Mojokerto
Pada sebuah Sabtu gerah
11 April 2009
16:39
Gerah rasanya telah berhasil jajah bumi ini. Lalu semua sudah terdominasi olehnya. Bahkan semua makhluk bernyawapun harus tetap setia terima semua yang ada. Bulir- bulir peluh kemudian dianggap sebagai sebuah bentuk kewajaran. Bisa jadi hal itu dinobatkan sebagai bukti masa kekuasaan bumi oleh gerah. Yang ada hanya kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan gerah. Dan perempuan itu adalah bagian dari nyawa yang harus mau tak mau mengikuti semua kebijakan itu. Termasuk kerelaan untuk terus berpeluh dan mengeluh atas penguasa bumi yang baru ini.
Well, perempuan itu mungkin terlalu mendramatisir keadaan. Tapi perempuan itu benar begitu terganggu oleh gerah ini. Rambutnya juga merasa begitu terkungkung karena tak mungkin bisa menggerai panjang. Benar- benar tak mungkin. Perempuan itu sudah mengatakan padanya untuk terus menggulung diri. Lalu baju pilihan dirumah hanyalah daster. Waktu hanya berisi pergantian pengabdian daster satu dengan lainnya. Tubuhnya terasa begitu keberatan jika dia mengatakan akan beranjak dari rumah untuk tujuan tertentu. Bukan karena tubuhnya adalah seonggok pemalas. Karena dia lalu harus tersiksa dengan balutan pakaian lain. Yang dimaui hanyalah daster. Dan tidak akan pernah yang lainnya. Jeans plus jaket kemudian menjadi hantu menyeramkan bagi tubuhnya yang kegerahan itu. Sayang sekali, perempuan itu tak bisa berjuang demi tubuhnya yang sedang tertindas kebutuhan dan keadaan itu. Maafkan perempuan itu…
Gerah bahkan telah memaksanya rela tidur terpisah dengan lelakinya. Malam tadi dia terlelap di tempat tidur. Hanya berteman gerah yang datang tanpa tahu malu. Sedangkan lelakinya memutuskan untuk terlelap diatas lantai tanpa alas apapun. Lelaki itu bilang benar- benar tak tahan oleh gerah ini. Perempuan itu bukannya tidak lagi setia pada lelakinya. Perempuan itu juga sebenar- benarnya tak pernah tahan dengan jajahan sang gerah. Sebenarnya, perempuan itu juga sedang berkubang dalam peluh. Peluh oleh gerah yang bercampur dengan peluh sisa- sisa persenggamaannya dengan lelakinya beberapa waktu yang lalu. Tapi dia tak pernah bisa tahan tidur diatas lantai, apalagi tanpa alas apapun. Bisa- bisa dia masuk angin esok paginya…
Perempuan itu tak pernah tahu pasti berapa suhu udara belakangan ini. Papi salah seorang sahabatnya pernah mengatakan, “Huihh…panasnya seperti di emperan neraka”. Lalu perempuan itu mulai membayangkan bahwa neraka berbentuk deretan panjang toko- toko yang emperannya selalu panas akibat atap seng yang dipakainya. Lelucon yang cukup lucu….
Lalu perempuan itu biasa mengatakan, “Ya ampun panas sekali. Belum lagi di neraka ya…!!!”
Gerah begitu menyebalkan…
Bahkan saat sekarangpun perempuan itu sedang berusaha mengalihkan perhatian dari tetesan peluh yang aliri tubuhnya. Dia mau melupakan bulir- bulir itu.
Sudahlah, tak ada gunanya mengeluh lagi…
Perempuan itu lalu pergi menuju entah mana lagi. Mungkin pada akhirnya dia akan menganggap gerah sebagai bagian dari takdirnya. Takdir yang tak bisa diubahnya, persis sama seperti lelaki itu baginya…
Sebentar. Sebelum perempuan itu menutup kata, dia sempat bertanya padaku; “Apa kamu juga merasa begitu tersiksa oleh gerah sepertiku?”
“Ya iyalah…sama sepertimu. Sama persis, bahkan. Dan aku juga melakukan hal yang benar- benar sama dengan apa yang kamu lakukan. Sama persis. Benar- benar tak ada bedanya. Sedikitpun tak ada.”
“Tak ada yang benar- benar sama persis di dunia ini selain hal itu sendiri.”
“Oh ya???”
Cukup…
17:13
No comments:
Post a Comment