Mojokerto
13 April 2009
(Masih) di sebuah Senin
Kali ini hari menghampiri tanpa gerah…
Syukurlah…
Aku kehilangan seorang sahabat yang dulu begitu erat berjabat hati. Dia sedang kecewa. Dia sedang merasa begitu gagal. Dia juga sedang merasa tertolak oleh dunia. Mungkin dia juga merasa aku akan segera melesat pergi jauh darinya. Ratri kini telah merubah diri menjadi beda. Entah apa yang benar- benar jadi alasannya. Yang jelas Ratri merasa jauh tertinggal dari semuanya. Bisa jadi bathinnya sedang menangis lembut…
Aku sudah lama merasa ini. Mungkin karena hatiku masih sedang erat menjabat hatinya. Namun sayang, Ratri tak lagi mampu merasakan jabatan erat itu. Hatinya sudah terlalu cadas oleh tempaan kegagalan. Hatinya sedang begitu muram. Tertutup kanopi kehidupan yang memang akan terus mementalkan jiwa- jiwa lemah. Dia menangis didampingi lelakinya. Mereka sedang mengasingkan diri dari dunia. Biarkan dululah…
Aku tahu dia tak pernah mau terlihat sedang berair mata. Namun dia tak pernah sanggup menyeka luluhan airmata itu. Pun dia masih belum mampu mengganti tangis jadi senyum manis. Aku bisa merasa apa yang sedang dia rasa. Karena benarnya aku juga sedang begitu. Aku sedang sama dengan dia…
Sampai di hari inilah aku kemudian membuka kata untuk memastikan semua yang sedang kurasa tentangnya. Aku mau memastikan kebenaran suara hatiku ini. Lalu kurangkai beberapa helai kata sebagai wakilan suara. Kepada Ratri…
I feel that you’ve changed a lot these days. Why? Is it because you don’t wanna be disturbed? Is it because of your heavy life burden? I lost my Ratri…
Beberapa menit aku tak mendapati jawaban. Dalam bentuk apapun. Aku masih menantinya meski aku tak begitu yakin akan dapati sebuah kepastian alasan. Mungkin karena sebenarnya aku sudah punya jawaban sendiri. Aku tidak baru mengenal Ratri di sore kemarin. Aku sedikit banyak tahu tentang dia. Aku bisa menebak sedang merasa apa dia sekarang. Aku juga sudah sedikit banyak bisa menyanyikan ulang nada nafasnya. Aku juga bisa mendendangkan cerita cintanya kala itu. Aku bisa…
Lalu handphone ini terdering sebentar oleh sebuah pesan masuk. Dari Ratri…
Sorry, Ai. Yang balas sms aku. Ya, sedikit banyak kegagalan- kegagalan kemarin membuat adek berubah. Dia sekarang sudah enggan berhubungan dengan dunia luar. Bahkan untuk melamar- melamar lagi juga sudah malas.
Itu bahasa hati Ratri yang kebetulan dilukiskan oleh lelakinya, Adri. Maka sekarang aku sudah mendapati kepastian hati Ratri. Aku memperkirakan. Lalu dia melalui jemari lelakinya memastikan semua. Kemudian aku lebih mengerti cuaca hatinya…
Ratri dan aku sekarang sedang sama. Kami sedang membenci waktu yang berjalan melambat hingga semua muram begitu nyata terasa. Hanya ada beberapa beda. Ratri menyerah pada muram dan terus lindungi diri dari pasir kesenangan. Sedangkan aku tidak begitu. Aku terus berjuang menggenggam pasir kesenangan meski kadang pasir- pasir itu meluncur keluar. Lalu aku terpaksa muram karena merasa tidak berhasil. Tapi, aku terus mengulangi genggaman yang sama. Berusaha terus membahagiakan hati meski kelam sedang asyik selimuti diri…
Apa yang sebenarnya berubah. Apa benar Ratri yang sedang berubah? Atau mungkin malah aku yang sebenarnya berubah? Bisa jadi kenyataanlah yang sudah lama mengganti beberapa bagian dirinya hingga terbitlah perubahan- perubahan ini. Siapa pun apapun yang berubah aku hanya sedikit perduli. Aku hanya akan terus mendoa agar hatiku terus bahagia dalam kondisi seperti apapun…
Ratri, kuanjurkan kamu mendoa yang sama denganku. Setidaknya agar hatimu merasa sedikit melega meski dunia terus menjauhimu…
Dear Ratri,
Satu lagi yang bisa jadi kebutuhanmu. Kamu butuh pengingat. Bisa dalam bentuk siapa pun apa. Kamu perlu mengingat kembali bahwa tak ada yang sia- sia. Bahkan masa sekarang akan jadi sejarah hidupmu. Bahwa kamu juga ternyata pernah menangis begitu lirih. Tangisan yang hanya bisa dirasa, bukan didengar. Maka bangkitlah kembali sekarang. Carilah mimpi- mimpi baru. Lalu hiduplah untuk mimpi itu. Jangan biarkan mata hatimu terus menangis. Bisa sembab nanti hatimu itu. Rasakan jabatan erat hati kita. Tersenyumlah kembali, Ratri…
Dulu aku pernah meninggalkanmu sendiri di Malang. Kala itu tertanggal 24 September 2005. pada sebuah Sabtu siang. Kamu pernah menangis karena sendiri. Dan kini aku kembali. Takkan kubiarkan kamu sendiri lagi. Meski kamu sudah menjalin hidup dengan lelakimu. Tetap aku akan selalu ada untuk kalian berdua. Bukan cuma buat Ratri. Bukan juga cuma buat Adri. Melainkan buat Ratri dan Adri….
Mari tersenyum bersama
12:06
No comments:
Post a Comment