Kediri
Tertanggal 22 Maret 2009
Di sebuah Minggu muda dengan rasa cinta untuk kota ini….
10:09
Aku tahu ada banyak kata untuk tuangkan rasa secara verbal. Banyak sekali nama untuk gambarkan perasaan hati. Senang yang berlawanan arah dengan Sedih. Lalu ada juga Bahagia yang punya makna sama dengan kata Senang. Puas yang berbalikan dengan Tidak Puas. Lega yang berbipolar oposisi dengan Belum Lega. Kagum yang bisa disanding lawankan dengan Biasa Saja. Cinta yang pastinya bermusuhan kata dengan Benci. Nyaman yang bersingkuran dengan Tidak Nyaman. Well, ada begitu banyak lagi. Sayangnya aku tidak terlalu mampu berdefinisi dan mencari oposisinya. Yang pasti, ada begitu banyak bahasa verbal buat ungkapkan rasa. Itu saja.
Gemini kembali mendominasi. Aku kembali merasai peledakan emosi dan rasa. Semua serba mendadak, bercampur dengan hampir sempurna hingga aku mengalami kesulitan untuk memilih kata guna gambarkan perasaan hati. Ada banyak kata yang mungkin akan kupakai. Senang. Kagum. Lega. Nyaman. Kuputuskan untuk hanya memakai empat kata rasa itu. Berlebihan jika kucari semua ungkapan.
So far, semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana serta angan- angan. Meskipun ada sedikit ketidaksesuaian tapi segera tertutupi oleh kenyamanan lain yang terlalu meninggi.
Lalu…
Cuaca tak meluluhkan lahar hangat kami untuk menelan malam bersama. Berlima rasai malam di Café Minie Kediri. Hujan sempat datang dengan gagahnya. Bersama senjata petir dan kilat. Namun jiwa kami memang sedang ingin tepati janji. Semua kemudian hinggapi tempat ini dengan berbagai perasaan yang kuyakin saling mengikat. Kami mungkin sedang ingin saling melempar rasa lewat kata.
Anto datang dengan label Asunaro Hakusho di dada. Dia adalah seorang Mugi Brillianto yang mencariku lewat dunia maya. Dia yang merasa perlu mencari jejak hidup Asunaro Hakusho yang nyata- nyata hanya sebagai kisah rekaan. Lalu dia menemukanku secara nyata. Lalu aku mempertemukannya dengan pecahan Asunaro lain. Meski tak benar lengkap, kuyakin dia sudah bisa menebak rangkaian gambar hidup Asunaro ini. Dia datang sebagai manusia baru dalam tubuh sekarat Asunaro. Gagapnya bibir Asunaro serasa tersambung kembali dengan lidah manusia baru itu.
Kami terasa begitu menikmati. Ratri yang datang bersama lelakinya juga ternyata secara damai meletakkan beban jiwanya. Menyandarkannya di sisi belakang kursi kayu besar itu. Sedang lelaki itu juga secara terang benderang mengungkap sisi terang manusia Asunaro baru itu. Lalu aku tak henti- hentinya menikmati setiap detik pernafasanku disana. Berharap agar waktu bisa berikan lebih banyak lingkaran umur buat kami. Lelakiku terlihat nyaman mencipta dunia baru diantara para Asunaro. Semua tampak menikmati malam kemarin. Kuharap semua benar senang.
Kediri kali ini bagai sebuah kota maya yang tawarkan banyak sekali bahagia yang tak terlalu banyak ditawarkan dunia nyata. Semua yang ada disini bagaikan nampan yang membawa menu beragam dengan satu aroma, yaitu bahagia. Dengan satu kelezatan, yaitu tawa sumrigah. Dengan beberapa mangkuk dan piring hidangan. Bahkan tudung saji yang terpakaipun berhiaskan renda kebebasan rasa.
Mengapa?
Semua nyawa yang sempat jadi bagian masa duluku mungkin merasa punya wajib bahagiakan aku. Dan sekarang aku merasa enggan kembali ke dunia nyata meski sebenarnya apa yang kupunya sekarang adalah sebuah nyata. Sebuah nyata yang salahi konvensi karena hanya sajikan satu macam menu kehidupan. Sebuah nyata yang terlalu homogen karena hanya ditumbuhi lumut kebahagiaan. Aku enggan kembali. Pun aku harus kembali. Segera…
Kuputuskan untuk punyai dua rencana baru. Rencana untuk selalu mengingati dan merindui masa ini. Merindui karena indahnya. Merindui karena harum aromanya. Merindui karena rinai tawanya yang terlampau segar. Merindui karena rasaku sengaja kutinggalkan disini. Merindui karena aku terlanjur berjanji lirih pada mereka semua. Merindui karena memang patut dirindui. Atau juga merindui karena masa kemudianku tak lagi sama seperti sekarang. Jiwaku tersenyum begitu renyah…
Gerah mulai menimang siang. Peluh mulai rambati sulur ragawi. Benderang sudah lama menabuh genderang perang. Panas bumi terasa bagaikan sengatan lebah paling berpengaruh. Betapa siang tergambar begitu sempurna dengan kelengkapannya. Lalu, seperti biasa, aku mendoa agar bisa tetap bahagia di semua situasi yang ada.
Terhenti sejenak oleh obrolan dengan lelakiku…
Segelas air mineral jernih terhisap olehku. Maaf untuknya…
Aku sedang mencari- cari kelebat ide yang hilang entah kearah mata angin mana. Aku sudah kelelahan mencarinya. Maka kuputuskan untuk berhenti. Kembali menyapa dunia nyata yang sedang serupa dengan dunia impian maya…
Hampir tengah hari
11:34
No comments:
Post a Comment