Monday, March 23, 2009

Memunguti Sisa-Sisa Api...


Mojokerto

23 Februari 2009

Pada sebuah Senin sore yang basah dan remang…


Hari ini kami semua harus kembali pada realita. Semua harus kembali jalani hidup sendiri- sendiri. Mungkin itu bisa juga diartikan bahwa semua harus kembali meratapi apa yang kita punya. Sekaligus merintih atas apa yang belum kami miliki. Asunaro sedang meremang. Lilin nafas masing- masing anggotanya sedang tertiup angin yang datang bersama penghujan. Terusik hembusan dan hampir mati olehnya.


Kemarin dunia terasa begitu indah. Bukan karena kami sedang jatuh cinta. Bukan juga karena kami sedang merayakan hari jadi diri. Bukan karena hembusan berita bahagia. Yang pasti bukan karena cuaca yang bersahabat. Dunia mengindah karena kami merasa tidak sendiri. Kami merasa sama- sama sedang meremang oleh keadaan. Kami biasa terpisah dan merasai sakit secara pribadi. Namun kemarin kami merasa bisa saling berbagi kisah hingga sedih itupun terasa biasa dan tidak terlalu menyiksa rasa. Berbagi lewat tatapan hati dan resahnya suara kami yang sedang berusaha biasa dalam berbagi cerita.


Asunaro sedang memunguti kembali sisa- sisa nyala api yang hampir padam oleh tiupan angin musim penghujan. Kami sedang merasa kesusahan mengumpulkan kembali api yang terlanjur menguap entah kearah mana itu. Meski kami tahu takkan mudah dapati kembali api itu, tapi kami tak punya pilihan lain lagi. Pilihan kami hanyalah menghibur diri sambil meyakini api itu akan bisa dikumpulkan kembali. Api yang dulu memagari lingkaran hidup muda kami. Saat kami masih bisa hidup sambil tertawa lepas dan rasai nyamannya bermimpi. Saat kami masih bisa terus bergenggaman tangan sambil saling bersedekah kebahagiaan. Saat kami bisa berjalan tepat arah sambil memejamkan mata karena kami masih punya tali hati yang menuntun kaki. Saat kami masih belum begitu dewasa untuk temui fakta bahwa dunia ini tak hanya tertawa, bahagia, nyaman juga berjalan tepat arah.


Kami sekarang sedang bersahabat dengan alam yang ternyata malah mengkhianati kami dengan badai ini. Lalu kami terseret arus yang dulu pernah kami percayai untuk membawa arah hidup kami kemanapun. Dulu kami sempat menyerahkan hidup pada aliran air. Ternyata sekarang air itu tergoda arus dan angin hingga kemudian mengganti nama jadi badai hanya agar kami tetap mempercayainya. Nyatanya kami percaya hingga akhirnya kini terdampar di bagian dunia bernama kecewa. Intinya kami tertipu keadaan.


Aku, Ratri, Adri dan Naen masih sedang memunguti beberapa pecahan harapan. Kami sedang berjuang keras dapati kembali harapan dan keberanian untuk kembali bermimpi. Kesekarangan begitu menakutkan hingga kami merasa sedikit takut jika pintu selanjutnya akan terasa begitu mengecewakan. Lalu kami merasa saling punya wajib untuk saling mengirimkan kekuatan hati. Kami bergantian merasakan hati masing- masing dari kami. Ratri sempat juga kuminta merasakan hatiku yang sedang menjejali otak dengan idealisme. Dia juga memberiku ijin untuk sekedar melihat- lihat rongga hatinya yang sedang bahagia namun tersendat formalitas. Adri dan Naen juga saling melempar rasa hanya agar keduanya merasa bertukar raga juga hati. Akhirnya malam kemarin kami merasa bisa kembali bersama meskipun kami masih belum juga pasti apa sudah dapatkan kembali apa yang masih sedang hilang.


Pertemuan yang begitu mendewasakan. Tawa yang sempat terlempar mungkin hanya konpensasi rasa sakit yang lama mengendap. Genggaman jemari itu mungkin juga hanya upaya kami menghibur diri dan ungkapan pengganti kata “Tolong temani aku ya?!” agar tidak merasa sendiri. Lelucon yang kemarin turut serta hanya bagian dari formalitas sebuah pertemuan. Juga untuk menghindari dominasi kesedihan yang sama- sama sedang menggantung di kelopak nyawa kami. Hanya satu yang sedang sama- sama kami cari kemarin itu. Yaitu perasaan tertemani dan tidak sendiri. Ada sekilat rasa lega saat tahu ternyata tidak hanya aku yang merasa sakit. Ternyata tidak hanya aku yang merasa begitu rindui masa dulu. Ternyata bukan hanya aku yang merasa bahwa keburuntungan adalah sebuah kebutuhan primer untuk bahagia. Ternyata tidak hanya aku yang harinya sedang meremang. Mereka juga sama. Dan kami merasa bersatu kembali. Dan kami merasa begitu ingin mematikan waktu agar hari masih tetap bernama Minggu. Dan kami dalam hati mengumpat adanya kalender yang selalu saja mau dirobek dengan alasan waktu tak bisa berhenti. Yang terakhir kami masih sempat bersyukur masih saling memiliki hingga saat ini.


Sayangnya kami harus segera bangun dari mimpi yang memabukkan ini. Kami harus kembali meletakkan hidup kami pada tempat yang tepat. Aku disini. Mereka disekatan bumi yang lain. Yang sama, mungkin, hanya perasaan kami saja. Perasaan yang sedang meremang. Yang sama, mungkin, hanya apa yang kami lakukan saja; yaitu memunguti sisa nyala api sambil mencari cara nikmati hidup.


Sekarang hari sudah punya nama lain. Bukan lagi Minggu. Bukan lagi disebut hari ini. Panggilannya adalah kemarin. Dan kini hujan turun lagi. Begitu menakutkan bagi kami yang sedang mencari- cari sisa api. Hujan dan angin begitu menyulitkan kami. Menjadikan kami merasa agak tidak mungkin temukan kembali api. Tapi kami harus tetap mencari. Demi sebuah kehangatan bagi jiwa kami yang menggigil. Hati kami masih tetap saling bergenggaman erat.


Beberapa deret waktu yang lalu aku pernah bertanya; apa mereka semua sedang bahagia? Apa mereka semua sedang merindukan Asunaro? Apa mereka baik- baik saja? Apa mereka juga sedang menangis sepertiku disini? Apa yang mereka lakukan untuk nikmati hidup? Lama aku baru dapati jawaban dari semua tanya itu. Ternyata mereka juga sedang menangis meski aku tak pernah mampu merasakan sedalam apa rintihan tangis mereka. Bukan karena aku tak perduli tapi karena telingaku sudah terisi penuh oleh suara tangisanku sendiri. Kemudian aku juga tahu bahwa mereka juga masih sedang mencari cari cara menikmati hidupnya yang hanya bagai sekotak klise foto. Tak berwarna meski masih bisa sedikit dimengerti oleh sesama Asunaro. Ternyata, kami saling merindukan. Kami rindu genggaman tawa masa muda. Saat hidup masih begitu mudah hingga kita punya banyak waktu untuk tertawa dan iseng bikin masalah.


Tatapan mata kami masih begitu tajam demi lebih teliti mencari apa yang sedang kami cari. Tapi itu saja masih belum cukup. Nyatanya kami masih saja menunggu entah apa yang bisa jadi adalah sebuah bantuan untuk dapati bahagia. Dulu kami pikir bisa lebih lengkapi hidup dengan seorang belahan jiwa, namun itu tak sepenuhnya benar. Rasa lengkap itu masih perlu diperlengkap lagi. Kelengkapan itu hanya untuk beberapa helaan nafas saja. Lalu kami putuskan untuk kembali berjalan, merangkai petunjuk- petunjuk alam demi rasai bentuk kebahagiaan lain. Ironisnya kami tak pernah tahu apa sebenarnya yang bisa jadi kebahagian sejati kami. Kami terus berjalan dengan cekatan agar hujan tak bisa padamkan api kecil yang menyala setengah enggan ini. Kami menolak berhenti hanya agar segera dapati sesuatu yang kami sendiri tak mampu mendefinisi. Bisakah kami temukan sesuatu yang kami sendiri tak pernah yakin apa itu? Bisakah kami dapati sesuatu hanya dengan bekal sebuah entah? Tanpa definisi. Tanpa petunjuk lengkap juga. Lalu tiba- tiba hati kami ingin menangis bersama.


Jika saja kami mau sama- sama jujur, aku yakin kami takkan pernah berhenti merintih. Hati kami begitu sakit. Parahnya kami tak pernah tahu sakit apa yang sebenarnya kami rasa. Yang kami tahu hanyalah, kami merasa sedikit sehat setelah merintih dan menangis. Hanya itu penyembuhnya. Tapi terkadang kami tak punya waktu untuk bersama, hingga tak bisa menangis bersama. Lalu hasilnya kami semua masih saja merasa begitu sakit. Terpisah namun bersama- sama rasai sakit yang hampir sama rasanya dan sama persis obat penyembuhnya. Kemarin, hati kami meronta bersama- sama. Kami berpisah setelah saling mengucap terimakasih atas rasa lega yang sedikit ada karena kami bersama lagi. Ucapan lirih yang begitu tulus dari hati yang sedang merintih.


Semua organ tubuh dan rasaku benar- benar bekerja maksimal kemarin. Aku tidak rela melepaskan setitik petunjuk alam yang mungkin teranugrah melalui Adri, Ratri dan Naen. Hatiku tak pernah lelah membagi rasa untuk mereka semua. Mereka yang juga sedang merintih lirih oleh rasa sakit dan kecewa. Ya Tuhan, aku benar- benar merasa sedikit sembuh. Terimakasih atas kebersamaan sejenak ini. Meski api itu masih belum menyala sempurna tapi hati kami sudah begitu hangat hanya dengan cara saling menatap. Apa sebenarnya sisa- sisa api itu berada di mata kami sendiri? Lalu bagaimana mungkin kami bisa dapati sisa- sisa api itu karena kami tak mungkin bisa menatap mata diri sendiri. Pantas saja kami terus mencari dan belum juga mendapati. Karena ternyata sisa- sisa api yang kami cari itu ada dimana kami tak akan mampu jangkaui. Lalu kami harus bagaimana? Mungkin jalan yang baik adalah terus bersama dan saling menatap hanya untuk dapati pantulan mata sendiri. Lalu segera memungut sisa- sisa api. Secepat mungkin. Sebelum kami terganggu oleh kedipan.


Kami mau bahagia kembali. Sama seperti masa muda kami. Semoga bisa…

Aku baru saja mendengar kata hebat; Persahabatan ada bukan karena diciptakan, bukan juga karena kesengajaan. Persahabatan dilahirkan dan ditempa oleh waktu. Maka aku baru saja menyadari bahwa Asunaro juga lahir oleh waktu. Maka sekarang, untuk pertama kalinya, aku sungguh berterimakasih banyak pada adanya waktu yang akhirnya melahirkan Asunaro buat kami. Terimakasih banyak…


Sebenarnya aku mau menyudahi rentetan kata ini tapi sayangnya aku masih sangat menikmati guratan ini. Aku masih butuh merintih dan mungkin saja ini adalah salah satu cara nikmati hidupku yang sewarna klise foto ini. Bingung mau menumpahkan apalagi. Alunan nada dunia sedang menggema karena hari memang masih belum terlalu menua. Tanah dan aspal masih saja becek oleh hujan lebat sore tadi. Dingin sedikit mengintip namun gerah segera menutup pintu cuaca. Jam tujuh malam kali ini hampir serupa dengan jam sepuluh malam di sebuah kota kecil yang masih pekat dengan aroma Islami. Sepi dan hanya ditutup kelambu Adzan serta pujian bagi Sang Kuasa. Begitu sedap suasana malam ini hingga aku sejenak melupakan semua rintihan yang semula ingin kumuntahkan.


Kulitku terasa kering. Mungkin akibat sisa- sisa sabun mandi yang melekat hebat disana. Maka aku berdiri demi menjangkau lemari berwarna coklat muda yang hanya berjarak sekitar enam puluh senti di sebelah kananku. Berhasil. Nivea Body menormalkan cuaca kulitku. Sekarang aku sudah merasa sangat nyaman. Berada disini sendiri. Dengan daftar lagu di Winamp lengkap dengan Mini Lyrics-nya. Dengan perasaan nyaman oleh cuaca. Selimut empuk warna cerah ini juga tidak lupa hangatkan kakiku. Rambutku kali ini aku biarkan tergerai agar dia juga bisa bebas rasai sedapnya malam ini. Aku mau berlaku adil buat semuanya.


Aku sudah puas. Sekarang aku mau mengalihkan pikir dan indra manusiawiku ke bentuk hiburan lain. Bukan karena aku bosan meneteskan embun pikiran tapi karena aku mau mempertahankan perasaan dan menghindari kebosanan. Lain kali aku pasti akan datang lagi. Karena aku sudah kecanduan suara lentik keybord laptop saat jemari menari mengunci kata didalam layar elektronik ini. Aku kecanduan merdu suara itu. Karenanya aku pasti akan kembali dengan hati. Bukan dengan formalitas ataupun bentuk- bentuk toleransi. Percayalah…

Semoga….

19:28


Hujan sore ini sangat menakutkan…

No comments: