
Pada sebuah pagi di Kediri
23 Maret 2009
Pada sebuah Senin dengan yang tawarkan nada perpisahan….
Pagi ini aku terbangun dan mengintip hari di kota ini. Aku masih merasa belum waktunya kembali ke dunia nyata meski hari ini sebagian besar manusia bumi lain sudah melemparkan diri secara entah paksa atau sukarela pada rutinitas harian. Akhir pekan sudah berlalu dari waktu. Senyuman kebebasan sudah lenyap terserap angin. Kebebasan jiwa sudah kembali terpasung rutinitas. Beban- beban pekerjaan kembali menempati pundak- pundak segar. Menambah berat badan hingga membatasi ruang gerak. Tak lagi banyak pilihan untuk dipilih. Yang paling utama adalah kembali menempatkan pikiran untuk segera menyelesaikan semua secepat mungkin.
Lalu aku masih juga ada disini dengan perasaan yang terganggu waktu. Aku merasa tiba- tiba ada yang salah. Ada sesuatu yang terlewat hingga kemudian perasaan ini tak segar seperti hari biasanya. Aku kembali merasa kesepian dan begitu tidak pasti. Semua yang sedang ada di hadapanku terlihat buram dan tak jelas. Arus waktu begitu deras sedang aku sedang bertambatan pada ranting kesenangan dan terhenti oleh batu kekecewaan. Aku tak mampu mendefinisi secara pasti apa yang sebenarnya kurasa. Yang jelas aku merasa ada yang terlewatkan dan membuat semua kemudian bernilai salah.
Kelopakku sebenarnya masih ingin mengatup kembali untuk beberapa saat. Kantuk masih juga bergelayutan di terjalnya retina. Menambah beban. Lalu cenderung mengatupkan kelopak. Tapi jiwaku terganggu. Jiwaku mengerang begitu lirih hingga aku tak punya mampu untuk mencuri dengar apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak tahu apapun, hanya bisa merasa ada yang tak biasa. Dan itu benar mengganggu.
Kala ini aku sedang sendiri. Mencoba sekuat ingatan, hati dan organ penggerak tubuh untuk meresapi embun- embun hari ini. Embun- embun yang menempel pekat pada kaca hidupku. Lalu aku secara setengah sadar menghisainya dengan tulisan jari. Setelah kubaca kembali ternyata yang ada hanya kata :”Kecewa”. Entah pada siap kutujukan hiasan embun itu. Mungkin pada diriku sendiri yang masih belum mampu temui bahagia. Mungkin juga pada lelakiku yang masih belum berhasil menghapus hiasan embun itu. Padahal aku menulisnya dengan kekuatan lemah. Kupikir akan mudah terhapus. Atau setidaknya tertindas hiaa lain. Ternyata aku salah.
Aku ada di sebuah Senin. Pada sebuah hari yang dulu seringkali kucacimaki. Sebuah hari yang tak pernah beruntung karena selalu diharap untuk segera berganti nama. Bahkan aku sempat juga meneriaki konvensi untuk menghilangkan hari berpanggilan Senin. Namun gagal. Nyatanya sampai sekarang hari ini masih juga dipakai. Sudahlah…
Sampai sekarangpun aku masih mencari cari apa yang sesungguhnya aku maui. Hatiku masih enggan setia pada satu mimpi. Ada banyak lorong kebebasan yang menggodaku. Menawarkan sejumlah kesenangan penyejuk bathin. Beberapa waktu yang lalu aku sempat selalu merasa bahagia dan tersenyum sukarela dengan apa yang sedang aku tapaki. Semua terasa begitu menyamankanku. Tak ada keharusan membuatku merasa berhak atas kehidupanku sendiri. Lalu aku mulai menyusun daftar keharusan buatku sendiri. Meski tak jarang daftar itu kuhapus untuk alasan tak terlalu jelas.
Sekarang aku mendekati dua pilihan. Pertama, berhenti mencari kepuasan sendiri dan hidup dengan pola yang sama dengan manusia lain pada umumnya. Kedua, mencari cari pembenaran atas apa yang aku putuskan untuk kulakukan. Lalu aku bisa terus melenggang pada jalur yang sama dengan sekarang. Mungkin bedanya adalah pada titik keyakinannya. Bukankah setelah ada pembenaran kita akan merasa benar? Nyatanya aku belum memilih. Tapi aku sudah berencana untuk memilih salah satunya. Aku yakin pada salah satunya meski belum secara formal memilih.
Sampai sekarang aku masih belum tahu pasti jumlah kesenangan dan kebebasan di bumi ini. Aku lalu takut pada suatu masa dimana semua bentuk kesenangan dan kebebasan itu tak lagi mampu menyenangkan dan membebaskanku lagi? Bagaimana jika umurku jauh lebih panjang dibandingkan dengan persediaan kesenangan dan kebebasan itu? Bagaimana? Aku takut bertemu dengan masa itu. Aku takut tak bisa lagi disenangkan. Aku takut jiwaku tak lagi merasa bebas meski sedang bebas. Bukankah kata orang, hidup adalah perubahan. Dan salah satu bentuk perubahan adalah perubahan rasa. Jadi, bagaimana bila rasaku kemudian berubah menjadi tak bisa dengan mudahnya disenang dan dibebaskan? Apa aku akan semakin tak bahagia?
Temanku pernah berkata bahwa sebenarnya bahagia itu selalu berada pada pola pikir kita. Berada pada definisi kita masing- masing. Dengan kata lain, jika kita mendefinisikan bahagia sebagai senyuman maka itulah bahagia yang sebenarnya. Maka carilah itu. Bukan yang lainnya. Maka marilah kita berlomba- lomba mencari dan menetapkan definisi kebahagiaan buat kita sendiri. Lalu apa kita bisa memakai definisi yang sama atas kata bahagia? Bagaimana jika definisi yang kita mau sudah dipakai manusia lain? Bahkan sudah dipatenkan olehnya? Dan parahnya, yang bersangkutan sudah meninggal dunia hingga kita tak mungkin bisa menemuinya sekedar untuk minta ijin memakai definisi yang sama. Terus memakainya tanpa ijinpun akan membawa kita pada penjara bathin yang begitu menyiksa jiwa. Bagaimana jika demikian?
Maaf jika aku terlalu banyak bertanya. Terlalu banyak berkomentar dan menyanggah. Yang pasti aku sedang merasa begitu enggan kembali ke dunia nyata. Namun aku tak punya pilihan lagi. Mau tak mau harus mau…
Aku akan segera kembali…
Tunggu saja aku di suatu masa…
Gerah sudah datang kembali…
Mungkin memang sudah tugasnya memberi peluh pada kita….
Berhenti sejenak untuk membasuh tubuh sekalian jiwa sepiku…
10:03
No comments:
Post a Comment