
(Masih) Kediri
Saat hari bernama Kamis…
Kalender sedang menamai diri 4 Desember 2008…
Ragaku kini terasa jauh lebih nyaman. Tirta itu (seperti biasa) tidak gagal merelokasi nyawa biasaku. Sunsilk soft & smooth itupun serta merta berjuang tunjukkan setianya padaku. Belum puas aku bersihkan diri dari rasa biasa maka kubujuk Lux itu untuk senggamai diriku agar sejenak aku merasa berganti nyawa oleh aroma khasnya. Kemudian Nivea Oil Regulating itupun berusaha menghiburku hanya untuk dapati beberapa penggal kata terima kasih karena telah membantu. Ucapan itulah yang juga ingin didapati Pepsodent Herbal hingga akhirnya dia juga berjanji akan melakukan apapun hanya untuk sebuah “terima kasih”. Baiklah, terima kasih untuk semua.
Aku kemudian terhenti untuk beberapa penggalan masa. Berusaha membujuk rasa agar aku bisa segera menjawab panggilan janji yang sejak hari masih bayi sudah dengan sangat lantang meneriakiku. Bahkan tepat di gendang hatiku yang tingkat kepekaannya tentu masih sangat tinggi. Retinaku mengatup sejenak sambil mengetuk hati hanya untuk dapati beberapa bungkus ingatan tentang sebuah nama, Omar Randu. Hasilnya masih nihil. Maka kuputuskan untuk sejenak menyerah pada kekuatan rasa.
Batang pertama hari ini kucumbui. Lentiknya gerakan udara tampak asyik menari bersama deretan asap ini. Aku tahu pasti ini tidak baik tapi aku sedang berada pada fase tidak ingin berhenti sekarang.
Yang kurasa atas semua nama, Omar Randu.
Belum terlalu lama aku bersinggungan dengan nama itu. Meski begitu aku bisa dengan sangat lancar menggambar siluet lelaki itu. Aku telah merelakan diri mengosongkan beberapa lembar ingatanku hanya untuk merekam semua yang sempat kutahu tentang dia meski kadang (seperti yang selalu aku bilang padanya) aku tidak bisa membedakan dia yang sedang serius pun bercanda. Biarlah semua masuk dalam rongga ingatan hingga aku kemudian punya kesempatan untuk memilah sari kebenarannya.
Entah sejak kapan aku merasa begitu aman dengan adanya seorang maya. Bagiku dia adalah sebentuk raga bernyawa yang memang pantas bernama lelaki karenanya nyatanya dia hidup dengan nyawa, hati, prasangka dan ingatan lelaki. Nyawa bernama Omar itu sama persis dengan gambaranku tentang bagaimana seharusnya seorang lelaki itu. Aku merasakan adanya kekuatan dan keteguhan hati dalam setiap apa yang sengaja dia sajikan untuk kudengar. Well, meski tidak jarang aku terpaksa bertabrakan dengan harapanku untuk merasai manisnya.
Yang aku tahu lelaki itu masih sedang menikmati fasenya. Dia sedang menari indah dengan irama metropolis sambil menenggelamkan diri dalam candu nikmat duniawi. Dia, entah atas dasar apa, masih saja membungkus diri dalam kertas kado halus nan mahal bernama nikmatnya masa muda. Kecantikan dan kemolekan hawa masih merupakan candu terkuat baginya. Lelaki itu, definetely, adalah seorang Don Juan yang secara sukarela menghambakan diri pada Dewi Kecantikan. Mungkin dengan cara itu dia bisa sedikit melenakan diri dari erangan hati kecilnya yang sebenarnya sedang tidak baik- baik saja. Bagiku hidupnya hanya sebuah kilatan blitz kamera yang terang mengejutkan untuk kemudian hilang terbang terusung bising. Normal kelihatannya tapi kurasa dia harus segera beranjak menapaki fase lanjutan kehidupannya. Mungkin ini akan terdengar begitu menggurui tapi aku sedang berusaha tepati sebuah janji.
Sampai suatu malam aku merasa dibangunkan oleh sisi lain seorang dia. Lalu aku terpaksa harus mereka ulang bentuk sketsaku ini. Dia, ternyata, masih punya entah berapa genggam tanggung jawab dan beberapa tetes embun mimpi akan cerahnya masa depan juga sejumlah tekad untuk sebuah masa bernama keberhasilan. Alhasil hari di hatiku mulai berganti nama, ditandai dengan terbitnya mentari kebanggaan atas semua yang sebenarnya dikandung oleh nyawa lelaki itu. Aku merasa gagal menebak dia. Sedikit melenceng dari perkiraan luguku.
Batang kedua sengaja aku senggamai siang ini. Sekedar untuk merasa tidak kesepian karena aku gagal menyatukan suaraku dengannya. Entah apa yang sedang terjadi padanya kala aku sedang merelakan diri mengukir sketsa maya ini. Aku cuma mau sekedar menghadirkannya disini melalui kata dan ingatan hatiku.
Lelaki itu datang disaat aku sedang berusaha mencari cara menemukan jalan untuk lebih nikmati hidup. Rutinitas yang telah berhasil menculikku dari kesenangan masa muda kini sedikit meregangkan pasungannya padaku hingga aku merasa sedikit bebas bergerak, berontak lalu luapkan semua yang ada di otak. Sekarang aku jadi semakin mencintai malam, menjajaki liarnya asap rokok, menghirup udara café hanya untuk sekedar menggenggam rasa tenang sambil menarik mundur waktu lewat sisa ingatan untuk kemudian kususun kembali sebagai penyatuan kata. Dulu aku sengaja menghindari semua rasa malam itu. Karena memang masih tersenyum rasai pasungan rutinitas dan pengertian moralitas yang dangkal. Kini aku terseret arus lelaki yang sangat mengakrabi dunia malam, hura- hura dan tawa itu. Meski demikian, aku tidak berniat melangkah lebih jauh menerobos kekelaman malam. Aku hanya ingin sedikit merasai yang sudah lama lelaki itu rasai.
Jika aku boleh terus berkata- kata maka aku akan terus menjerit lirih agar dia mau kugenggam erat untuk bersama- sama tapaki jalan yang sama denganku. Bukan karena aku egois dan ingin diikuti tapi aku mau lelakiku itu segera dapati mimpinya. Mimpi akan seonggok keberhasilan. Sebuah mimpi yang akan bawa bangga dan senyum di hati semua yang ada dihatinya.
Hari sudah semakin meranum. Matahari sudah bergeser beberapa derajat kebarat untuk kemudian tertidur pulas dan bercinta dengan panas.
Lalu aku merasa harus berhenti pada titik cinta ini. Aku sungguh mengagumi lelaki itu. Mengagumi keberaniannya untuk terus terlelap dalam lekuk- lekuk indahnya hidup. Aku mulai mendoa agar dia segera terbangun untuk kemudian nyatakan semua mimpi yang sempat singgahi tidur lelapnya.
Be good, Omar…
Be happy, beibh…
Chase your dreams, my man…
Semoga kamu tidak akan hapus aku dari ingatan manusiawimu…
Selamanya simpan aku entah di bagian mana hatimu…
16.24
No comments:
Post a Comment