akan lebih sering sendiri…
Hatinya telah mengatup pada semua bentuk kebersamaan. Jika agamanya mengijinkan manusia terus sendiri maka bisa dipastikan dia akan terus sendiri. Takkan sekalipun menikah…
Tertanda
(Tanda tangan)
26 Mei 1999
NB: Gulung kembali kertas ini lalu biarkan ombak membawanya pada para pembaca berikutnya. Terimakasih telah membaca jiwaku…
Maka dengan hati- hati kugulung kertas putih tulang itu. Kumasukkan kembali dalam botol minuman plastik. Kulempar sejauh tenaga. Agar buih laut membawanya menuju pembacanya yang lain….
Aku hanya bisa merasa sedih untukknya. Dan lega untukku sendiri. Karena bukan hanya aku yang merasainya. Dia juga merasakan yang sama. Bisa jadi aku adalah reinkarnasinya…
Aku masih bersama lelakiku disini. Berdiri di pinggiran pantai sambil nikmati senggamaan ombak kecil. Damai begitu mendominasi meski siang terlanjur begitu keparat…
Lalu…
Kuhirup udara pantai ini dalam- dalam. Segar meski panas tak mau mengalah oleh angin yang begitu setia temani buih. Kugenggam tangan kirinya lalu kembali kukayuh kaki bersama lelakiku. Di pinggiran pantai siang ini…
17 Juli 2009
Di sebuah Jum'at
13:21
No comments:
Post a Comment