
Mojokerto
Di tengah gerimis yang enggan meringkas diri…
25 Pebruari 2009
Pada sebuah Rabu malam
22:17
Rasaku melega. Hari rasanya berlalu dengan kecepatan sedikit meninggi. Begitu cepat aku bertemu dengan pertengahan minggu yang akan segera mempertemukanku dengan akhir pekan yang selalu mengesankan. Tak banyak yang sudah aku kerjakan. Meski demikian aku merasa bisa melalui waktu secara cepat. Bagiku setiap hari berasa sama, tanpa pertanda. Setiap hari mempunyai rasa sinar mentari yang sama. Gerimis juga selalu setia padanya. Bahkan anginpun kadang datang dengan aroma hembusan yang cenderung sama. Arak- arakan warna langit juga masih sama juga; cepat berubah. Kadang begitu putih lalu tiba- tiba karena desakan musim akan segera berganti cat menjadi kelabu atau bahkan gelap. Jika bisa aku sedikit berkuasa maka semua hari akan kuberi nama sama. Karena bagiku semua sama. Tak ada beda. Bahkan sedikitpun tak berbeda.
Aku rindu nada persinggungan jemari dengan lantai notebook ini. Nada yang begitu nyaman tertangkap telinga. Nada yang begitu menjanjikan kebebasan rasa. Nada yang selalu memberi lega atas hatiku yang enggan mengembang. Nada yang ungkapkan romantisme benda mati yang mampu hidupkan nyawa suri. Entah apa yang benar terasa indah dari persinggungan jemari dan keyboard ini. yang jelas bagiku nada yang dilahirkan mampu sedikit sedekahkan ketentraman bagi jiwa. Dan malam ini aku sedang merinduinya.
Gerimis masih enggan undur diri. Mungkin dia mau lebih lama jadi bagian nyawa manusia. Ikut serta dalam hiruk pikuk kehidupan dan berharap bisa beri irama basah. Gerimis sedang asyik berpadu dengan malam sambil menimang- nimang keramaian hingga terlelap bersama sepi. Gerimis benar- benar mampu menyulap sore menjadi begitu senyap serupa dini hari yang masih dingin, sepi dan berembun. Kehidupan manusia seakan terbujuk untuk sejenak terhenti lalu merubah wujud manusia melalui lelap. Semua menjadi begitu nyaman bertegur sapa dengan mimpi. Tapi aku masih enggan menutup hari ini. Aku masih berharap bisa lukiskan kesenyapan malam ini. Agar suatu masa nanti senyap ini bisa kembali hidup dalam ingatan.
Angin muda tiba- tiba menyelinap masuk melewati pori- pori dinding dan lembut menyapa korden putih kamar luas ini. Mereka mungkin bercinta, mengingat hari sudah begitu sunyi sehingga indah bila bercinta. Biarlah mereka bersama- sama membakar birahi. Aku hanya mau hirup asapnya saja. Asap birahi benda mati yang sedang bercinta itu bisa jadi adalah penyedap rasa sunyi malam ini. Menciptakan aroma baru tanpa nama tapi begitu lezat jika dirasa.
Oh malam….
Malam selalu begitu aman bagiku. Ada banyak keindahan yang tersaji. Bisa dinikmati tanpa merasa tak aman. Mungkin karena keremangannya. Aku pecinta malam apalagi malam bergerimis seperti sekarang ini. Aku benar mencintainya. Dan tak pernah sedikitpun merasa harus jenuh oleh rasa cinta itu. Jika ditimbang mungkin akan terlihat jelas berapa karat rasa cintaku padanya dan karat itu takkan mengalami perubahan kuantitas pun kualitas. Takkan menambah pun tak kuijinkan berkurang. Akan selalu sama persis jumlahnya.
Mataku mulai mengingatkanku untuk segera menutup hari. Mereka sudah cukup lelah. Tapi aku masih merasa bahwa goresan ingatan ini masih terlalu sedikit untuk disudahi. Aku masih mau mengungkit beberapa hal lagi. Tapi entah apalagi. Mungkin aku masih butuh waktu sedikit lagi. Perlu beberapa waktu berjeda. Agar otak bisa lahirkan kandungan bayinya. Lalu kutuliskan disini. Lalu kulukiskan wajah bayi itu. Bayi sang ingatan.
Ah…sudahlah. Tak ada lagi yang kunanti. Baiknya aku menutup hari. Sudah saatnya memberi kesempatan diri untuk rehat. Rehat untuk kemudian hidup kembali pada masa dengan nama berbeda. Merangkak dan menyentuh Kamis. Melepaskan Rabu kembali ke udara lalu menghilang ditelan ketinggian.
Disini masih gerimis. Aku masih mendengarnya dengan jelas.
Aku mau mengatup lagi seperti malam sebelumnya. Sendiri juga. Berteman irama gerimis yang lagi merana lelah karena tak kunjung mereda.
Selamat beristirahat.
Selamat menutup hari.
22:59
Lelah….
No comments:
Post a Comment