Sunday, March 29, 2009

Sore...


Mojokerto
12 Februari 2009
Berpijak pada sebuah Jum’at


Mentari sedang beranjak redup. Bersiap diri untuk mati suri dan mewakilkan diri pada bulan atau mungkin bintang yang siap bertandang di indra manusia. Malam siap dominasi hari. Memang begitulah lingkaran alam. Terus menggelinding meski dengan arena tanding yang sama dan penonton yang juga tak pernah berubah. Udara sore ini begitu jinak hingga aku lebih memilih membuka panca indra demi nikmati detik hari. Angin sore juga merasa harus pamer kemesraan dengan para flora. Saling bertautan, lahirkan gerakan lemah pada semua yang dicumbuinya. Simbol kenikmatan, mungkin. Langit sore ini tak begitu cerah. Pun tak terlalu terlihat lelah meski sudah entah sejak kapan payungi bumi. Yang jelas langit itupun enak dilihat. Mendung yang sedikit gelap datang bertandang karena mungkin merasa diundang oleh musim yang kala ini bernama penghujan. Jika aku boleh mereka dan mencoba sedikit sok tahu, mungkin mendung itu merasa punya kewajiban datang sore ini. Maka secara keseluruhan, alam sore ini terasa begitu manis, nikmat dan gurih buat dinikmati. Percayalah padaku…

Pandanganku sedikit kebingungan. Banyak yang bisa dilihat. Makanya gagal jatuhkan pilihan akan setia pada yang mana. Pada langitkah? Jajaran genteng tetangga yang terlihat begitu rapi (karena aku di balkon rumah)? Rak buku yang sedang aku hadapikah? Cermin lemari yang sedang pantulkan bayangankukah? Atau kardus TV yang terlokasi di sebelah lemarikah? Baiklah, aku putuskan untuk setia pada layar ini saja. Agar aku bisa terus rekam sore ini dalam kata. Supaya suatu waktu nanti aku bisa membaca kembali kemanisan, kenikmatan dan kegurihan sore ini.

Cahaya mentari mulai terusir waktu. Gelap porsi mini sedang datangi hari. Lalu aku berdiri sejenak demi mencari tombol lampu bantu. Agar gelap tidak merasa terlalu dominan. Agar mata tetap merasa nyaman. Agar PLN juga bisa mengirim tagihan listrik bulanan. Agar aku juga sama dengan para tetangga yang juga butuh penerangan…

Mataku terasa sedikit perih. Badanku terasa terlalu banyak bercanda dengan angin yang tak pernah punya rasa letih. Hidungku mulai merintih. Salahku juga karena terlalu lama duduk di balkon ini. Aku mengantuk tapi tak mungkin bisa temui lelap karena hari sedang meranum hingga aku harus menunggu sampai hari mematangkan diri dulu. Kata orang Jawa, tak baik tidur saat menjelang Maghrib karena itulah saat setang keluar untuk berpetualang. Bisa bikin mimpi buruk, kata mereka. Dan aku percaya meraka. Bukan karena aku jenis manusia pengikut budaya kolot nenek moyang, tapi karena aku pernah suatu kali di masa lalu terbangun dengan keringat takut saat memaksa terlelap di hampir Maghrib.

Adzan akhirnya menyapa pendengaran. Lega rasanya. Bukan karena setelah ini aku bisa langsung berlayar di negeri mimpi melainkan karena hari telah bernama malam. Dan aku suka malam. Dan aku mencintai malam. Bahkan aku mengagumi malam. Sama dengan rasa suka, cinta dan kagumku oleh hujan. Sudah sifat bawaan jika aku adalah manusia pecinta malam dan hujan.

Bagiku malam adalah satu- satunya sahabat paling karib. Selalu memberiku sempat untuk rasai nyaman dengan kadar tinggi. Bisa sembuyikan apapun yang tidak berkenan kita bagi dengan yang lain.

Sebentar. Aku minta waktu tunaikan wajib dulu. Sebentar aku pasti akan kembali disini. Masuk dalam dunia kata. Mengurung diri sambil nikmati malam. Rehat barang beberapa menit.

Maaf. Maaf atas kealpaanku. Maaf atas ketidakmampuannku dalam penuhi kata bernama janji. Maaf karena rehat yang aku janjikan hanya beberapa menit ternyata terjalani hingga kemudian mencapai beberapa hari. Raga dan jiwaku kala itu terasa agak enggan mengulas sore itu. Bukan karena sore itu kurang indah hingga aku tak lagi mampu ungkapkannya dalam bentuk kata, tapi karena aku terlanjur merasa lelah dan merasa tak mungkin mampu mencetak rasa dalam kata. Itu saja alasannya.

Hingga hari secara otomatis bergulir nama. Aku kini bertemu dengan Senin kembali. Senin yang bertanggal 16 Februari 2009. Dan seperti biasa, aku kembali menghamba disini karena merana oleh kebosanan. Merana oleh kesenggangan yang bagiku sangat kurang menantang. Aku tidak suka.

Beberapa hari yang lalu suatu keironisan terjadi. Berada dekat denganku. Sebuah hari yang dinobatkan oleh sebagian besar manusia bumi sebagai hari kasih sayang. Sesuai dengan namanya, semua manusia merasa harus berlomba dengan sesamanya untuk merayakan dan berkasih sesayang mungkin, juga, kepada sesamanya. Coklat, merah muda, bunga, boneka I LOVE U, kue bentuk hati dan semua perlambang hari kasih sayang terasa begitu dimanja oleh manusia. Dielu- elukan. Dicari- cari untuk kemudian berakhir di tangan dan hati orang yang disayang. Bisa jadi pacar, saudara, sahabat atau hanya sekedar teman, orang tua atau siapapun yang dikasihi juga disayangi (mungkin hanya di hari itu saja). Orang bilang hari ini bumi berganti warna, jadi merah muda. Kata mereka. Tapi mungkin aku buta warna hingga tak punya daya melihat perbedaan warna bumi seperti yang mereka- mereka kata. Tapi apa mungkin ada manusia yang buta warnanya tak bisa bedakan warna merah muda? Ada! Dan itulah saya. Bagiku, hari itu berwaran hitam karena ayah baru saja meninggal dunia. Sehari setelah itu, mamanya divonis terjangkit Deman Berdarah campur tipes. Mungkin benernya adalah bahwa hari itu berwarna merah muda campur hitam yang kemudian menghasilkan warna hitam. Karena hitam begitu dominan. Saat manusia ramai bergelak tawa berkasih dan bersayang, sahabatku itu sedang bergelak tangis, berkasih dan bersayang dengan ayahnya yang kini telah almarhum. Sedihku untuknya. Dia pasti, sedikit, tidak suka hari kasih sayang dia tahun- tahun berikutnya hingga akhirnya dia jadi almarhumah juga. Mungkin.

Rasaku serasa tak sedang berada disini. Entah ada dimana dia. Yang jelas aku tak merasa punya rasa. Karenanya aku tak bisa terus cerita. Maka aku akan mencarinya. Hanya untuk satu alasan; agar aku kembali punya rasa untuk lanjutkan cerita. Selamat malam semua…




19:21

No comments: