Sunday, April 26, 2009

Deviasi pola rasa...

Mojokerto
April 2009
Berpijak pada sebuah Jum’at yang begitu biasa
17:52


Aku baru saja tuntas tunaikan sembahyang petang. Memenuhi kewajiban yang juga adalah sebuah kebutuhan bagi jiwa manusiawiku. Lalu kini aku bertengger di depan dua layar pada saat bersamaan. TV dan laptop hp ini. Aku berniat mengukir kata tentang apapun yang teringat dan terlintas di hatiku…

Tentang sekarang…
Aku sedang menanti kedatangan lelakiku yang bilang akan ada di saat mentari mulai undur diri. Dia bilang akan datang menyapaku disini. Bisa jadi karena rasa rindu yang sudah tersemai sejak sekitar sepuluh hari. Mungkin dia mengira semaian rindu itu sudah bersemi menjadi pucuk- pucuk kehidupan. Well, aku juga mengira yang sama dengannya. Meski tak jarang rasa rindu itu harus merana karena saat kami bersama semua terasa begitu biasa saja. Hambar lalu diakhiri dengan pengharapan bahwa semua akan segera berlalu. Bahwa kami akan berpisah lagi sambil menyemai rindu jenis lain. Rindu yang kami harap akan berpucuk, berkuncup dan berbunga lebih indah…

Lelaki itu masih belum menampakkan nyawanya untukku disini. Aku masih menantinya…

Setiap malam mengelam aku merasa ada yang tak begitu benar dengan ragaku. Aku merasa begitu melemah. Aku merasa ada sebentuk kekuatan penyokong raga yang hilang menjemput mentari yang sore tadi sudah undur diri. Sebagai manusia biasa, aku tak begitu memahami makna kelemahan ragawi ini. Aku hanya tak mau terlalu mendramatisir keadaan. Aku tak mau lakukan apapun karena semua ketidaknyamana ragawi ini masih sanggup aku atasi. Meski jika benar dirasa aku sedikit tersiksa…

Lelaki itu baru saja mengirim pesan singkat. Hanya dua kalimat padat. Begini…

“Maaf aku masih dikantor. Ini baru mau berangkat.”

Jika sekarang dia mengirim kabar akan berangkat, itu artinya dia akan berada disini sekitar satu setengah jam dari sekarang. Aku harus bersabar. Bulir- bulir rindu ini akan tersemai beberapa masa lebih lama. Biarlah. Siapa tahu pucuk- pucuknya akan semakin banyak tertumbuh. Somoga saja. Meski aku tak pernah begitu meyakini semua akan persis sama dengan apa yang aku maui sekaligus apa yang ada di pengharapanku…

Aku sudah berkeputusan untuk merapati hidup dengan lelaki itu. Dia mengucap ikrar bersama selamanya dalam suka dan duka saat hari bernama Kamis dan tertanggal tiga belas Desember dua ribu tujuh. Saat usiaku masih tapaki angka dua puluh empat sedang usianya cumbui dua puluh enam. Kata orang itu adalah sebuah perpaduan ideal. Well, sampai sekarang aku masih tak melihat makna kata ideal itu. Kurasa tak ada makna. Hanya sekedar ucapan penghiburan saja. Sekedar untuk kepentingan formalitas saja kupikir…

Aku merasa lelaki itu mengalami deviasi pola rasa…

Rasa suka lelaki itu padaku sudah sedikit memudar oleh kebersamaan. Genggaman cintanya untukku juga tak begitu mampu kurasa. Tetes- tetes perhatianpun tak lagi memelukku erat seperti kala itu. Riak kasih dan sayangnya juga agak menghilang oleh arus kehidupan. Dia sedikit demi sedikit mengubah pola hatinya. Mungkin dia mulai merasa ada yang salah dengan diriku. Mungkin dia merasa semua tak sama dengan apa yang dia impikan. Mungkin dia mulai menyadari keindahan bunga dunia lainnya. Mungkin dia mulai sedikit menyesali pengikrarannya denganku kala itu. Aku rindu dia yang dulu…

Bukan aku yang mengingini pengikraran hati kami kala itu…
Aku hanya setuju…
Karenanya aku tak mau dia menjadi seperti ini…
Aku mau dapati semua yang dulu dia sembahkan untukku…

By the way, aku begitu ingin memotong beberapa milimeter rambutku. Berganti model. Tapi tetap mempertahankan panjangnya. Karena aku sudah berjuang untuknya. Tapi kadang bosan juga aku padanya. Mungkin rasa itu sama persis dengan yang lelaki itu rasa untukku. Bosan namun tak mungkin saling melepaskan genggaman tangan…

Akupun tak begitu merasa mencintainya…
Mungkin hanya sebentuk rasa keterbiasaan…
Karena aku sudah terbiasa dicinta olehnya…
Hatiku sudah terlanjur kecanduan…


Cukup sekian saja buat hari ini…
Maafkan aku, lelakiku…
18:21

No comments: