
Mojokerto
Bertanggal 4 Maret 2009
Saat hari bernama Rabu…
Bumi serasa lambat berputar…
Sebenarnya aku merasa sangat tidak enak hati harus kembali kesini dengan rasa marah yang sama. Rasa marah yang berhasil kuredam dengan sekam sepi hingga marah itu merasa tidak lagi perlu luapkan diri secara berlebihan. Aku marah dengan fakta. Marah dengan sebuah kondisi yang kuciptakan sendiri. Mungkin lebih benar jika marah itu diberi nama kecewa berlebih. Dan aku tak kunjung jumpai obat sembuhi diri. Hingga aku tak lagi punya pilihan selain menyekap diri dalam sendiri sambil kembali mencari- cari keindahan sepi itu. Mungkin keindahan sepi ternyata sedang bersembunyi di balik himpitan dinding oleh almari. Atau mungkin saja keindahan itu sedang tertindih sprei yang rapi rangkuli tempat tidur. Bahkan mungkin saja sebenarnya keindahan itu ternyata sedang berusaha melepaskan diri dari beberapa pasang baju di gantungan. Maka aku akan membantunya kembali rasai nyamannya kebebasan. Lalu kita bisa bersahabat. Lalu kita bisa sama- sama merasa bahagia dalam sepi. Tanpa kata. Karena meski berdua, kami tak berbahasa sama. Maka kami akan berusaha rumuskan bahasa agar bisa saling berkata lalu memahami.
Pernah juga aku berusaha alihkan kecewa dengan cara bertandang sopan ke masa lalu. Kecewa itu sedikit menyingkir. Mungkin karena ada banyak bahagia yang menyembul hingga akhirnya kecewa merasa tak lagi perlu hinggapi nyawaku. Dan aku benar- benar merasa sedang menembus detak waktu yang salah sekaligus mencandukan. Kelanjutannya bisalah ditebak. Benar! Aku tak mau lagi lepaskan tanganku yang terlanjur erat sentuh masa lalu. Lalu ternyata aku terbangun. Aku tersadar bahwa aku sedang bermimpi nyata. Nyata menyentuh erat masa lalu dalam sebuah mimpi tanpa terlelap sejenakpun.
Aku benar takut. Merasa sangat terselimuti oleh ketakutan yang garang menyerang jiwaku yang memang sedang menolak ditemanki siapapun. Aku mau merasai semuanya sendiri. Jika ada sebuah nyawa ingin menemani, aku akan secara formalitas mengiyakan meski nyata- nyata aku akan sembunyi darinya. Agar aku bertemu dengan sendiri lagi. Bahkan kini aku takut bermimpi. Karena mimpi hanya akan beri aku bentuk kesengsaraan yang lain. Mungkin akan tampak sebagai senyum manis meski sebenarnya itu hanyalah topeng nyata sebuah rintihan nyeri nyawaku. Aku tak mau lagi merasa nyeri hingga harus merintih seperti sekarang ini. Aku sungguh merasa begitu lelah. Lelah rasai bosan yang tak pernah merasa bosan merajam jiwaku yang dianggap sebagai pezinah. Padahal aku seorang bukan. Aku benar bukan pezinah!
Larut secara ikhlas lalu tergerus masa hingga jadi cairan sejarah. Mungkin itulah cita- cita terbesarku. Karena nyawa letih sepertiku takkan bisa lagi menempuh waktu yang kian menua. Menyerah pada waktu lalu bermetamorfosa menjadi sejarah.
Aku menghela nafas sedalam- dalamnya. Sedikit lega…
Ya ampun…waktu begitu renta hingga berjalan tanpa kecepatan. Detik- detik langkahnya berganti tanpa rasa. Begitu lambat hingga aku tak lagi merasa tertantang untuk berpacu mencipta kenangan setak terhitung mungkin. Sia- sia jika saja aku memaksa melukis kenangan itu. Karena akan menjadi sangat terlalu banyak. Langkah renta waktu ini kubiarkan begitu saja.
Apalagi yang bisa dirintihkan? Tak ada lagi. Semua sudah pernah kurintihkan. Hatiku masih belum sanggup menantang maut dapati rintihan lain. Maka bisa dikatakan semuanya sudah lengkap terintihkan.
Telepon genggam hitam ini tiba- tiba dideringkan seseorang yang jauh dari penglihatanku. Belum sempat terangkat. Mati…
Nyaman sekali ternyata jika kelopak mata mengatup. Karena hari akan terasa bagai malam yang mampu sembuyikan apapun, termasuk kesepian diri. Tak lama mengatup. Tak boleh terlalu lama mengatup, memang.
Sebentar….
Kopi legam ini kuhisap sejenak lalu kulumat beberapa bagian. Nikmat. Lalu kuulang lagi. Sampai sebagian besar haus ini terlumat…
Beberapa langkah renta waktu aku menanti sesuatu yang katanya akan hadir. Aku masih menunggunya.
Beberapa rentang waktu aku mendapat sebentuk hiburan dari nyawa lain. Terimakasih untuknya…
Kini hatiku terasa tersihir secara sukarela oleh nyawa itu. Aku merasa sedikit tenang dan berhenti mengumpat. Dia bukan siapa- siapa tapi bisa juga memberi sedikit udara harum bagi nyawaku yang sedang meranggas kering. Nyawaku mingkin sedang bermusim kemarau hingga tanah jiwaku banyak yang retak, hutan nafasku banyak meranggas pun sungai birahiku sedang mengering dan mengerontang. Mimpi- mimpiku sedang terbakar habis oleh keringnya udara jiwa. Lalu asap- asapnya membumbung tinggi hingga kemudian menutup rapat langit manusiawiku dari dunia luar yang begitu berwarni. Angin lemas sesekali datang luapkan marahnya oleh suhu yang luar biasa panas. Retakan tanah itu semakin meluas hingga bersatu dengan sungai tanpa meninggalkan setitik perbedaan. Disinilah sungai dan tanah seumpama dua insan yang sedang melumerkan birahi. Begitu menyatu dalam semua rasanya.
Cairan kopi legam itu telah total terhisap habis oleh haus. Menyisakan beberapa bagian sisa serupa tanah basah. Kini cangkir besar berbahan keramik ini bisa kembali memutih. Tak lagi terdominasi warna oleh si kopi yang kepekatanannya mengalahkan semua bentuk kecerahan. Mungkin sekaranglah masa kebebasan bagi cangkir yang setia ini. Motif tulip orange cangkir itu terwarna semakin orange. Terlihat berseri. Aku turut bahagia buat cangkir merdeka itu.
Bagaimana denganku? Apa aku merdeka juga seperti sang cangkir? Hampir! Karena hari akan segera gelap. Dan gelaplah masa merdekaku. Dimana aku bisa merasa tersembuyi tanpa harus bersusah payah menyembunyikan diri. Aman terasanya…
Berdiri sejenak ditepi jendela. Menyadari segarnya cuaca hari ini. Embun sore seakan mencair tersulut mentari yang meski meredup namun tetap memendam kobar. Angin kanak- kanak bermain- main riang bersama pucuk dedaunan. Tertawa renyah meski masih juga luput dari pendengaranku. Dedaunan terlihat geli tergelitik angin. Tubuhnya berayun gemulai bagai pementas sandiwara diatas panggung. Setiap gerakannya adalah pusat perhatian bagi semua penikmat alam. Hijau itu tersenyum begitu manis mendengar tepukan tangan manusia yang merelakan sekejap waktunya untuk amati indahnya sore. Seperti aku yang selalu punya masa untuk mematai setiap pergantian waktu.
Para tetangga terdengar begitu sibuk rampungkan tugas yang tertunda. Mungkin sebagian dari mereka memandikan si buah hati. Ada juga yang bersiap tunaikan sholat sore. Beberapa tetangga masih santai melempar kata sambil bersihkan halaman rumah. Anak- anak SD merasa sudah waktunya berangkat les atau mengaji di langgar dekat rumah. Sore rasanya begitu lunak. Nikmat bila dirasai dengan segenap rasa yang tersisa…
Letihku tiba- tiba mengabur entah menuju mana. Dan akupun enggan menggapainya kembali. Biarkan saja. Toh aku tak pernah memaksanya pergi. Rasaku sedang nyaman. Karena sore yang lembut. Sore yang melunak. Sore yang menentramkan…
Aku mau sholat sore dulu…
Semoga aku bisa kembali membawa kata untuk dituang kedalam gerabah isi hati ini…
Doakan aku tak lupa mendoa…
Beberapa kala berselang hingga kini aku punya masa untuk lukiskan sisa hari dengan kanvas kata. Sore sudah berganti nama. Kini menjadi berpanggilan petang dan dalam waktu sebentar akan bernama malam. Dan kali ini petang datang beserta hujan. Air berjingkat cepat membasuh semua selimut bumi. Langitpun seakan kedinginan hingga membujuk awan untuk jadi selimutnya. Sekarang yang terlihat adalah kekelaman payung bumi itu. Betapa kelam payung alam itu hingga tak lagi mampu lindungi bumi dari hujan musim ini. Semua kini basah.
Malam akan segera menyulam sisa hari ini. Datang sebagai penutup yang juga bertugas mengatupkan kelopak- kelopak mata manusia. Malam bertandang sambil tiupkan pucuk- pucuk harapan tentang esok hari. Tentang bangunnya mentari pagi. Tentang hangatnya sebuah pagi. Tentang mekarnya embun harapan. Tentang mahirnya alam mencipta keindahan jiwa. Tentang cerahnya warna dunia. Tentang…
Hatiku kini berseri. Mungkin kebasahan alam ini menyalurkan energi baru hingga aku kembali punya berani untuk tersenyum bahagia. Hati ini terasa begitu sejuk. Efek suara air yang berisik itupun tak berdaya mengubah susunan pola hatiku yang sedang cerah sekarang. Bahkan temaramnya hari masih saja kirimkan segenggam kobar tuk terus terangkan jiwa. Aku bahagia….
5:59
Terimakasih Sore…
No comments:
Post a Comment