Monday, March 23, 2009

Vaska Alteria...

Kediri
Minggu, 28 Desember 2008
Hampir jam lima sore
Sebagai Vaska…



Siapakah sebenarnya aku ini? Vaska atau Belva? Beberapa panggilan yang membawa arti berbeda. Aku memang sedang menikmati, bahkan bisa dikatakan sangat menikmati berperan sebagai Vaska. Sesosok wanita berumur masih 24 tahun dengan karir bagus, tampilan fisik yang mengecewakan jarang sekali lelaki dan yang terpenting adalah dia masih punya beberapa nyawa kebebasan untuk menikmati apa saja yang ada di harapannya pun apa saja yang ingin dia rasai karena dia punya segala yang diingini manusia.


Sampai kapan aku akan melakukan peranku sebagai Vaska Alteria? Mungkin aku akan segera membunuh tokoh Va. Bukan karena tokoh ini tidak lagi digemari pemirsa melainkan karena aku harus segera kembali ke dunia nyata dan menjalani peranku sebagai seorang yang terlahir dengan nama Belva Purnama yang jelas- jelas sudah berstatus sebagai seorang istri dari Delvin Teman. Namun kenyataan yang sedang aku punya sekarang masih terasa begitu berat. Aku merasa perlu sejenak melakukan relaksasi dengan cara bersembuyi dibalik Vaska_Alteria@yahoo.com. Aku benar- benar merasa bebas nikmati nyawa. Seakan aku benar masuk dalam nyawa Va.


Aku tak pernah tahu pasti pada siapa aku bisa berbagi lara. Semua yang kini sedang mengelilingiku masih saja nyaman pada dunia tawa mereka. Tak mungkin jika tiba- tiba aku datang dengan perasaan sembab oleh beberapa gelintir kekecewaan, sekilat kesedihan dan kekhawatiran maupun seliter air mata kesepiaan. Mereka tak mungkin bisa memahamiku karena tak sedang berada pada dunia yang sama denganku. Lalu aku memutuskan berubah menjadi khayal bernama Va.


Sebagian nuraniku berteriak lirih agar aku segera beralih tokoh, kembali menjadi Belva. Karena dia pikir aku sangat tidak adil terhadap suamiku. Namun aku sungguh masih belum sanggup untuk 100% hidup sebagai . Aku masih belum cukup kuat menahan kesepian, kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran maupun kegagalan ini. Aku perlu beberapa saat lagi untuk kembalikan nyawa pemberaniku.


Puncak perjalanan hidup Va adalah saat lelaki mayanya benar menujunya. Va, yang sebenarnya tidak pernah ada, harus segera mengakui dirinya sebagai Belva yang datang hanya untuk menolong. Belva akan kemudian lahir dengan sendirinya. Entah apa yang akan terjadi…


Aku sejenak terhenti oleh sebuah telepon dari kolega hidup; mengabarkan pernikahan teman masa lalu kami. Jika dulu aku merasa dan bereaksi biasa saja saat mendengar berita pernikahan, tapi sekarang aku merasa sangat luar biasa berbahagia. Bukan karena aku merasa ikut berbahagia bagi pasangan itu namun karena aku merasa semakin banyak orang yang hidup di dunia yang sama denganku. Aku berpengharapan agar mereka kemudian akan bisa merasakan apa yang aku rasakan. Terdengar sedikit jahat memang, tapi itulah yang memang kurasakan. Sebenarnya yang aku ingini hanyalah merasa tidak sendiri karena banyak juga yang sedang merasakan apa yang sedang aku rasakan. Hingga saat aku butuh mereka mendengarku, mereka bisa menangis bersamaku sambil bersama- sama merasakan yang aku rasa.


Belakangan ini aku menyesali pernikahanku. Aku benar merasa sangat terkekang oleh status ini. Dipanggil istri lalu harus 100% bersama dengan seorang lelaki saja. Kemudian masuk pada masalah- masalah merger keluarga. Aku sama sekali tidak nyaman dengan status yang mengikatku dan merenggut paksa kebebasanku ini. Aku yakin masih ada banyak sekali petualangan yang mau aku rasai. Tapi sekarang aku harus terpaksa berhenti hingga jiwaku tak terima kebijakan ini. Aku masih ingin bersenang- senang dengan semua yang ada di luar sana. Aku masih berminat merasai berbagai macam rasa petualangan. Aku masih sangat mengharapkan kembali merasa jatuh cinta mati pada lelaki lalu aku atau dia harus patah hati karena ada sesuatu yang terjadi. Aku tidak mau merendam nyawa dirumah, keluar sesekali dengan lelaki yang sama lalu bertemu dengan keluarga besar sang suami yang sangat membuatku tak nyaman. Aku memang tak mudah masuki dunia baru dan masalahnya adalah mereka semua tak mau mengerti jadi aku merasa lebih terpaksa dan hanya beralasan formalitas dan tak ada daya menghindar. Tak ada hati sama sekali.


Dulu aku pernah berfikir dan hampir berkeputusan untuk tidak menambatkan hati pada satu lelaki. Itu karena aku tak yakin bisa setia padanya. Hatiku selalu ingin merasai hal baru yang masih belum sempat aku rasai karena kuyakin setiap lelaki akan berikan rasa berbeda dalam hatiku. Aku selalu saja ingin merasa up and down setiap saat. Jika rasa itu hilang aku akan kembali merasa kehausan dan mencari- cari cara kembali rasai jatuh cinta atau sekedar cicipi up and down-nya kehidupan. Lalu kini aku menyesal menikah diusia 24 tahun. Seharusnya aku masih harus menundanya. Masih banyak yang ingin aku dapati pun rasai.


Masalahnya bukan karena aku tidak cinta lelaki yang aku nikahi, namun aku tidak mau menyakiti siapapun karena jiwa liarku ini. Aku pasti akan menyakiti seseorang atau bahkan banyak orang jika aku masih saja menyuburkan keinginanku untuk berpetualang itu. Namun dilain pihak aku tak punya pilihan lagi karena memang petualangan itulah yang masih ingin aku rasai. Aku masih belum siap dengan semua formalitas kekeluargaan yang sekarang sedang aku hadapi. Sekali lagi bukan karena aku merasa tinggi atau apapun tapi hatiku memang masih sedang belum berarah kesitu. Dan aku bukan jenis yang suka dipaksakan.


Faktanya adalah aku sudah menikah sekarang. Telah setahun lebih sedikit aku memaksakan diri menyelami formalitas hidup berumah tangga. Menahan semua keinginan liar seorang lajang. Jiwa domestikku begitu resesif hingga dengan sangat mudah direpresi oleh keliaran yang sudah demikian kuat dan mendominasi. Hingga lahirlah seorang Vaska Alteria. Tokoh yang aku ciptakan untukku merasa sedikit bebas dan liar. Hanya sedikit saja karena aku berbatasan dengan dunia nyataku dan namaku yang sebenarnya Belva Purnama.


Lalu aku mulai mencari pembenaran. Apa ini yang selalu dirasakan oleh semua wanita yang sudah menikah, apalagi masih belum punya momongan yang sebenarnya adalah cuma alat pembuktian kejantanan suami, pengalihan perhatian dari kebosanan hidup dengan satu pasangan tetap, maupun media kebanggaan bagi keluarga besar? Apa benar ini yang dirasa jika wanita yang telah berumah tangga tak segera punya momongan. Jika benar maka keliaran, kebosanan dan kekecewaanku terhadap apa yang ada sekarang bisa dipastikan melemah saat aku tahu bahwa aku hamil. Tapi sebenarnya aku tak terlalu yakin. Karena aku sangat mengenal diriku sendiri. Aku benci rutinitas dan kesamaan. Aku mau selalu merasa ada yang beda dan tak mau dipaksakan. Bisa jadi aku akan menyesali dua hal; menikah diusia 24 tahun(yang bagiku masih terlalu dini) dan punya momongan.


Apa sebenarnya yang salah? Apa buku- buku dan novel- novel itu? Yang terus merombak konstruksi kenormalan otakku. Bisa jadi. Tapi banyak juga wanita , yang suka melahap buku dan novel feminisme dan penganut aliran bebas, yang masih tetap bisa normal dan menjalani semuanya dengan suka cita. Tapi siapa yang benar tahu isi hati mereka? Bisa jadi mereka sebenarnya juga merasa sama persis dengan apa yang aku rasa. Bisa jadi mereka juga menciptakan tokoh imajiner seperti halnya aku melahirkan Vaska dari rahim khayalku.


Aku mau melimitasi persinggunganku dengan dunia luar yang nyata. Aku mau terus nikmati diri sebagai Va. Sampai aku tak lagi kecewa terhadap apa yang ada saat ini. Terdengar egois tapi itulah aku. Yang pasti aku juga merasa sangat merana dengan ketidakmampuanku nikmati dunia nyata. Aku lelah harus terus lari dari nyata. Kaki- kaki khayalku terasa begitu lunglai. Tapi aku masih belum berani membuka mata.


Aku merasa begitu gerah….
Udara kota ini tak begitu bersahaja…
Aku mau membasuh raga…
Agar bisa sedikit merasa nyaman dan indah…


Hampir jam enam petang…
Tanpa perasaan lega sedikitpun meski tlah habiskan ratusan kata guna nyamankan jiwa…
Baiklah…
Terimakasih pada Vaska…
Maafkan aku, Belva…

No comments: