Mojokerto
5 Februari 2008
Pada sebuah Kamis siang dengan angin membumbung….
Aku sekarang suka melamun. Merasa bosan dengan kealpaan harapan dan selalu datangnya beban- beban. Bahkan menuangkan perasaan dalam catatanpun bukan pilihan terhebat untuk singkirkan muramnya perasaan. Harus ada cara lain usir kesepian. Lalu aku putuskan untuk melamar lamun menjadi teman.
Beberapa pucuk harapan yang dulu berdiam dalam jiwa insaniku kini lenyap teriris gerimis hari kemarin. Kini tak ada apapun. Pucuk- pucuk itu tak lagi mampu tepati janji untuk selalu nyamankan perasaan. Ini bukan yang dia harapkan, aku yakin. Pengingkarannya, mungkin, karena musim ini bernama penghujan. Perjuangannya harus berakhir dengan kekalahan lalu harus terima untuk dihilangkan. Setelah pucuk- pucuk harapan itu tak lagi berpengharapan, aku harus terus hidup bersama ketidaknyamanan. Tapi aku harus terus terlihat nyaman agar terhindar dari pertanyaan- pertanyaan “mengapa” dari orang lain.
Baiklah. Aku menyerah. Aku tak mau lagi bersikukuh. Aku sudah sedikit lelah dengan beberapa tingkat lemah. Tak lagi mampu bermimpi terlalu tinggi dan pongah. Takut kembali ditinggalkan harapan yang kala itu masih hanya sebagai pucuk- pucuk kecil tanpa rasa serakah. Lalu kemana lagi aku mau melangkah? Biarkan aku sedikit waktu untuk berbenah.
Bolehkah aku menghela nafas? Sebentar saja agar aku sedikit merasa bebas meski hidup menghimpitku dengan begitu keras. Wajahku sudah tampak begitu memelas hanya untuk menipu hidup agar hidup tak lagi bertindak terlampau keras padaku yang kini sudah melas. Sebentar lagi airmata pasti akan melangkah deras. Tapi aku akan membujuknya datang di teras wajah orang lain saja; hanya karena satu alasan lugas. Aku tak mau dianggap kalah dan tertindas.
Aku hanya perlu rehat sebentar. Hanya sekedar untuk melepaskan semua indra dari tuntutan peran.
No comments:
Post a Comment