Kediri
Pada sebuah pagi bernama Rabu
Bernomor punggung 26 November 2008
4.45
Mataku sebenarnya masih ingin terus mengatup karena hari memang baru saja terbuka. Perutku sedang meronta ingin mengunyah sesuatu hingga kuputuskan memulai hidup pagi ini. Secangkir Nescafe creme telah menunjukkan dedikasinya padaku. Terimakasih untuknya.
Kini telingaku sedang menjadi penikmat jamahan nada oleh suara, sedangkan retinaku sedang menatap Periskop Metro TV yang sengaja kunobatkan sebagai teman baruku pagi ini. Namun layar itu sengaja kubungkam suaranya karena aku hanya tertarik menikmati pagi sendiri. Biarlah retina lain ditempat ini mengatup rapat. Karena hari memang masih bayi.
Tiba- tiba nyawaku terasa lenyap sekejap. Sekembalinya, kutanya dia. Lalu dia berkata “Aku baru saja melesat mencari rasa yang selama ini kamu maui”. Belakangan ini aku memang sedang mencari nilai estetika dan melankolis dari sebuah kehampiran. Sudah agak lama aku berusaha mendapatinya. Belum juga kutemui hingga akhirnya aku menyimpulkan bahwa kali ini aku gagal membawa rasa yang harusnya ada temani kehampiran. Sempat kuputuskan untuk menerima semuanya apa adanya, tanpa terlalu memperdulikan harusnya seperti apa. Namun tiba- tiba saja rasa itu datang untuk tempati posisinya. Memang benar, jika kita menerima semua dengan hati terbuka maka hati akan memberi kita rasa yang lebih indah. Setidaknya itulah yang sekarang ini sedang aku rasai.
Aku tidak pernah menyangka sebuah rasa kehilangan kemudian menyapaku sepagi ini, saat beberapa bagian nyawa masih absen dan hari belum begitu dewasa. Hatiku tiba- tiba tayangkan senyuman Galih “the Jamaican boy”, celotehan Viko, Andre dan Johan, keseriusan wajah Bagos. Merekalah yang menggugah rasaku yang mungkin sedang tertidur oleh lelah. Wajah-wajah ceria yang akan segera aku ucapi selamat berpisah. Apa mereka akan merinduiku? Apa mereka akan mencariku? Apa mereka sempat merasa nyaman karena adaku? Apa mereka bahkan akan merasa lebih nyaman tanpaku? Berbagai tanya itu hanya mengharap satu jawab; “iya”.
Keputusanku untuk memugar sekat hidupku ditempat ini ternyata membawa rasa kehilangan. Kehilangan wajah indah itu. Kehilangan kesempatan untuk kembali kembangkan senyum itu. Kehilangan kebersamaan dengan semua yang sempat ada.
Akhirnya aku merasa kehilangan juga. Rasa inilah yang sebenarnya sedang aku cari karena memang benar ingin aku rasai.
OST. Cayman Island byThe Kings of Convenience.
Begitu teduh saat terseduh telinga pagiku.
Hari memang masih begitu tenang karena belum banyak retina terbuka, masih sedikit suara mengambang di udara pun langkah kaki masih belum sempat mengusik telinga. Semua masih terasa muda dan baik- baik saja.
Meski aku nyata- nyata nyaman merasa tidak berteman, namun sebuah kewajiban manusiawi memaksaku untuk membuka sepasang retina lain agar raganya siap bertegur sapa dengan Sang Khalik. Harapanku hanya agar pasangan retina itu segera mengatup lagi setelah semua tertunaikan. Hanya penuhi kewajiban manusiawi.
Otakku sedang ingin sedikit melambat. Aliran kata ini terasa sedikit tersumbat. Aku mau rehat beberapa helaan nafas sembari menunggu hatiku bercerita apa yang dirasainya.
Syukurlah, aku kembali tidak berteman karena hanya retinaku saja yang bekerja pagi ini. Aku masih dalam kondisi menunggu hati menjamah otak, lalu hasilkan untaian kata yang kemudian akan direkam oleh jemari diatas layar.
Baiklah, aku putuskan berhenti menunggu hati. Sudah cukup semua yang ingin kusebut. Hari yang tadi masih bayi kini sudah tumbuh menjadi batita. Lebih baik mengakhiri ini secara baik- baik. Aku mohon diri. Aku akan segera mengatupkan lagi sepasang retinaku.
5.26
No comments:
Post a Comment