Mojokerto
17 April 2009
Jum’at sore dengan sedikit mendung menggelayut
15:52
Hatiku terasa begitu sakit hingga muncul sebuah keinginan kecil nan tajam untuk membunuh waktu. Mengulitnya saat ia masih setengah mati. Lalu menguburnya dalam- dalam di timbunan tanah merah basah. Juga saat ia masih setengah mati. Tapi lalu moralitasku terbangun kaget oleh pikiran kejam itu. Dia mengguruiku. Membisikkan beberapa jenis pertimbangan yang bisa dipegang. Dia bilang aku tak perlu membunuh waktu. Dia bilang itu terlalu kejam. Terlalu beresiko juga. Dan aku terus dengarkan saran moral. Terus aku mengutip gerak bibirnya. Lalu kutangkap sebuah ide baru yang masih dalam lingkar bermoral. Bahwa aku tak harus membunuh waktu. Rugi sekali jika aku harus berbuat sekeji itu.
“Buang waktu itu!!!”. Begitulah gerak bibir sang moralitas. Setidaknya itulah yang berhasil kubaca.
“Bagaimana caranya?”
“Banyak!”
“Banyak?”
“Benar. Banyak sekali, bahkan…”
“Apa saja?”, kutanya dia.
“Pejamkan mata. Kalau matamu menolak maka paksakan mereka. “
“Apalagi?”
“Bertukar kata dan suara dengan siapa saja mengenai apa saja. Atau melamun. Atau membuka lipatan masa lalu yang terlanjur terekam dalam sebuah kenangan.”
“Ide bagus. Aku pilih membuka lipatan masa lalu. Melalui beberapa kotak foto tentang siapa saja.”
Lalu aku merasa begitu tertarik menikmati kembali lingkaran masa lalu yang kebetulan telah tersimpan dalam bentuk kotak- kotak foto. Ada begitu banyak ekspresi yang berhasil didapati. Dalam berbagai suasana hati. Juga di berbagai lokasi. Lalu pandanganku tertarik pada sebuah yang bagiku menarik…
Foto seorang perempuan…
Dia terlihat begitu menikmati hidup. Dia begitu bahagia dengan apa yang ada kala itu. Dia tersenyum lepas sambil menebar kebebasan. Gulungan air pantai seakan menariknya lebih dalam lagi dalam bumi kebebasan. Udara laut yang asin membawanya pada sebentuk kecil dunia yang diciptakan hanya untuknya. Semua sudah lebih dari cukup untuknya hingga dia tak pernah berharap kesempurnaan laut oleh burung- burung camar. Baginya alam kala itu sama persis dengan kesempurnaan hidupnya. Seorang perempuan dengan kehidupan yang bahkan lebih membahagiakan dari sebuah mimpi manis sekalipun. Membagi nafas dengan seorang lelaki yang telah begitu memahami dirinya. “Aku akan menjadi kertas yang membungkusmu karena kamu adalah batu keras yang takkan bisa dipecahkan oleh apapun. Maka aku akan menjadi kertas bagimu”, begitu kata lelakinya kala itu untuk meyakinkan cintanya pada perempuan itu. Dan perempuan itu merasa begitu teryakinkan lalu setuju untuk dinikahi saat berusia dua puluh empat tahun. Dan mereka berdua mulai menjalani hidup sambil terus tersenyum bahagia. Hingga foto itu terbuat…
Waktu terus melingkar lebar…
Kini perempuan itu harus keluar dari frame foto. Kembali tertunduk oleh kekuatan dunia nyata yang kadang begitu halus menggiring manusia pada sebuah kepahitan. Perempuan itu jarang menangis. Karena dia selalu punya cara menahan airmata. Dia kecewa tapi dia tak pernah menyesali apapun. Perempuan itu juga tak pernah berpengharapan untuk kembali ada sebagai foto. Bukan karena dia tahu hal itu begitu tak mungkin. Melainkan karena dia sudah terlalu jera untuk kembali berpengharapan…
Kasihan sekali perempuan itu…
16:10
No comments:
Post a Comment