Sunday, March 29, 2009

Saat hujan baru mereda...


Kediri
Bernama Jum’at
Bertanggal 20 November 2008
Kala hujan belum juga reda…


Malam masih belum terlalu tua hingga aku merasa tidak ada salahnya jika aku meregangkan sedikit nyawa untuk merekam hari lewat kata. Meski hujan belum juga mereda, gerah masih juga gigih berjuang untuk terus memaksa tapaki hari ini. Entah apa yang ada di pikiran sang gerah. Sedikitpun tidak merasa akan kalah bersaing dengan hujan yang hadir berteman dingin.

Sekarang aku tahu makna perjuangan. Aku belajar banyak dari rasa gerah yang dengan begitu teguhnya melawan dingin yang jelas- jelas sudah dipromotori oleh hujan. Nyatanya, gerahlah yang menang (meski dimataku dia hanyalah sebentuk calon pecundang yang akan segera menjadi pecundang sejati). Nyatanya aku salah perhitungan. Dan kesalahan ini bukan yang pertama (dan kemungkinan besar bukan yang terakhir).

Sebenarnya malam ini aku ingin menuangkan seseorang dalam kata- kata. Seseorang dari dunia maya yang sampai saat ini masih juga bersinggungan dengan urat bahagiaku. Terimakasih untuknya. Namun entah kenapa tiba- tiba barisan kata yang tadinya berjubel di ingatan dan terus saling dorong untuk dituang dalam kata, kini lenyap. Aku belum tahu harus menuliskan apa untuk dia.

Ini batang rokok kedua yang hinggapi bibirku malam ini. Aku sedang dalam taraf ingin bersenang- senang tanpa dianggap tidak bermoral. Aku sedang sendiri. Merokok sambil amati deretan huruf- huruf di layar. Putung ini terpaksa kutaruh kembali. Seseorang yang sedang ingin kutuang dalam kata itu menghubungi.

Setelah 18 menit, telepon ditutup dengan alasan hp sudah sangat panas sedangkan headset menyingkir entah kemana. Sisa putung itu kunyalakan kembali. Karena aku berharap tidak sendiri. Ada gulungan asap yang akan meramaikan suasana. Sudah lama sekali aku tidak mengagumi gulungan- gulungan asap serta suara gemeritik khas rokok terbakar dan terhisap. Aku suka memainkan asap itu.

Aku benci diriku saat merokok. Aku merasa seperti perempuan murah pinggir jalan yang sedang menjajakan diri untuk dicicipi siapapun yang sedang butuh. Namun terkadang jiwa inginku lebih dominan. Lalu kuputuskan tetap melakukannya sebagai sampingan kala menulis (seperti sekarang ini, aku merokok sambil merangkai kata). Aku hanya berusaha menggabungkan hal tabu murahan dengan sedikit intelektualitas. Lalu yang terpenting adalah menghindari kaca agar bayangan diriku yang sedang murah tidak tertangkap retina mataku sendiri.

Batang kedua sudah habis terhisap inginku. Kini batang tenggorokanku mulai bereaksi. Berontak dengan cara melukai dirinya sendiri hingga mau tidak mau aku juga yang merasa ada yang tidak beres dengannya. Memang benar, manusia punya organ yang lengkap tapi tidak semuanya bisa dikontrol. Bahkan sebenarnya milik kita itulah yang mengontrol kita.

Tiba- tiba aku merasa orang Indonesia semakin dangkal saja pola pikirnya. MISS CELEBRITY! Menjual kecantikan dengan diskon besar- besaran. Suatu bentuk pembuktian bahwa menjadi cantik adalah hal paling utama. Sedang volume otak tidak perlu diperbesar. Sepertinya kerja keras Virginia Woolf sia- sia saja. Aku jadi teringat kata- kata Ayu Utami dalam Parasit Lajang-nya; wanita adalah makhluk paling buruk rupa karenanya perlu memoles wajah dengan topeng bedak untuk tutupi kekurangan. Tidak heran jika sekarang hampir semua wanita (terutama di kota besar) mempunyai kecantikan homogen.

Aldi, aku sedang benar- benar menunggumu kembali menghubungiku. Tapi aku tidak mau lagi jadi yang memulai. Saat ini aku akan berjuang keras untuk menahan diri agar tidak lagi menjadi seorang pioneer. Karena bagiku kamulah yang harusnya jadi pioneer bagiku. Sampai detik inipun tidak ada pertanda hadirnya suaramu.

Otakku sedang tidak mampu lahirkan kata- kata lagi. Lebih baik aku sudahi saja episode malam ini. Aku hendak mengistirahatkan semua organ tubuhku ini sambil terus nantikan seorang mayaku menghubungiku kembali seperti apa yang tadi sempat dia janjikan. Karena bagiku janji adalah hutang.

Punggungku juga mulai mengajak tempat tidur bersenggama…
Kali ini aku harus menyerah pada tingginya libido mereka…
Mungkin karena hari ini bakal berganti nama…
Mataku juga semakin mengatup tutupi retina…

Sebentar. Aku sedang mengingat sesuatu. Aku cuma merasa perlu menuliskan bahwa aku sedang menapaki tangga kejenuhan. Banyak kekecewaanku terhadap seorang mayaku yang kemudian memaksaku menaiki tangga itu. Terlalu sering aku menunggu untuk kemudian dijatuhkan dari harapanku yang sudah terlanjur meninggi oleh janjinya.

Mungkin yang benar adalah aku membiarkan diriku terus naiki tangga untuk kemudian berada di titik jenuh sehingga aku dengan sukarela berubah menjadi sebuah kenangan yang entah akan dikenang atau segera dileburkan dalam hiruk- pikuk kehidupan bising kota Metropolis. Apa yang sekarang aku rasakan sama persis dengan apa yang dia katakan. Dia sempat berkata bahwa aku membuatnya jenuh.

Aku banyak dikecewakan oleh kata- katanya yang ternyata tidak bisa dipegang. Mungkin sekarang aku merasa sangat perlu melakukan peninjauan ulang terhadap semua rencana. Tidak ada jaminan dia akan memenuhi apa yang terlanjur dia katakan. Aku hanya tidak berminat dikecewakan dengan cara yang lebih menyakitkan lagi.

Harapanku adalah agar aku dan dia mencapai titik jenuh disaat yang sama sehingga kami dengan sukarela saling melepaskan kebiasaan ini. Agar tidak ada yang terlalu tersakiti. Agar tidak ada yang merasa menang karena meninggalkan dan menangis miris karena ditinggalkan saat masih merasa belum bisa merdeka dari kebiasaan selama ini. Mungkin harapan itu yang paling adil bagi aku pun baginya.


11.32
Hujanpun (akhirnya) mereda…

No comments: