.jpg)
Mojokerto
14 April 2009
Di Selasa sore yang rupawan
Tepat saat adzan Maghrib berdengung di udara….
Mentari sudah merapat pada bulan dan bintang yang akan segera gantikan dirinya. Langit yang siang tadi begitu membiru kini tercampur beberapa jengkal mega putih dan guratan merah sisa mentari. Para kita akan segera bertegur rupa dengan malam. Sama seperti di hari- hari sebelumnya. Pun sama dengan hari- hari mendatang…
Aku mau menumpahkan nyawa sejenak sebelum melebur dalam sembahyang. Membagi beberapa tumpuk beban dengan tulang belulang kehidupan. Meski aku tak punya banyak masa tapi aku bersikeras menelurkan beberapa hentak guratan disini. Dan seperti biasanya juga; aku tak pernah tahu buat siapa aku menggurat kata disini. Tapi biarlah. Aku cuma mau melegakan rasa saja…
Siang tadi aku sempat bertegur suara dengan Adri. Bercerita tentang kondisi diri, perasaan hati, rencana yang akan kami lewati nanti, berita kawan karib masa dulu juga semua bentuk idelisme yang kami kira masih kukuh bertengger disini. Kami tertawa untuk beberapa lelucon kecil tadi. Entah benar- benar berniat tertawa atau cuma basa- basi percakapan. Hampir enam puluh menit mengurai kusutnya nyawa kami. Suara TV dan Ratri turut serta perindah percakapan kami. Akhirnya kami berpisah di pukul hampir setengah lima sore. Saat kita memang harus berhenti dan kembali pada nyawa masing- masing. Aku sedikit terhibur. Dan semoga Adri juga begitu...
Langit kini memuram. Kelam hinggapi pelatarannya. Tak ada lagi mega putih. Merah sisa mentari juga telah undur diri. Entah kemana mereka semua. Mungkin sedang mengabdi pada belahan bumi dan waktu yang lain. Semua memang sudah punya masa sendiri- sendiri…
Bulir peluh lelehi bagian tubuh. Gerah hanya mengintip sedikit. Angin berhembus malu- malu kucing. Sedangkan lampu- lampu mulai mencerah. Karena kala ini disebut petang. Mentari tak selebar tadi siang…
Nyamuk- nyamuk berkeruyuk. Datang darimana mereka sebenarnya. Apa mereka dilahirkan petang? Apa mereka ditelurkan oleh bintang? Karena mereka ada saat mentari tak lagi ada. Apa mereka datang untuk alasan bertandang? Hanya untuk sekedar mencumbui para tuan rumah yang malah tak pernah ramah untuknya. Kasihan mereka…
Lalu tanganku meraba rambut. Membelai dan menikmatinya. Terasa panjang. Sudah beberapa masa aku sengaja membuatnya bebas menjuntai sambil kian memanjang. Mungkin sebagai bukti kekecewaan. Karena aku berjanji takkan memotong barang sehelaipun sampai aku benar- benar dapati kebahagiaan. Semakin panjang, semakin lama kekecewaanku tersemai…
Dengarkanlah. Aku bisa sayup- sayup memegang suara kereta api itu. Tak bisa dikatakan dekat meski suaranya masih mampu menjangkau teras kamar ini. Kereta jurusan Surabaya. Kelas ekonomi sepertinya karena berwarna kuning agak orange. Sebentar saja terdengar. Karena dia merambat cepat. Begitulah caranya…
Apalagi?
Oh ya, lelaki maya itu baru saja kirimkan kabar bahwa dia akan kembali pulang di malam hari. Banyak yang harus dikerjakan, katanya. Ya sudah…
Dimana angin sayup yang tadi berkelebat disini? Apa mungkin dia juga sedang mengabdi di sisi bumi lainnya? Kini gerah kembali merakit peluh. Karena ini memang masanya…
Jakarta, ibukota negara merah putih ini, sedang mengumandangkan adzan Maghrib. Dan aku belum sembahyang juga. Tapi aku akan segera tunaikan…
Permisi…
17:58
No comments:
Post a Comment