Kediri
April 2009
Hampir tengah malam disini
23:14
Malam semakin melarut. Semua sudah nyenyak tinggali alam bawah sadar. Terlena oleh suasana malam yang memang begitu lenggang. Bisa juga karena terlanjur rapatkan kelopak karena paksaan lelah yang kian menjajah raga…
Lelaki itu berada disini dengan sebuah kesulitan…
Sebentar…
Handphone-nya berdering oleh panggilan kawan lama. Seorang Andrita yang adalah karib seperjuangannya di bangku Fakultas Ilmu Administrasi dulu.
“Apa bedanya admired by dengan admired with?”
Lalu lelaki itu menjawab singkat; “Bukannya kamu dulu pernah menanyakan itu?”
“Masa sih?”
“Iya…”
“Kalau begitu ulang lagi dong jawabannya!”
“Basically sih sama aja, cuma kalau yang lebih grammar ya Admired By karena itu pasif. Tapi dua duanya common dipakai kok. Jadi ya sama saja…”
“Oh gitu. Ya sudah. Thanks ya…”
Pembicaraannya selesai…
Tentang lelaki itu...
Lelaki itu kini kembali tapaki nyawa di udara Kediri. Sebuah kota yang dulu pernah begitu erat menggenggam jemari hidupnya. Dia sempat berbagi senyum dan tangis dengan semua yang ada disini. Dia juga pernah melaju di indahnya cinta dengan wanitanya. Banyak sekali yang pernah dia alami disini. Sampai akhirnya dia merasa harus pergi. Lalu dia undur diri di awal Januari. Tepatnya di sebuah Jum’at malam dengan hujan nakal yang terus halangi kepergiannya. Saat kalender masih setia pada sembilan Januari dua ribu sembilan. Saat cuaca menahannya dengan begitu sangat. Namun dia tetap merasa harus pergi. Lalu dia dengan sabarnya membujuk hujan untuk berhenti merinai. Dia memohon agar kepergiannya direlakan. Karena wanitanya juga telah rela melepaskannya. Lalu lelaki itu mengucap Selamat Tinggal pada wanitanya. Hujanpun akhirnya menyerah. Sebuah perpisahan tanpa tangis dan haru. Biasa saja. Karena mereka tetap menautkan rasa. Meski jarak yang kemudian akan merajai…
Lalu…
Senja tadi lelaki itu kembali. Membawa beberapa butir rindu untuk melepas penat yang selama ini nyaman tinggali jiwanya. Jiwanya yang sendiri. Jiwanya yang tanpa wanitanya. Dia datang hanya dengan satu pinta. Semoga bisa bersenang- senang…
Setengah jam lagi, hari akan berganti nama. Tanggal juga akan berganti angka. Tapi tahun masih setia…
Semua raga sudah menutup mata. Karena itulah yang sewajarnya dilakukan. Tapi tidak dengan lelaki itu. Dia masih gagah dengan mata lebarnya yang seakan masih ingin terus awasi dunia. Dia gagal temui alam bawah sadarnya. Bisa jadi inilah yang disebut insomnia…
Dia tak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Orang bilang lebih baik menghitung domba saja. Tapi mana mungkin bisa menghitung domba kalau seumur nyawanya di bumi ini dia tak pernah sekalipun melihat domba. Perasaannya tak begitu setuju dengan kata orang yang itu. Lalu orang yang lainnya mengatakan; lupakan semua yang kau pikirkan maka kamu akan segera terlelap. Tetap saja dia masih terjaga sambil merasa tak nyaman. Karena dia tak pernah tahu cara melupakan apa yang sedang dia pikirkan. Lalu sampai kinipun dia masih terjaga…
Dia berhenti sejenak demi mencuri dengar tanda- tanda kehidupan. Yang ada hanya suara dengkur wanitanya yang sejak tadi sudah terlelap oleh lelah berlebih. Dengkuran itu ternyata punya nada. Dan indah jika didengar. Apa karena semakin malam dia semakin melankolis dan romantis hingga semua yang ada tampak dan terdengar indah? Atau karena dengkuran itu adalah properti wanita bumi yang dicintainya? Lelaki itu langsung menjawab “Dua duanya!”
Aku mau bercerita sedikit tentang lelaki itu…
Dia terlahir sebagai putra pertama dari tiga saudaranya yang lain. Kulit terang dan hidung mancungnya membuat dia selalu menganggumi diri sendiri. Dulu dia tergolong kurus. Tapi sejak dia bersama dengan wanitanya itu, berat badannya bertambah sekitar sepuluh kilogram. Tinggi badannya cukup; tak pendek juga tak terlalu jangkung. Kesan pertama tentangnya adalah cowok lumayan enak dilihat. Gayanya asal. Cuek meski tak seperti bebek…
Lelaki itu menguap panjang. Tapi bukanlah mendung tak selalu berarti hujan? Maka menguap tak selalu berarti mau tidur. Dan dia masih tetap sendiri cumbui dengkuran indah wanitanya…
Dia menguap lagi. Sama panjangnya dengan yang tadi…
Kali ini dia benar merasa tersiksa oleh waktu. Tak tahu lagi harus bagaimana…
Keringatnya semakin mengucur. Dia semakin gugup. Dia khawatir malam akan terganggu olehnya yang masih saja terjaga. Dia takut malam akan menyalahkannya karena kehilangan misterinya. Dia tak mau disalahkan. Kali ini dia benar- benar mau menjadi sama persis dengan raga- raga lainnya yang sudah mengatupkan nyawa. Dia tak mau terjaga…
Tapi dia tak tahu cara pejamkan mata…
Sulit sekali baginya…
Delapan menit lagi esok akan berganti nama jadi hari ini…
Tujuh menit lagi sekarang…
Dia semakin gugup...
Hari ini bernama Senin…
00:07
No comments:
Post a Comment